BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam metode penulisan suatu sejarah setelah
langkah verifikasi atau kritik sumber
dalam metode penulisan sejarah yaitu Interpretasi atau penafsiran fakta
sejarah. Interpretasi yaitu
proses menafsirkan fakta sejarah yang telah ditemukan melalui proses kritik
sumber sehingga akan terkumpul bagian-bagian yang akan menjadi fakta serumpun.
Pada tahap interpretasi atau penafsiran ini penulis melakukan penafsiran
terhadap sumber-sumber yang sudah mengalami kritik ekstern dari data-data yang
diperoleh guna menyambungkan fakta-fakta yang masih berserakan. Interpretasi
atau penafsiran sering disebut sebagai biang subjektifitas. Sebagian itu benar,
tetapi sebagian itu salah. Benar karena tanpa penafsiran sejarawan, data tidak
dapat berbicara. Sejarawan yang jujur akan mencantumkan data dan keterangan
darimana itu diperoleh. Itulah sebabnya, subjektifitas penulis sejarah diakui,
tetapi untuk dihindari. Menurut pembagiannya, interpretasi ada dua macam, yaitu
analisis yang berarti menguraikan, dan sintesis yang berarti menyatukan
Setelah
diperoleh fakta-fakta sejarah dari hasil kritik yang telah dilakukan
sebelumnya, penulis melakukan penyusunan fakta-fakta disesuaikan dengan pokok permasalahan
yang akan dibahas. Fakta yang telah disusun kemudian ditafsirkan. Satu fakta
dihubungkan dengan fakta yang lain, sehingga dapat ditarik menjadi suatu
rekonstruksi imajinatif yang memuat penjelasan terhadap pokok-pokok masalah
penelitian.
Dalam tahap ini peneliti
melakukan penafsiran akan makna atas fakta-fakta yang ada serta hubungan antara
berbagai fakta yang harus dilandasi oleh sikap objektif. Kalaupun membutuhkan
sikap subjektif, haruslah subjektif rasional. Rekonstruksi peristiwa sejarah
disampaikan secara deskriptif dan harus menghasilkan sejarah yang benar atau
mendekati kebenaran. Ada dua cara melakukan interpretasi, yaitu analisis
(menguraikan) dan sintesis (menyatukan).
Pada metode interpretasi ini, peneliti dituntut untuk berimajinasi yang terbatas. Batasan di
sini adalah fakta-fakta sejarah yang
ada tidak boleh menyimpang. Selain itu peneliti harus sangat berhati-hati
karena di sini sangat rentan bagi peneliti untuk memasukkan sisi subjektifnya.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian interpretasi?
2.
Apa
tujuan interpretasi dalam sejarah?
3. Apa saja teori-teori interpretasi sejarah
C.
Tujuan
Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
menjelaskan pengertian interpretasi dalam sejarah.
2.
Untuk
menjelaskan tujuan dari interpretasi dalam sejarah.
3.
Untuk
mengetahui teori-teori interpretasi sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Interpretasi
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, interpretasi adalah
pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu.
Interpretasi dalam ilmu sejarah bisa disamakan dengan penafsiran yaitu suatu
metode penelitian sejarah yang berupa penggambaran informasi, baik dari lisan, tulisan,
gambar, atau berbagai bentuk bahasa lainnya. Penggambaran dapat muncul sewaktu
penafsir melakukan penelitian terhadap suatu objek dengan menempatkannya pada
kerangka pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas, baik secara sadar ataupun
tidak.
Secara harfiah, interpretasi berarti pemberian kesan,
pendapat atau pandangan teoritis terhadap sesuatu. Kata yang dapat menjadi
padanan untuk interpretasi yaitu penafsiran. Jika dilihat dari definisi diatas,
suatu objek yang telah jelas maknanya, maka objek tersebut tidak mengundang
interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat merujuk proses penafsiran yang
sedang berlangsung atau hasil dari proses penafsiran.
Dalam proses penulisan sejarah, juga dikenal istilah
interpretasi. Interpretasi merupakan bagian dari metode penelitian sejarah.
Metode ialah suatu cara untuk berbuat sesuatu, suatu prosedur untuk mengerjakan
sesuatu. Dapat juga diartikan keteraturan dalam berbuat, atau suatu sistem yang
teratur. Jadi metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknis
yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk
mendapatkan objek (bahan-bahan) yang diteliti.
Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan
permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen
untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality)
menjadi sejarah sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup
Ilmu Sejarah, metode penelitian itu disebut metode sejarah.
Metode sejarah digunakan sebagai metode penelitian, pada
prinsipnya bertujuan untuk menjawab pertanyaan (5 W dan 1 H) yang merupakan
elemen dasar penulisan sejarah, yaitu what
(apa), when (kapan), where (dimana), who (siapa), why
(mengapa), dah how (bagaimana).
Pertanyaan-pertanyaan itu konkretnya adalah: Apa (peristiwa apa) yang terjadi?
Kapan terjadinya? Di mana terjadinya? Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu?
Mengapa peristiwa itu terjadi? Bagaimana proses terjadinya peristiwa itu?
Pada proses penulisan sejarah sebagai kisah,
pertanyaan-pertanyaan dasar itu dikembangkan sesuai dengan permasalahan yang
perlu diungkap dan dibahas. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang
harus menjadi sasaran penelitian sejarah, karena penulisan sejarah dituntut
untuk menghasilkan eksplanasi (kejelasan) mengenai signifikansi (arti penting)
dan makna peristiwa.
Dalam metode sejarah ada beberapa tahapan kegiatan yaitu
heutistik, kritik, dan historiografi. Tahap kegiatan yang terakhir disebut
adalah kegiatan penulisan sejarah (penulisan hasil penelitian sejarah), bukan
kegiatan penelitian sejarah. Dalam tahap terakhir ini juga terjadi proses
interpretasi, eksplanasi, dan penyajian.
Heuristik adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang
diperlukan. Berhasil-tidaknya pencarian sumber, pada dasarnya tergantung dari
wawasan peneliti mengenai sumber yang diperlukan dan keterampilan teknis
penelusuran sumber. Pada tahapan ini, peneliti sejarah mengumpulkan semua
sumber yang mungkin menjadi sumber dalam penulisan sejarah. Sumber tersebut
tidak hanya berupa sumber tertulis namun juga dapat berupa sumber benda atau
bahkan sumber lisan.
Tahap kedua dalam metode sejarah yaitu kritik. Kritik
merupakan kegiatan penyeleksian data agar diperoleh fakta yang akurat dengan
penelitian yang akan dilakukan sejarawan. Kritik terbagi dua yaitu
kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal menilai kesesuaian
sumber dengan penelitian yang akan dilakukan serta keaslian sumber. Sedangkan
kritik internal menilai kredibilitas (dapat dipercaya) suatu sumber.
Sesudah menyelesaikan langkah pertama dan kedua berupa
heuristik dan kritik sumber, sejarawan memasuki langkah selanjutnya yaitu
penulisan sejarah (historiografi). Tahap-tahap penulisan mencakup interpretasi
sejarah, eksplanasi sejarah sampai kepada presentasi atau pemaparan sejarah.
Dalam penulisan sejarah, digunakan secara bersamaan tiga
bentuk teknik dasar tulis menuli yaitu deskripsi, narasi dan analisis. Ketika
sejarawan menulis ada dua dorongan utama yang menggerakkannya yakni mencipta
ulang (re create) dan menafsirkan (interpret). Dorongan pertama menuntut
deskripsi dan narasi, sedangkan dorongan kedua menuntut analisis. Sejarawan
yang berorientasi pada sumber-sumber sejarah saja akan menggunakan porsi
deskripsi dan narasi yang lebih banyak. Sedangkan sejarawan yang berorientasi
pada problem atau masalah, selain menggunakan deskripsi dan narasi, akan lebih
mengutamakan analisis. Akan tetapi apapun cara yang dipergunakan, semuanya akan
bermuara pada sintesis.
Sehubungan dengan teknik deskripsi, narasi dan analisis
diatas, sebenarnya sebagian besar para sejarawan dalam karya-karya mereka itu
“bercerita”. Akan tetapi sejarah yang diceritakan para sejarawan itu, menurut
ahli filsafat Athur C. Danto adalah “cerita-cerita yang sebenarnya”. Mereka
berusaha sebaik-baiknya untuk menceritakan cerita-cerita sebenarnya menurut
topik-topik atau masalah-masalah yang mereka pilih. Hanya saja teknik
deskripsi-narasi ini seringkali dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah lama
(old history), sedangkan teknik analisis dikaitkan dengan bentuk atau model
sejarah baru (new history).
Dalam interpretasi atau penafsiran sumber sejarah, terdapat
beberapa bentuk yaitu:
1. Determinisme rasial
Penafsiran sejarah berdasarkan pada faktor-faktor sifat
fisik pada diri manusia (etnologis, keturunan, ras). Sejarawan beranggapan
bahwa faktor sifat fisik manusia merupakan faktor pengontrol dalam sejarah
manusia, sehingga dalam nenafsirkan sejarah, mereka mengutamakan faktor sifat
fisik tersebut.
2. Penafsiran geografis
Kelompok sejarawan ini melihat dari dari segi fisik sebagai
pembuat sejarah dan dengan demikian mengecilkan peranan manusia. Mereka mencari
kunci sejarah dalam lingkungna fisik di luar manusia, seperti faktor-faktor
geografis: iklim, tanah, distribusi flora dan fauna, sumber-suber alam, bentuk
tanah, dianggap sebagai pengontrol sejarah. Sejarawan beranggapan bahwa
faktor-faktor geografis di lingkungan akan berpengaruh terhadap
manusia yang tinggal di lingkungan itu. Maka sejarawan menafsirkan sejarah
tidak lepas dari faktor geografis tersebut.
3. Interpretasi ekonomi
Interpretasi ekonomi diilhami oleh
cara produksi (made of production) dalam kehidupan ekonomi suatu
bangsa menentukan karakter umum sejarah bangsa itu seperti pola-pola politik,
sosial, agama dan kebudayaan. meskipun diakui juga adanya faktor-faktor non
ekonomi dalam politik, mora, sosial, dan intelektual, tetapi semua faktor non
ekonomi ini adalah hasil atau diperintah eleh faktoe ekonomi. Segala ide,
pandangan politik dan lembaga, teori-teori sosial dan nilai-nilai moral,
ditentukan oleh kondisi-kondisi ekonomi masyarakat itu, dalam metode memenuhi
kebutuhan hidup, dalam cara produksinya. Sejarawan dalam menafsirkan sejarah
akan melihat pada faktor-faktor ekonomi.
4. Penafsiran (teori) orang besar
Para sejarawan dari kelompok
Romantis berpendapat bahwa yang menjadi faktor penyebab utama dalam
perkembangan sejarah adalah tokoh-tokoh orang besar (great man theory). Sejarah
bagi mereka adalah biografi kolektif. Yang dimsud dengan tokoh-tokoh besar
misalnya para negarawan, kaisar, raja, panglima perang, jenderal, dann para
nabi.
5. Penafsiran spritual atau idealistic
Penafsiran ini erat kaitannya dengan
peran jiwa (spirit, soul), ide (cita-cita) manusia dalam perkembangan sejarah.
Sejarawan beranggapan bahwa ide merupakan penggerak sejarah.
6. Penafsiran ilmu dan teknologi
Penafsiran ini mencoba melihat
kemajuan manusia mempunyai hubungan langsung dengan kemajuan ilmu dan
teknologi. Ilmu pengetahuan dengan penafsiran teknologinya ini pada gilirannya
menentukan kehidupan dan kegiatan ekonomi manusia. Dalam penafsiran ini tentu
saja tetap menjadikan manusia sebagai “pencipta” ilmu pengetahuan dan pemakai
teknologi sebagai pemeran utama.
7. Penafsiran sosiologis
Penafsiran ini mencoba melihat
asal-usul, struktur dan kegiatan masyarakat dalam interaksinya dengan
lingkungan fisiknya; masyarakat dan lingkungan fisik bersama-sama maju dalam
suatu proses evolusi. Sosiologi (bersama-sama dengan antropologi budaya)
mencoba menjelaskan pengulangan dan keseragaman dalam kausalitas sejarah.
8. Penafsiran sintesis
Penafsiran ini mencoba menggabungkan semua faktor atau
tenaga yang menjadi penggerak sejarah. Menurut penafsiran ini tidak ada satu
kategori “sebab-akibat” tunggal yang cukup untuk menjelaskan semua fase dan
periode perkembangan sejarah. Artinya perkembangan dan jalannya sejarah
digerakkan oleh berbagai faktor dan tenaga bersama-sama dan manusia tetap
sebagai pemeran utama.
Dalam
sejarah lisan, metode sejarah yang digunakan sama. Berawal dari pengumpulan
sumber (heuristik), kritik dan kemudian interpretasi lalu historiografi. Hanya
saja sumber sejarah yang digunakan dalam sejarah lisan adalah sumber atau bukti
lisan (dapat berupa tradisi lisan).
Tak
jarang sejarawan menghadapi kesulitan dalam interpretasi sejarah lisan. Hal ini
berkaitan dengan sumber sejarah dan juga bagaimana memperoleh sumber atau bukti
sejarah tersebut. Oleh karena itu, dalam menginterpretasikan sejarah lisan,
seorang peneliti sejarah harus benar-benar menguasai metode dalam sejarah
lisan. Perlu peran ilu bantu agar tidak keliru dalam menafsirkan bukti lisan.
Selain
itu, peneliti sejarah juga dapat menggunakan sumber atau bukti lain untuk
membantu menafsirkan sumber atau bukti lisan yang ia peroleh. Sumber atau bukti
tersebut bisa saja berupa sumber tertulis berupa dokumen,arsip, atau buku.
B.
Tujuan
Interpretasi dalam Sejarah
Tujuan interpretasi biasanya adalah
untuk meningkatkan pengertian, tapi kadang, seperti pada propaganda atau cuci
otak, tujuannya justru untuk mengacaukan pengertian dan membuat kebingungan.
Tetapi interpretasi masih bisa di rumuskan dengan benar bila kita dapat
mengidentifikasikan suatu masalah yang membingungkan.
Interpretasi atau penafsiran sejarah
disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis sejarah bertujuan melakukan
sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber. Jadi
interpretasi untuk mendapatkan makna dan saling hubungan antara fakta yang satu
dengan yang lainnya. Data atau sumber sejarah yang dikritik akan menghasilkan
fakta yang akan digunakan dalam penulisan sejarah. Namun demikian, sejarah itu
sendiri bukanlah kumpulan dari fakta, parade tokoh, kronologis peristiwa, atau
deskripsi belaka yang apabila dibaca akan terasa kering karena kurang mempunyai
makna. Fakta-fakta sejarah harus diinterpretasikan atau ditafsirkan agar
sesuatu peristiwa dapat direkonstruksikan dengan baik, yakni dengan jalan
menyeleksi, menyusun, mengurangi tekanan, dan menempatkan fakta dalam urutan
kausal.
Dengan demikian, tidak hanya
pertanyaan dimana, siapa, bilamana, dan apa yang perlu dijawab, tetapi juga
yang berkenaan dengan kata mengapa dan apa jadinya. Dalam interpretasi, seorang
sejarawan tidak perlu terkekang oleh batas-batas kerja bidang sejarah semata,
sebab sebenarnya kerja sejarah melingkupi segala aspek kehidupan manusia. Oleh
karena itu, untuk memahami kompleksitas sesuatu peristiwa, maka mau tidak mau
sejarah memerlukan pendekatan multidimensi.
Berbagai ilmu bantu perlu
dipergunakan dengan tujuan mempertajam analisis sehingga diharapkan dapat
diperoleh generalisasi ke tingkat yang lebih sempurna. Perlu pula dikemukakan
di sini, bahwa dalam tahapan interpretasi inilah subjektifitas sejarawan
bermula dan turut mewarnai tulisannya dan hal itu tak dapat dihindarkan. Walau
demikian, seorang sejarawan harus berusaha sedapat mungkin menekan
subjektifitasnya dan tahu posisi dirinya sehingga nantinya tidak membias ke
dalam isi tulisannya.
Tidak ada interpretasi yang bersifat
final. Sehingga, setiap generasi berhak mengkerangkakan interpretasinya
sendiri. Bukan hanya mengkerangkakannya, setiap generasi juga wajib melakukan
interpertas sendiri. Persoalan krusial kita, bagaimana sulitnya kita
berhubungan dengan masa lalu. Namun, di sisi lain kita ingin melihat garis yang
bisa membawa kemajuan menuju solusi atas apa yang kita rasakan dan apa yang
kita pilih sekarang-masa depan. Jika kebutuhan ini tidak kita jawab secara
rasional dan jujur, maka kita akan kembali jatuh pada interpretasi historisis
yang tak lebih dari keputusan historis.
Menurut Kuntowijoyo, seorang
sejarawan, dalam pekerjaannya harus dapat membayangkan apa yang sebenarnya, apa
yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi sesudahnya.
Dalam kasus-kasus yang ada ini, batasan yang dipakai sangat jelas. Pembatasan
yang seharusnya dilakukan adalah, membatasi interpretasi yang berkembang khusus
pada keadaan yang sebenarnya terjadi. Jadi jika imajinasi yang berkembang
menjadi menginterpretasikan keadaan yang bukan sebenarnya terjadi, maka telah
terjadi manipulasi peristiwa yang sebenarnya.Kemampuan interpretasi adalah
menguraikan fakta-fakta sejarah dan kepentingan topik sejarah, serta
menjelaskan masalah kekinian. Tidak ada masa lalu dalam konteks sejarah yang
benar-benar aktual terjadi. Yang ada hanyalah interpretasi-interpretasi
histories.
Dari pengalaman sehari-hari kita
tidak menyadari bahwa telah menggunakan interpretasi. Misalanya, sewaktu naik
kereta api dari Surabaya ke Jakarta seseorang tertidur dalam perjalanan dan
baru bangun waktu tiba di Cirebon. Meskipun tidak menyadai kenyataan perjalanan
yang sebenarnya, tetapi dengan penafsiran ia mengetahui bahwa kereta api telah
melampaui beberapa tempat, antara lain Cirebon, Semarang, Kebumen, Purwokerto,
dll. Bahkan pemandangan di beberapa tempat dapat dibayangkan pula, karena
pengalaman perjalanan. Maka dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa
interpretasi atau penafsiran sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.
Masing-masing generasi memiliki
persoalan dan masalahnya sendiri. Sehingga memiliki kepentingan dan sudut
pandang sendiri. Setiap generasi berhak memikirkan dan mereinterpretasi sejarah
menurut caranya sendiri. Interpretasi tiap-tiap generasi akan saling
komplementer, dalam artian interpretasi generasi sekarang akan bersifat
komplementer dengan interpretasi generasi sebelumnya. Seluruh sejarah
bergantung pada interes kita. Yang ada ialah berbagai sejarah, dan tidak pernah
ada sejarah tunggal.
C.
Teori-teori Interpretasi Sejarah
Menurut Garraghan, ada lima jenis interpretasi, yaitu
sebagai berikut:
1. Interpretasi verbal, berkaitan
dengan beberapa factor, yaitu bahsa, perbendaharaan kata, tata bahasa,konteks,
dan terjemahan.
2. Interpretasi teknis, didasarkan pada
dua pertimbangan, yaitu tujuan penyusunan dokumen dan bentuk tulisan persisnya.
Tujuannya adalah penulis dokumen bukan semata-mata bertujuan menyampaikan
informasi, melainkan ada tujuan lainnya.
3. Interpretasi logis, yaitu
interpretasi yang didasarkan atas cara berpikir logis. Artinya, berdasarkan
cara berpikir yang benar. Jadi penafsiran sebuah dokumen secara keseluruhan
berisi gagasan yang logis.
4. Interpretasi psikologis, yaitu
interpretasi dokumen yang merupakan usaha untuk membacanya melalui kacamata
pembuat dokumen untuk memperoleh titik pandangnya. Interpretasi ini berhadapan
dengan kehidupan mentalitas pembuat dokumen yang menyangkut dua aspek, yaitu
general (umum) dan individual. Aspek umum artinya mentalitas yang berlaku untuk
semua orang, sedangkan yang bersifat individual artinya mentalitas khusus
pembuat dokumen yang mempengaruhi tulisannya sehingga jejaknya dapat dilihat
dalam karya yang ditulisnya.
5. Interpretasi factual, tidak
didasarkan atas kata-kata, tetapi terhadap fakta. Titik beratnya adalah
membiarkan fakta “berbicara” sendiri, tanpa perlu membuat interpretasi
macam-macam, sehingga interpretasi factual bias dikatakan mengatasi lainnya.
Mengingat kemungkinan untuk melepaskan diri dari unsur subjektif seperti yang
diseut di atas, jelas bahwa seorang peneliti sejarah harus berusaha
sekeras-kerasnya untuk menghindarkan dari unsur tersebut. Paling aman, menurut
Garraghan, hindarkan terllau banyak interpretasi, pakailah fakta-fakta” yang
sudah bisa bicara dengan sendirinya”.
BAB III
SIMPULAN
Seorang sejarawan dituntut untuk dapat menginterpretasikan
sebuah masalah dengan cukup obyektif, sesuai dengan materi yang sebenarnya. Faktor
kontinuitas (kesinambungan) dan akronisme (ketidakcocokan) menjadi faktor yang
harus diperhatikan. Kesinambungan dan urutan waktu dalam interpretasi maupun
ekplanasi menjadi hal yang wajib ditaati agar tidak terjadi fallacies
(kesalahan-kesalahan dalam penulisan). Sangat lucu jika fakta yang kita rangkai
tidak sinambung dan urutan waktunya berloncatan. Maka tuntutan seorang
sejarawan dalam meramu fakta secara continuitas dan akronisme, sangat mutlak
dilakukan. Hal ini untuk menghindari kerancuan dalam sejarah dan sebagai
landasan yang kuat dalam menerima serbuan kritik.
DAFTAR PUSTAKA
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/interpretasi
http://id.wikipedia.org/wiki/imajinasi
Antoro,
Saiful.T. 2009. Interpretasi dalam metode sejarah. Jogyakarta :
FISE-UNY
Panyarikan,
K.S. 2004. Penafsiran sejarah. Suatu studi kasus penulisan kembali
buku perlajaran serjarah nasional
jepang untuk sekolah menengah. IKIP Malang : Malang
Sujatmoko,I.
2012. Metode Sejarah (Online),
(http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2013/04/metode-sejarah.html)
Abdullah, Taufik, 1992. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta:
Gramedia.
Herlina, Nina. 2008. Metode Sejarah, Bandung: Satya Historika.
Sartono.1992. Pendekatan
Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia.
Kartodirdjo, Sartono, dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia:
Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta:
Aditya Media.
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah, Edisi kedua, Yogyakarta: Tiara Wacana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar