Sabtu, 12 Desember 2020

MAKALAH METODE SEJARAH “INTERPRETASI SEJARAH”

 


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dalam  metode penulisan suatu sejarah setelah langkah  verifikasi atau kritik sumber dalam metode penulisan sejarah yaitu Interpretasi atau penafsiran fakta sejarah.  Interpretasi yaitu proses menafsirkan fakta sejarah yang telah ditemukan melalui proses kritik sumber sehingga akan terkumpul bagian-bagian yang akan menjadi fakta serumpun. Pada tahap interpretasi atau penafsiran ini penulis melakukan penafsiran terhadap sumber-sumber yang sudah mengalami kritik ekstern dari data-data yang diperoleh guna menyambungkan fakta-fakta yang masih berserakan. Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subjektifitas. Sebagian itu benar, tetapi sebagian itu salah. Benar karena tanpa penafsiran sejarawan, data tidak dapat berbicara. Sejarawan yang jujur akan mencantumkan data dan keterangan darimana itu diperoleh. Itulah sebabnya, subjektifitas penulis sejarah diakui, tetapi untuk dihindari. Menurut pembagiannya, interpretasi ada dua macam, yaitu analisis yang berarti menguraikan, dan sintesis yang berarti menyatukan

Setelah diperoleh fakta-fakta sejarah dari hasil kritik yang telah dilakukan sebelumnya, penulis melakukan penyusunan fakta-fakta disesuaikan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas. Fakta yang telah disusun kemudian ditafsirkan. Satu fakta dihubungkan dengan fakta yang lain, sehingga dapat ditarik menjadi suatu rekonstruksi imajinatif yang memuat penjelasan terhadap pokok-pokok masalah penelitian.

Dalam tahap ini peneliti melakukan penafsiran akan makna atas fakta-fakta yang ada serta hubungan antara berbagai fakta yang harus dilandasi oleh sikap objektif. Kalaupun membutuhkan sikap subjektif, haruslah subjektif rasional. Rekonstruksi peristiwa sejarah disampaikan secara deskriptif dan harus menghasilkan sejarah yang benar atau mendekati kebenaran. Ada dua cara melakukan interpretasi, yaitu analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan).

Pada metode interpretasi ini, peneliti dituntut untuk berimajinasi yang terbatas. Batasan di sini adalah fakta-fakta sejarah yang ada tidak boleh menyimpang. Selain itu peneliti harus sangat berhati-hati karena di sini sangat rentan bagi peneliti untuk memasukkan sisi subjektifnya.

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:

1.      Apa pengertian interpretasi?

2.      Apa tujuan interpretasi dalam sejarah?

3.      Apa saja teori-teori interpretasi sejarah

C.    Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1.      Untuk menjelaskan pengertian interpretasi dalam sejarah.

2.      Untuk menjelaskan tujuan dari interpretasi dalam sejarah.

3.      Untuk mengetahui teori-teori interpretasi sejarah.

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Interpretasi

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoretis terhadap sesuatu. Interpretasi dalam ilmu sejarah bisa disamakan dengan penafsiran yaitu suatu metode penelitian sejarah yang berupa penggambaran informasi, baik dari lisan, tulisan, gambar, atau berbagai bentuk bahasa lainnya. Penggambaran dapat muncul sewaktu penafsir melakukan penelitian terhadap suatu objek dengan menempatkannya pada kerangka pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas, baik secara sadar ataupun tidak.

Secara harfiah, interpretasi berarti pemberian kesan, pendapat atau pandangan teoritis terhadap sesuatu. Kata yang dapat menjadi padanan untuk interpretasi yaitu penafsiran. Jika dilihat dari definisi diatas, suatu objek yang telah jelas maknanya, maka objek tersebut tidak mengundang interpretasi. Istilah interpretasi sendiri dapat merujuk proses penafsiran yang sedang berlangsung atau hasil dari proses penafsiran.

Dalam proses penulisan sejarah, juga dikenal istilah interpretasi. Interpretasi merupakan bagian dari metode penelitian sejarah. Metode ialah suatu cara untuk berbuat sesuatu, suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu. Dapat juga diartikan keteraturan dalam berbuat, atau suatu sistem yang teratur. Jadi metode ada hubungannya dengan suatu prosedur, proses atau teknis yang sistematis dalam penyelidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan objek (bahan-bahan) yang diteliti.

Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode penelitian itu disebut metode sejarah.

 

Metode sejarah digunakan sebagai metode penelitian, pada prinsipnya bertujuan untuk menjawab pertanyaan (5 W dan 1 H) yang merupakan elemen dasar penulisan sejarah, yaitu what (apa), when (kapan), where (dimana), who (siapa), why (mengapa), dah how (bagaimana). Pertanyaan-pertanyaan itu konkretnya adalah: Apa (peristiwa apa) yang terjadi? Kapan terjadinya? Di mana terjadinya? Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu? Mengapa peristiwa itu terjadi? Bagaimana proses terjadinya peristiwa itu?

Pada proses penulisan sejarah sebagai kisah, pertanyaan-pertanyaan dasar itu dikembangkan sesuai dengan permasalahan yang perlu diungkap dan dibahas. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus menjadi sasaran penelitian sejarah, karena penulisan sejarah dituntut untuk menghasilkan eksplanasi (kejelasan) mengenai signifikansi (arti penting) dan makna peristiwa.

Dalam metode sejarah ada beberapa tahapan kegiatan yaitu heutistik, kritik, dan historiografi. Tahap kegiatan yang terakhir disebut adalah kegiatan penulisan sejarah (penulisan hasil penelitian sejarah), bukan kegiatan penelitian sejarah. Dalam tahap terakhir ini juga terjadi proses interpretasi, eksplanasi, dan penyajian.

Heuristik adalah kegiatan mencari dan menemukan sumber yang diperlukan. Berhasil-tidaknya pencarian sumber, pada dasarnya tergantung dari wawasan peneliti mengenai sumber yang diperlukan dan keterampilan teknis penelusuran sumber. Pada tahapan ini, peneliti sejarah mengumpulkan semua sumber yang mungkin menjadi sumber dalam penulisan sejarah. Sumber tersebut tidak hanya berupa sumber tertulis namun juga dapat berupa sumber benda atau bahkan sumber lisan.

Tahap kedua dalam metode sejarah yaitu kritik. Kritik merupakan kegiatan penyeleksian data agar diperoleh fakta yang akurat dengan penelitian yang akan dilakukan sejarawan.  Kritik terbagi dua yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal menilai kesesuaian sumber dengan penelitian yang akan dilakukan serta keaslian sumber. Sedangkan kritik internal menilai kredibilitas (dapat dipercaya) suatu sumber.

Sesudah menyelesaikan langkah pertama dan kedua berupa heuristik dan kritik sumber, sejarawan memasuki langkah selanjutnya yaitu penulisan sejarah (historiografi). Tahap-tahap penulisan mencakup interpretasi sejarah, eksplanasi sejarah sampai kepada presentasi atau pemaparan sejarah.

Dalam penulisan sejarah, digunakan secara bersamaan tiga bentuk teknik dasar tulis menuli yaitu deskripsi, narasi dan analisis. Ketika sejarawan menulis ada dua dorongan utama yang menggerakkannya yakni mencipta ulang (re create) dan menafsirkan (interpret). Dorongan pertama menuntut deskripsi dan narasi, sedangkan dorongan kedua menuntut analisis. Sejarawan yang berorientasi pada sumber-sumber sejarah saja akan menggunakan porsi deskripsi dan narasi yang lebih banyak. Sedangkan sejarawan yang berorientasi pada problem atau masalah, selain menggunakan deskripsi dan narasi, akan lebih mengutamakan analisis. Akan tetapi apapun cara yang dipergunakan, semuanya akan bermuara pada sintesis.

Sehubungan dengan teknik deskripsi, narasi dan analisis diatas, sebenarnya sebagian besar para sejarawan dalam karya-karya mereka itu “bercerita”. Akan tetapi sejarah yang diceritakan para sejarawan itu, menurut ahli filsafat Athur C. Danto adalah “cerita-cerita yang sebenarnya”. Mereka berusaha sebaik-baiknya untuk menceritakan cerita-cerita sebenarnya menurut topik-topik atau masalah-masalah yang mereka pilih. Hanya saja teknik deskripsi-narasi ini seringkali dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah lama (old history), sedangkan teknik analisis dikaitkan dengan bentuk atau model sejarah baru (new history).

Dalam interpretasi atau penafsiran sumber sejarah, terdapat beberapa bentuk yaitu:

1.      Determinisme rasial

Penafsiran sejarah berdasarkan pada faktor-faktor sifat fisik pada diri manusia (etnologis, keturunan, ras). Sejarawan beranggapan bahwa faktor sifat fisik manusia merupakan faktor pengontrol dalam sejarah manusia, sehingga dalam nenafsirkan sejarah, mereka mengutamakan faktor sifat fisik tersebut.

2.      Penafsiran geografis

Kelompok sejarawan ini melihat dari dari segi fisik sebagai pembuat sejarah dan dengan demikian mengecilkan peranan manusia. Mereka mencari kunci sejarah dalam lingkungna fisik di luar manusia, seperti faktor-faktor geografis: iklim, tanah, distribusi flora dan fauna, sumber-suber alam, bentuk tanah, dianggap sebagai pengontrol sejarah. Sejarawan beranggapan bahwa faktor-faktor geografis  di lingkungan akan berpengaruh terhadap manusia yang tinggal di lingkungan itu. Maka sejarawan menafsirkan sejarah tidak lepas dari faktor geografis tersebut.

3.       Interpretasi ekonomi

Interpretasi ekonomi diilhami oleh cara produksi (made of  production) dalam kehidupan ekonomi suatu bangsa menentukan karakter umum sejarah bangsa itu seperti pola-pola politik, sosial, agama dan kebudayaan. meskipun diakui juga adanya faktor-faktor non ekonomi dalam politik, mora, sosial, dan intelektual, tetapi semua faktor non ekonomi ini adalah hasil atau diperintah eleh faktoe ekonomi. Segala ide, pandangan politik dan lembaga, teori-teori sosial dan nilai-nilai moral, ditentukan oleh kondisi-kondisi ekonomi masyarakat itu, dalam metode memenuhi kebutuhan hidup, dalam cara produksinya. Sejarawan dalam menafsirkan sejarah akan melihat pada faktor-faktor ekonomi.

4.       Penafsiran (teori) orang besar

Para sejarawan dari kelompok Romantis berpendapat bahwa yang menjadi faktor penyebab utama dalam perkembangan sejarah adalah tokoh-tokoh orang besar (great man theory). Sejarah bagi mereka adalah biografi kolektif. Yang dimsud dengan tokoh-tokoh besar misalnya para negarawan, kaisar, raja, panglima perang, jenderal, dann para nabi.

5.       Penafsiran spritual atau idealistic

Penafsiran ini erat kaitannya dengan peran jiwa (spirit, soul), ide (cita-cita) manusia dalam perkembangan sejarah. Sejarawan beranggapan bahwa ide merupakan penggerak sejarah.

 

6.       Penafsiran ilmu dan teknologi

Penafsiran ini mencoba melihat kemajuan manusia mempunyai hubungan langsung dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Ilmu pengetahuan dengan penafsiran teknologinya ini pada gilirannya menentukan kehidupan dan kegiatan ekonomi manusia. Dalam penafsiran ini tentu saja tetap menjadikan manusia sebagai “pencipta” ilmu pengetahuan dan pemakai teknologi sebagai pemeran utama.

7.       Penafsiran sosiologis

Penafsiran ini mencoba melihat asal-usul, struktur dan kegiatan masyarakat dalam interaksinya dengan lingkungan fisiknya; masyarakat dan lingkungan fisik bersama-sama maju dalam suatu proses evolusi. Sosiologi (bersama-sama dengan antropologi budaya) mencoba menjelaskan pengulangan dan keseragaman dalam kausalitas sejarah.

8.       Penafsiran sintesis

Penafsiran ini mencoba menggabungkan semua faktor atau tenaga yang menjadi penggerak sejarah. Menurut penafsiran ini tidak ada satu kategori “sebab-akibat” tunggal yang cukup untuk menjelaskan semua fase dan periode perkembangan sejarah. Artinya perkembangan dan jalannya sejarah digerakkan oleh berbagai faktor dan tenaga bersama-sama dan manusia tetap sebagai pemeran utama.

Dalam sejarah lisan, metode sejarah yang digunakan sama. Berawal dari pengumpulan sumber (heuristik), kritik dan kemudian interpretasi lalu historiografi. Hanya saja sumber sejarah yang digunakan dalam sejarah lisan adalah sumber atau bukti lisan (dapat berupa tradisi lisan).

Tak jarang sejarawan menghadapi kesulitan dalam interpretasi sejarah lisan. Hal ini berkaitan dengan sumber sejarah dan juga bagaimana memperoleh sumber atau bukti sejarah tersebut. Oleh karena itu, dalam menginterpretasikan sejarah lisan, seorang peneliti sejarah harus benar-benar menguasai metode dalam sejarah lisan. Perlu peran ilu bantu agar tidak keliru dalam menafsirkan bukti lisan.

Selain itu, peneliti sejarah juga dapat menggunakan sumber atau bukti lain untuk membantu menafsirkan sumber atau bukti lisan yang ia peroleh. Sumber atau bukti tersebut bisa saja berupa sumber tertulis berupa dokumen,arsip, atau buku.

B.     Tujuan Interpretasi dalam Sejarah

Tujuan interpretasi biasanya adalah untuk meningkatkan pengertian, tapi kadang, seperti pada propaganda atau cuci otak, tujuannya justru untuk mengacaukan pengertian dan membuat kebingungan. Tetapi interpretasi masih bisa di rumuskan dengan benar bila kita dapat mengidentifikasikan suatu masalah yang membingungkan.

Interpretasi atau penafsiran sejarah disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber. Jadi interpretasi untuk mendapatkan makna dan saling hubungan antara fakta yang satu dengan yang lainnya. Data atau sumber sejarah yang dikritik akan menghasilkan fakta yang akan digunakan dalam penulisan sejarah. Namun demikian, sejarah itu sendiri bukanlah kumpulan dari fakta, parade tokoh, kronologis peristiwa, atau deskripsi belaka yang apabila dibaca akan terasa kering karena kurang mempunyai makna. Fakta-fakta sejarah harus diinterpretasikan atau ditafsirkan agar sesuatu peristiwa dapat direkonstruksikan dengan baik, yakni dengan jalan menyeleksi, menyusun, mengurangi tekanan, dan menempatkan fakta dalam urutan kausal.

Dengan demikian, tidak hanya pertanyaan dimana, siapa, bilamana, dan apa yang perlu dijawab, tetapi juga yang berkenaan dengan kata mengapa dan apa jadinya. Dalam interpretasi, seorang sejarawan tidak perlu terkekang oleh batas-batas kerja bidang sejarah semata, sebab sebenarnya kerja sejarah melingkupi segala aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk memahami kompleksitas sesuatu peristiwa, maka mau tidak mau sejarah memerlukan pendekatan multidimensi.

Berbagai ilmu bantu perlu dipergunakan dengan tujuan mempertajam analisis sehingga diharapkan dapat diperoleh generalisasi ke tingkat yang lebih sempurna. Perlu pula dikemukakan di sini, bahwa dalam tahapan interpretasi inilah subjektifitas sejarawan bermula dan turut mewarnai tulisannya dan hal itu tak dapat dihindarkan. Walau demikian, seorang sejarawan harus berusaha sedapat mungkin menekan subjektifitasnya dan tahu posisi dirinya sehingga nantinya tidak membias ke dalam isi tulisannya.

Tidak ada interpretasi yang bersifat final. Sehingga, setiap generasi berhak mengkerangkakan interpretasinya sendiri. Bukan hanya mengkerangkakannya, setiap generasi juga wajib melakukan interpertas sendiri. Persoalan krusial kita, bagaimana sulitnya kita berhubungan dengan masa lalu. Namun, di sisi lain kita ingin melihat garis yang bisa membawa kemajuan menuju solusi atas apa yang kita rasakan dan apa yang kita pilih sekarang-masa depan. Jika kebutuhan ini tidak kita jawab secara rasional dan jujur, maka kita akan kembali jatuh pada interpretasi historisis yang tak lebih dari keputusan historis.

Menurut Kuntowijoyo, seorang sejarawan, dalam pekerjaannya harus dapat membayangkan apa yang sebenarnya, apa yang sedang terjadi, dan apa yang terjadi sesudahnya. Dalam kasus-kasus yang ada ini, batasan yang dipakai sangat jelas. Pembatasan yang seharusnya dilakukan adalah, membatasi interpretasi yang berkembang khusus pada keadaan yang sebenarnya terjadi. Jadi jika imajinasi yang berkembang menjadi menginterpretasikan keadaan yang bukan sebenarnya terjadi, maka telah terjadi manipulasi peristiwa yang sebenarnya.Kemampuan interpretasi adalah menguraikan fakta-fakta sejarah dan kepentingan topik sejarah, serta menjelaskan masalah kekinian. Tidak ada masa lalu dalam konteks sejarah yang benar-benar aktual terjadi. Yang ada hanyalah interpretasi-interpretasi histories.

Dari pengalaman sehari-hari kita tidak menyadari bahwa telah menggunakan interpretasi. Misalanya, sewaktu naik kereta api dari Surabaya ke Jakarta seseorang tertidur dalam perjalanan dan baru bangun waktu tiba di Cirebon. Meskipun tidak menyadai kenyataan perjalanan yang sebenarnya, tetapi dengan penafsiran ia mengetahui bahwa kereta api telah melampaui beberapa tempat, antara lain Cirebon, Semarang, Kebumen, Purwokerto, dll. Bahkan pemandangan di beberapa tempat dapat dibayangkan pula, karena pengalaman perjalanan. Maka dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa interpretasi atau penafsiran sangat penting dalam kehidupan sehari-hari.

Masing-masing generasi memiliki persoalan dan masalahnya sendiri. Sehingga memiliki kepentingan dan sudut pandang sendiri. Setiap generasi berhak memikirkan dan mereinterpretasi sejarah menurut caranya sendiri. Interpretasi tiap-tiap generasi akan saling komplementer, dalam artian interpretasi generasi sekarang akan bersifat komplementer dengan interpretasi generasi sebelumnya. Seluruh sejarah bergantung pada interes kita. Yang ada ialah berbagai sejarah, dan tidak pernah ada sejarah tunggal.

C.    Teori-teori Interpretasi Sejarah

Menurut Garraghan, ada lima jenis interpretasi, yaitu sebagai berikut:

1.      Interpretasi verbal, berkaitan dengan beberapa factor, yaitu bahsa, perbendaharaan kata, tata bahasa,konteks, dan terjemahan.

2.      Interpretasi teknis, didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu tujuan penyusunan dokumen dan bentuk tulisan persisnya. Tujuannya adalah penulis dokumen bukan semata-mata bertujuan menyampaikan informasi, melainkan ada tujuan lainnya.

3.      Interpretasi logis, yaitu interpretasi yang didasarkan atas cara berpikir logis. Artinya, berdasarkan cara berpikir yang benar. Jadi penafsiran sebuah dokumen secara keseluruhan berisi gagasan yang logis.

4.      Interpretasi psikologis, yaitu interpretasi dokumen yang merupakan usaha untuk membacanya melalui kacamata pembuat dokumen untuk memperoleh titik pandangnya. Interpretasi ini berhadapan dengan kehidupan mentalitas pembuat dokumen yang menyangkut dua aspek, yaitu general (umum) dan individual. Aspek umum artinya mentalitas yang berlaku untuk semua orang, sedangkan yang bersifat individual artinya mentalitas khusus pembuat dokumen yang mempengaruhi tulisannya sehingga jejaknya dapat dilihat dalam karya yang ditulisnya.

5.      Interpretasi factual, tidak didasarkan atas kata-kata, tetapi terhadap fakta. Titik beratnya adalah membiarkan fakta “berbicara” sendiri, tanpa perlu membuat interpretasi macam-macam, sehingga interpretasi factual bias dikatakan mengatasi lainnya. Mengingat kemungkinan untuk melepaskan diri dari unsur subjektif seperti yang diseut di atas, jelas bahwa seorang peneliti sejarah harus berusaha sekeras-kerasnya untuk menghindarkan dari unsur tersebut. Paling aman, menurut Garraghan, hindarkan terllau banyak interpretasi, pakailah fakta-fakta” yang sudah bisa bicara dengan sendirinya”.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

SIMPULAN

Seorang sejarawan dituntut untuk dapat menginterpretasikan sebuah masalah dengan cukup obyektif, sesuai dengan materi yang sebenarnya. Faktor kontinuitas (kesinambungan) dan akronisme (ketidakcocokan) menjadi faktor yang harus diperhatikan. Kesinambungan dan urutan waktu dalam interpretasi maupun ekplanasi menjadi hal yang wajib ditaati agar tidak terjadi fallacies (kesalahan-kesalahan dalam penulisan). Sangat lucu jika fakta yang kita rangkai tidak sinambung dan urutan waktunya berloncatan. Maka tuntutan seorang sejarawan dalam meramu fakta secara continuitas dan akronisme, sangat mutlak dilakukan. Hal ini untuk menghindari kerancuan dalam sejarah dan sebagai landasan yang kuat dalam menerima serbuan kritik.

 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Kamus Besar Bahasa Indonesia

http://id.wikipedia.org/wiki/interpretasi

http://id.wikipedia.org/wiki/imajinasi

Antoro, Saiful.T. 2009. Interpretasi dalam metode sejarah. Jogyakarta : FISE-UNY

Panyarikan, K.S. 2004. Penafsiran sejarah. Suatu studi kasus penulisan kembali

buku perlajaran serjarah nasional jepang untuk sekolah menengah. IKIP Malang : Malang

Sujatmoko,I. 2012. Metode Sejarah (Online),

(http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2013/04/metode-sejarah.html)

Abdullah, Taufik, 1992. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia.

Herlina, Nina. 2008. Metode Sejarah, Bandung: Satya Historika.

Sartono.1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:

Gramedia.

Kartodirdjo, Sartono, dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia:

Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah, Edisi kedua, Yogyakarta: Tiara Wacana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aksi nyata modul 1.2

Berikut adalah link aksi nyata modul 1.2 program guru penggerak angkatan 9 Link aksi nyata modul 2.1