Sabtu, 12 Desember 2020

MAKALAH EKSPLANASI SEJARAH

 



BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang

Peristiwa sejarah yang telah ditulis dengan baik niscaya sangat bermakna bagi manusia, bukan saja sekedar mengetahui dan memahami peristiwa sejarah yang dimaksud, melainkan juga menjadi pelajaran yang terbaik guna memperbaiki diri seperti apa yang terjadi apabila peristiwa sejarah itu dapat menjadi contoh atau menjauhi dan menghindarinya bilamana peristiwa sejarah itu berbeda dengan harapan manusia. Dalam memahami dan menelaah setiap peristiwa sejarah. Terlebih dahulu dipahami pentingnya penjelasan atau keterangan yang mendukung dimungkinkan kita dapat menelaah suatu peristiwa sejarah. Penjelasan atau keterangan metodolgi sejarah itu disebut ekspalansi sejarah.

Eksplanasi sejarah merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam metodologi sejarah. Hal ini dipergunakan untuk mengembangkan, menganalisis, dan menjelaskan hubungan diantara pernyataan-pernyataan mengenai fenomena-fenomena yang ada. Masalah penjelasan sejarah atau eksplanasi sejarah merupakan topic yang hangat diperdebatkan oleh ahli filsafat sejarah karena menyangkut kontroversi mengenai logika yang menjelaskan hubungan di antara pernyataan-pernyataan mengenai fenomena-fenomena yang ada, Dalam hal ini penjelasan sejarah atau eksplanasi sejarah mempunyai arti luas yang mencakup pula apa yang khusus dikenal oleh para sejarawan dengan sebutan kausalitas (causation) serta bentuk-bentuk penghubung lain (connections) yang digunakan oleh para sejarawan ketika mereka menyintesis fakta-fakta. Ucapan mengenai fakta-fakta historis merupakan deskripsi-deskripsi mengenai masa silam. Tetapi, seorang ahli sejarah tidak membatasi diri pada usaha melukiskan masa silam. Ia juga berusaha memikirkan suatu keterangan atau penjelasan yang masuk akal, mengenai apa yang terjadi pada masa silam. Secara prinsip pertanyaan itu harus diberi jawaban secara objektif dan yang masuk akal melalui sebuah eksplanasi sejarah.

 

Dengan demikian penjelasan atau eksplanasi dalam sejarah memegang peranan yang penting untuk sejarah dapat menjelaskan fakta atau peristiwa sejarah dengan menggunakan metode, model, dan teori yang ada. Mengingat hal tersebut maka penulis tertarik untuk membahas materi mengenai eksplanasi sejarah dalam makalah yang berjudul “Eksplanasi Sejarah”.

 

B.       Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:

1.      Apa pengertian dari eksplanasi sejarah?

2.      Bagaimana kedudukan ekplanasi sejarah dalam metodologi sejarah?

3.      Apa perbedaan penjelasan sejarah dengan penjelasan ilmu alam dan sosial?

4.      Bagaimana model-model eksplanasi sejarah?

5.      Bagaimana contoh-contoh dari eksplanasi sejarah?

6.      Bagaimana eksplanasi sejarah dilakukan?

 

C.      Tujuan Penulisan

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1.      Menjelaskan pengertian dari eksplanasi sejarah

2.      Mengidentifikasi kedudukan ekplanasi sejarah dalam metodologi sejarah

3.      Membedakan penjelasan sejarah dengan penjelasan ilmu alam dan sosial

4.      Mengidentifikasi model-model eksplanasi sejarah

5.      Mengidentifikasi contoh-contoh dari eksplanasi sejarah

6.      Mengidentifikasi cara melakukan eksplanasi sejarah

7.      Memenuhi salah satu tugas mata kuliah metode sejarah.

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.      Pengertian Eksplanasi Sejarah

Eksplanasi adalah suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa tertentu dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan yang tepat pernyataan-pernyataan yang bersifat umum (general statements). Arti penting dari eksplanasi sejarah sendiri adalah menunjukkan kausalitas yang sesungguhnya mengenai suatu peristiwa sejarah. Menurut Kuntowijoyo, eksplanasi/ penjelasan sejarah (historical explanation) ialah usaha membuat unit sejarah intelligible (dimengerti secara cerdas). Kunto menegaskan perlunya intelligibility karena sejarah tidak hanya dijelaskan secara kausalitas. Kausalitas hanyalah salah satu dari penjelasan sejarah. Sedang tentang pertanyaan, mengapa sekedar penjelasan" bukan llanalisis" yang meyakinkan dan pasti.

Penjelasan atau eksplanasi kaum historis didasarkan atas pendapat bahwa setiap peristiwa mempunyai keunikan dan individualitas, sehingga peristiwanya tidak dapat dianalisis dan direduksi. Setiap peristiwa hanya perlu dilacak kembali ke peristiwa yang mendahuluinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa eksplanasi sejarah adalah suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa tertentu dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan pernyataan-pernyataan yang bersifat umum yang tepat (general statements).

Sebagai ilmu, sejarah terikat pada prosedur penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah merupakan sumber dan upaya pengembangan ilmu. Sejarah, karenanya, juga terikat pada penalaran (reasoning) yang mendasarkan diri pada fakta. Dalam sejarah dibedakan antara konsep data dan konsep fakta. Fakta adalah data-data yang telah teruji kebenarannya melalui uji (kritik) sumber. Fakta-fakta inilah yang menjadi andalan bagi kebenaran sejarah. Untuk memperoleh kebenaran sejarah, akan banyak bergantung pada kesediaan para sejarawan untuk meneliti dan men.gkaji sumber sejarah secara cermat dan tuntas, sehingga diharapkan mampu mengungkap sejarah dengan objektif (atau mendekati objektif). Hasil final yang diharapkan ialah adanya kesesuaian (korespondensi) antara pemahaman (interpretasi dan historiografi) sejarawan dengan fakta.

Eksplanasi sejarah yang merupakan kegiatan yang menghubungkan atau mengkaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya melalui penggunaan pernyataan yang tepat dan bersifat umum. Berangkat dari penjelasan umum tersebut maka dilanjutkan dengan penjelasan ilmiah dan penjelasan sejarah. Penjelasan ilmiah dimulai dengan observasi (pengamatan), berakhir dengan konsep-konsep umum (generalisasi), dimana gejala dilihat sebagai dalam kerangka suatu penegakan generalisasi. Sedangkan penjelasan dalam sejarah berupaya untuk menyelami apa yang ada di dalam suatu peristiwa (dapat menghayati peristiwa sebenarnya dari dalam). Bagian dalam suatu peristiwa adalah pikiran yang ada dibalik wujud fisik. Sedangkan bagian luar peristiwa sejarah adalah wujud fisik atau gerak dari suatu peristiwa. Eksplanasi sejarah terdiri dari beberapa bagian yaitu konsep, fakta, kontruksi, dan sebab musabab. Konsep adalah kesimpulan dari gejala-gejala dalam suatu peristiwa sejarah. Fakta adalah suatu unsur yang dijabarkan secara langsung atau tidak langsung dari dokumen sejarah dan dianggap credible (dapat dipercaya) setelah melalui tahap pengujian sesuai hukum metode sejarah. Kontruksi adalah pembentukan atau penggambaran suatu peristiwa sejarah. Sebab terbagi menjadi dua bagian, pertama sebab langsung dan kedua sebab tidak langsung. Sebab langsung adalah pemicu peristiwa sejarah yang dapat diketahui dengan observasi, pengamatan, ataupun perekaman. Sedangkan sebab tidak langsung merupakan pemicu terjadinya peristiwa sejarah yang tidak dengan begitu saja dapat dibuktikan namun sebab tidak langsung inilah yang merupakan bagian terpenting dalam pembentukan fakta sejarah. Penyusunan fakta sejarah tidak terlepas dari konsep, ketiga hal ini merupakan bagian terpenting dalam kontruksi sejarah.

Ekspalanasi sejarah secara pradikmatikal terdiri atas ekspalandum atau pernyataan untuk memberikan ekspalanasi atau perangkat pernyataan untuk memberikan ekspalansi. Selain itu, ekspalanasi dikatakan sebagai proses yang dilalui peristiwa-peristiwa tunggal dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa tunggal dan fenomena yang terisolasi, sehingga tidaklah bermakna fakta belaka. Tanpa ekspalansi, fakta itu tidak berarti apa-apa. James A Black dan Dean J Champion menyebutkan bahwa eksplanasi dapat tercapai jika saling pertalian dapat dibuktikan antara sebab-sebab tertentu dengan akibat-akibatnya. Dalam eksplanasi harus ada dua hal, yaitu fakta untuk di susun untuk bersamaan dengan itu mekanisme konseptual yang dapat di terima dan masukakal yang melaluinya dapat di kaitkan secara bersama- sama. Jika kita jelaskan tentang fakta, kita harus memperhitungkan mengapa fakta itu harus dianggap berkaitan satu dengan yang lain, dan kita harus memahaminya dengan menunjukkan mengapa terjadi dalam bentuk yang demikian.

Terdapat dua perangkat masalah yang timbul dalam tugas eksplanasi diantaranya adalah:

1.      Masalah menghubungkan fakta antara satu dengan yang lain. Dalam sosiologi dan disiplin-disiplin semacam unit-unit analisis yang relasional disebut variabel;

2.      Masalah memahami kaitan antara hal- hal yang saling berhubungan. Disini terlihat, eksistensi fakta merupakan bahan pokok untuk teoriteori kehidupan sosial.

Menurut J. Meehan ada empat kasus yang khas dalam eksplanasi diantaranya adalah sebagai berikut:

1.      Eksplanasi kausal yang menghubungkan explicandum (sesuatu atau peristiwa atau fenomena yang perlu dijelaskan) dengan seperangkat kondisi-kondisi yang terjadi sebelumnya yag perlu ada atau cukup untuk menghasilkan explicandum.

2.      Eksplanasi fungsional yang menghubungkan dengan konteks yan lebih lias dengan menunjukkan fungsi yang diembannya, seperti kita menjelaskan fungsi hati dalam organ tubuh.

3.      Eksplanasi teleologis yang menghubungkan explicandum dengan tujuan suatu sistem atau maksud si pelaku, seperti perilaku seekor binatang dapat dijelaskan karena ia mencari makan atau perilaku manusia dalam upaya nya untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu.

4.      Eksplanasi genetik atau eksplanasi sejarah yang menelusuri keadaan- keadaan sebelum suatu peristiwa terjadi dan menunjukkan bagaimana proses yang terjadi.

Deskripsi dan eksplanasi kerap dipersamakan. Padahal, keduanya memiliki perbedaan. Deskripsi merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan faktual dalam peristiwa sejarah, meliputi apa (what), di mana (where), kapan (when), dan siapa (who). Jawaban dari pertanyaan tadi merupakan deskripsi faktual tentang sebuah peristiwa. Di sisi lain, eksplanasi merupakan perluasan pertanyaan faktual untuk mengetahui alasan dan jalannya sebuah peristiwa. Mengapa (why) dan bagaimana (how) merupakan pertanyaan analisis-kritis yang juga menuntut jawaban analisis-kritis yang bermuara pada penjelasan atau sintesis sejarah. Dalam kaitannya dengan deskripsi, eksplanasi dibangun atas deskripsi-deskripsi faktual karena eksplanasi tanpa deskripsi adalah fantasi. Melalui deskripsi-deskripsi faktual yang dirangkai dalam suatu sintesis, ekplanasi sejarah mampu menjelaskan mengapa/bagaimana suatu peristiwa terjadi.

 

B.       Kedudukan Eksplanasi Sejarah dalam Metodologi Sejarah

Louis Gottschalk (Saidah, 2011: 240) menyimpulkan bahwa prosedur penelitian dan penulisan sejarah bertumpu pada 4 (empat) kegiatan pokok, ialah: (1) Pengumpulan objek yang berasal dari suatu zaman dan pengumpulan bahan-bahan tertulis dan lisan yang relevan. (2) Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik. (3) Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang otentik. (4) Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah atau suatu penyajian yang berarti. Prosedur itulah yang disebut metode sejarah.

Sesuai dengan langkah-langkah yang diambil dalam keseluruhan prosedur, metode sejarah biasanya dibagi atas 4 (empat) kelompok kegiatan, yakni: (1) Heuristik: kegiatan menghimpun sumber-sumber sejarah. (2) Kritik (verifikasi): meneliti apakah sumber-sumber itu sejati, baik bentuk maupun isinya. (3) Interpretasi: menetapkan makna dan saling hubungan dari fakta-fakta yang telah diverifikasi. (4) Historiografi: penyajian hasil sintesis yang diperoleh dalam bentuk kisah sejarah. Posisi penjelasan sejarah/ eksplanasi sejarah dalam metode sejarah dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Dilihat dari langkah metodologi sejarah, secara kronologis penjelasan/ eksplanasi sejarah merupakan kelanjutan dari interpretasi atas fakta. Hal ini sejalan dengan hakikat sejarah sebagai ilmu, sebagaimana diungkapkan Kuntowijoyo (2008: 2-10) bahwa:

ü  SEJARAH: Menafsirkan, Memahami, Mengerti.

Sejarah bertumpu pada metode Verstenhen, yaitu pengalaman "dalam" yang menembus jiwa dan seluruh pengalaman kemanusiaan. Verstehen atau understanding adalah usaha untuk "meletakan diri" dalam diri yang "lain". Verstehen adalah mengerti "makna yang ada di dalam", mengerti subjective mind dari pelaku sejarah.

ü  SEJARAH: Memanjang dalam waktu dan Terbatas dalam ruang.

Sejarah adalah ilmu diakronis, sedangkan ilmu sosial adalah ilmu sinkronis. Sejarah merupakan ilmu diakronis sebab sejarah meneliti gejala-gejala yang memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas. Sementara ilmu sosial lainnya seperti ilmu politik, sosiologi dan lain-lain, adalah ilmu sinkronis, yaitu ilmu yang meneliti gejala-gejala yang meluas dalam ruang, tetapi dalam waktu yang terbatas.

 

ü  SEJARAH: Menuturkan gejala tunggal.

Sejarah bersifat menuturkan gejala tunggal (ideographic, singularizing), sejarah menuturkan suatu obyek atau ide dan mengangkatnya sebagai gejala tunggal. Sementara ilmu sosial lain menarik hukum umum (nomothetic, generalizing), bermaksud menarik hukum karenanya mengangkat gejala-gejala umum.

Oleh karenanya, penjelasan sejarah adalah; 1) hermeneutic dan verstehen, menafsirkan dan mengerti, 2) penjelasan sejarah adalah penjelasan tentang waktu yang memanjang; 3) penjelasan sejarah adalah penjelasan tentang peristiwa tunggal. Penjelasan sejarah menurut Kunto adalah sintesa atas interpretasi terhadap fakta sejarah.

 

C.      Perbedaan Penjelasan Sejarah dengan Penjelasan Ilmu Alam dan Sosial

Perdebatan tentang apakah sejarah sebagai ilmu memiliki kesamaan dengan ilmu alam dan ilmu sosial lainnya telah berlangsung lama. Perdebatan tersebut melahirkan dua aliran besar dalam ilmu sejarah. Pertama, madzhab R.G. Collingwood (1935) yang menyatakan bahwa sejarah adalah buah pemikiran yang otonom berbeda dengan ilmu alam. Sementara madzhab kedua diusung oleh Carl Hempel (1942) bahwa alam diatur oleh hukum-hukum tertentu, demikian pula perbuatan manusia harus tunduk kepada prinsip-prinsip tertentu yang konstan dan universal. Aliran pertama dikenal dengan aliran humanistik (anti Hempelian), sedang aliran kedua dikenal dengan aliran positivistik (Hempelian).

Jauh sebelum perdebatan tersebut, Wilhelm Dilthey (1833-1911), menyatakan bahwa ilmu terbagi menjadi dua, yaitu ilmu tentang dunia "luar" a tau Naturwissenschaften (ilmu-ilmu alam) dan ilmu ten tang dunia "dalam" atau Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu kemanusiaan, humanities, human studies, cultural sciences). Dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dimasukkannya sejarah, ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi sosial, psikologi, perbandingan agama, ilmu hukum, ilmu politik, filologi, dan kritik sastra.

 

Sebagai ilmu humaniora, gejala sejarah (peristiwa, tokoh, perbuatan, pikiran, dan perkataan) tidak bisa dijelaskan dengan pendekatan yang digunakan untuk ilmu alam. Misalnya peristiwa gempa di Yogyakarta memang dapat dijelaskan dengan teori ilmu alam berdasarkan observasi geologis misalnya, namun hanya terbatas pada fenomena gempanya saja, tidak menyangkut penjelasan tentang apa yang dialami orang ketika peristiwa gempa, apa pikiran orang ten tang gempa dan seterusnya. Oleh karenanya, pendekatan untuk ilmu kemanusiaan adalah dengan hermeneutics dan verstehen, menafsirkan dan memahami.

Beberapa perbedaan pokok penjelasan ilmu alam dan penjelasan sejarah dapat diuraikan sebagai berikut:

1)        Penjelasan dalam ilmu alam:

ü Dimulai dengan observasi (pengamatan), berakhir dengan konsep-konsep umum (generalisasi)

ü Gejala dilihat sebagai dalam kerangka suatu penegakan generalisasi

2)        Penjelasan dalam sejarah

ü Berupaya untuk menyelami apa yang ada di dalam suatu peristiwa (dapat menghayati peristiwa sebenamya dari dalam) :

a)      Bagian luar adalah wujud fisik/ gerak dari suatu peristiwa

b)      Bagian dalam pikiran yang ada di balik wujud fisik

c)      Re-thinking them in his own mind (konstruk pemikiran ulang tentang peristiwa sesuai pemahaman sejarawan berdasarkan fakta)

Dalam hal prediksi dan karakteriknya, ilmu alam dan sosial juga memiliki perbedaan sebagai berikut:

PERBEDAAN ILMU ALAM DAN SEJARAH

ILMU ALAM

SEJARAH

1.    Perulangan-perulangan/ recurrence

2.    Percobaan/ eksperimental di laboratorium atau lapangan, yaitu mewujudkan kembali bentuk semula dari gejala-gejala semula

 

 

3.    Mengidentifikasi keajegan/ keteraturan dari gejala-gejala tersebut

4.    Keumuman/ dalil/ hukum bisa dirumuskan.

1.     Peristiwa sejarah bersifat unik/ partikularistik

2.     Unsur paralelisme/kesejajaran di samping unsur kekhususan

3.     Kecenderungan-kecenderungan umum/ general tendencies

 

4.     Hukum-hukum sejarah bisa dirumuskan.

 

Penjelasan sejarah dimungkinkan akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat erat kaitannya dengan waktu, yaitu continuity and change:

Organization Chart

Terlepas dari perbedaan tersebut, masalah besar dialami ilmu sejarah yaitu sejauh mana teori dalam ilmu sejarah dapat membantu penyusunan eksplanasi sejarah. Sedangkan dalam ilmu alam kerangka teoretis dengan hukum atau dalil-dalilnya mempermudah eksplanasi proses tersebut pada umumnya dan eksplanasi kausal khususnya. Dalam hal ini, sejarah dengan pendekatan ilmu sosial lebih mampu mengadakan analisis sehingga dapat melacak kausalitas gejala historis yang kompleks. Oleh karenanya, dalam menguraikan tentang penjelasan sejarah dengan cara menggabungkan kedua pendekatan tersebut, yaitu pendekatan ilmu alam dan pendekatan ilmu sosial.

 

D.      Model-Model Eksplanasi Sejarah

Helius Sjamuddin (2007: 123-150) membagi eksplanasi sejarah kedalam beberapa model, yaitu sebagai berikut:

1.        Kausalitas

Model kausalitas berupaya menjelaskan peristiwa sejarah dengan merangkaikan berbagai fakta dalam sintesis hubungan sebab akibat (cause-effect). Hukum sebab akibat (law of causation) menunjukkan bahwa setiap fenomena merupakan akibat dari sebab sebelumnya. Kajian sejarah adalah kajian tentang sebab-sebab dari suatu peristiwa terjadi sehingga hampir merupakan aksioma atau kebenaran umum. Dalam perkembangannya, hukum kausalitas dianggap ketinggalan karena memiliki tendensi deterministik. Alternatif terhadap hukum kausalitas adalah pendekatan fungsional. Penjelasan dalam hukum kausalitas dimulai dengan mencari sejumlah sebab untuk peristiwa yang sama. Sebab-sebab yang banyak tersebut disebut kemajemukan sebab (multiplicity of causes). Dalam konteks ini, setiap sebab memiliki kedudukan sama penting. Langkah selanjutnya adalah menganalisis sebab-sebab untuk kemudian mendapatkan penyebab utama (the ultimate cause), sebab dari semua sebab (cause of all causes).

Kaitannya dengan kemajemukan sebab, muncul persoalan determinisme dalam sejarah (determinism in history) dan kebetulan dalam sejarah (chance in history). Ahli filsafat Hegel dianggap sebagai peletak dasar filsafat sejarah determinisme. Kritik terhadap determinisme adalah dianggap mengabaikan kemauan bebas (free will) manusia. Determinisme dianggap bertentangan dengan adanya penyebab majemuk atau multikausal. Sementara itu, kebetulan sejarah menganggap pertemuan atau benturan antar sebab dalam peristiwa sejarah sebagai sebuah kebetulan. Kebetulan yang kemudian mengubah jalannya sejarah. Teori kebetulan mendapat kritik karena dianggap melebih-lebihkan. Penganut teori ini dianggap malas melakukan penelitian, kemalasan inteletual (intellectual laziness) atau vitalitas yang rendah (low intellectual vitality).

 

 

Dalam melakukan rekonstruksi sejarah, tidak semua fakta otomatis menjadi fakta sejarah. Fakta-fakta masa lalu baru menjadi fakta sejarah jika sejarawan memilihnya karena dianggap mempunyai hubungan (relevansi) dan berarti (signifikansi) dengan apa yang diteliti. Hal yang sama juga berlaku bagi penganut multikausal dalam peristiwa sejarah. Susunan sebab-sebab, signifikansi serta relevansi antar satu sebab atau serangkaian sebab dengan yang lainnya merupakan esensi penafsiran sejarah.

 

2.        Covering Law Model (CLM)

Sebagian besar ahli filsafat sejarah analitis mencoba memaksakan pengetahuan sejarah ke dalam suatu formula hukum umum (general law), suatu pernyataan dari bentuk kondisi universal yang sanggup dikonfirmasi atau dibantah berdasarkan bukti-bukti empiris yang sesuai. Penganut CLM berpendapat bahwa setiap penjelasan dalam sejarah harus dapat diterangkan oleh hukum umum (general law) atau hipotesis universal (universal hypothesis) atau hipotesis dari bentuk universal (hypothesis of universal form). Menurut teori CLM, tidak ada perbedaan metodologis antara ilmu alam dengan sejarah. Penjelasan sejarah diperoleh dengan menempatkan peristiwa-peristiwa itu di bawah hipotesis, teori, atau hukum umum. Dengan kata lain, penjelasan diperoleh dengan cara mendeduksikannya dari pernyataan-pernyataan tentang hukum-hukum umum dan kondisi-kondisi awal.

 

3.        Hermeneutika

Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, hermeneuein, yang berarti menafsirkan. Dalam mitologi Yunani, kata ini sering dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes, seorang dewa yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter kepada manusia. Tugas menyampaikan pesan berarti juga mengalihbahasakan ucapan para dewa ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia. Pengalihbahasaan sesungguhnya identik dengan penafsiran. Dari situ kemudian pengertian kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran atau interpretasi. Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi atau penafsiran makna.

Hermeneutika boleh dibilang menjadi semacam antitesis terhadap teori CLM. Hermeneutika menekankan secara jelas antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan. Penganut hermeneutika berpendapat bahwa perbuatan manusia hanya bisa diterangkan dengan kajian edografik (kekhusunan, partikularistik) daripada nomotetik (keumuman, generalistik). Pengertian hermeneutika erat hubungannya dengan penafsiran teks-teks dari masa lalu dan penjelasan pelaku sejarah. Sejarawan mencoba menjelaskan masa lalu dengan mencoba menghayati atau dengan empati, menempatkan dirinya dalam alam pemikiran pelaku sejarah.

Hermeneutika mencoba memasuki diri pelaku dan berupaya memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat pelaku sejarah. Ada semacam dialog batin antara batin sejarawan yang menggunakan pengalaman hidupnya sendiri dengan sumber-sumber sejarah yang digunakan.

Dalam kajian sejarah, hermeneutika adalah cara menyusun kembali kerangka yang dibuat sejarawan agar peristiwa sebenarnya dapat diketahui. Istilah hermeuneutika muncul beriringan dengan interpretasi dalam sejarah. Lingkup hermeneutika mencakup mengetahui, memahami, dan menafsirkan subjek serta objek sekaligus proses sejarah. Dengan hermeneutika, seorang sejarawan akan mampu memahami sekaligus mengetahui kejadian masa lalu yang sebenarnya telah terjadi.

Hermeneutika sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemahaman manusia terhadap sesuatu. Perkembangan pemahaman terhadap hermeneutika bisa dilihat dari teori Richard E Palmer (Sulasman, 2014:277), yang memetakan enam teori modern hermenetik.

1.        Hermeneutik sebagai teori penafsiran kitab suci

2.        Hermeneutik sebagai metode filologi

3.        Hermeneutik sebagai ilmu pengetahuan linguistik

4.        Hermeneutik sebagai fondasi ilmu kemanusiaan

5.        Hermeneutik sebagai fenomena das sein dan pemahaman eksistensial

6.        Hermeneutik sebagai sistem penafsiran/interpretasi

Secara umum, ada tiga jenis teori penafsiran (heurmeneutika) yaitu teori romantik, teori teks dan teori pembaca. Teori romantik mengatakan bahwa penafsiran harus berdasarkan sejarah ini yang pertama. Dalam Islam barangkali diidentikan dengan asbabbun nuzul atau asbabul wurud dalam ululmul hadist. Teori ini berusaha sekuat mungkin untuk memahami teks sesuai dengan kapan dan dimana teks itu diturunkan sebagaimana yang dikemukakan oleh pembawa teks. Teori teks merupakan teori dimana penafsir tidak menghiraukan konteks historis. Melainkan hanya memahami teks sesuai kaidah kebahasaan. Sedangkan teori pembaca dipahami lepas dari konteks historis dan teks, tetapi pembaca mengambil hikmah dari sebuah teks untuk tujuan tertentu. Para filosuf dalam membaca teks filsafat seringkali menggunakan metode ini. Selain itu juga kaum teolog, terutama teolog muslim modern. Sehingga pemahaman atas teks cenderung liberal dan seolah terlepas dari teks dan sejarah. Orientasinya adalah bagaimana teks ini bisa bermanfaat untuk rekunstruksi masa depan.

Salah satu tokoh hermeneutika yang terkenal adalah Hans-Georg Gadamer (1900-2002). Menurut Gadamer, sains kemanusiaan (termasuk sejarah) mempunyai cara atau metode tersendiri yang otonom untuk mengetahuinya. Sebagian dari cara mengetahui itu termasuk memiliki kesadaran sejarah, yaitu suatu “kesadaran penuh terhadap historisitas setiap hal yang ada sekarang dan relativitas dari semua opini”. Bagi Gadamer, sejarah adalah perjalanan tradisi yang ingin membangun visi dan horizon kehidupan di masa depan. Gadamer menyebutkan effective history dan double movement, dimana setiap pengalaman atau peristiwa sejaran memiliki keterkaitan satu sama lainnya.

Teori-teori pokok hermeneutika Gadamer dapat diringkas ke dalam beberapa bentuk teori yang terkait satu dengan yang lainnya, yaitu sebagai berikut.

1.        Teori kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah (historically effected consciuousness)

Menurut teori ini, pemahaman seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutika tertentu yang melingkupinya, baik berupa tradisi, kultur, maupun pengalaman hidup. Pada saat menafsirkan sebuah teks seorang penafsir harus sadar bahwa penafsir berada dalam posisi tertentu yang bisa mewarnai pemahamannya terhadap suatu teks yang sedang ditafsirkan.

 

2.        Teori Prapemahaman (pre-understanding)

Pra-pemahaman merupakan posisi awal penafsir memang pasti dan harus ada ketika membaca teks agar seorang penafsir mampu mendialogkannya dengan isi teks yang ditafsirkan.Tanpa pra pemahaman, seseorang tidak akan berhasil memahami teks secara baik.Pra pemahaman harus terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi, dan dikoreksi oleh penafsir ketika penafsir sadar atau mengetahui bahwa pra-pemahamannya tidak sesuai dengan maksud yang ditafsirkan oleh teks untuk menghindari kesalahpahaman terhadap pesan teks.

 

3.        Teori penggabungan/asimilasi horizon (fusion of horizons) dan teori lingkaran hermeneutika (hermeneutical circle)

Saat berusaha merehabilitasi pra-pemahaman, maka seorang penafsir berhubungan dengan teori penggabungan/asimilasi. Dalam arti bahwa dalam proses penafsiran, penafsir harus sadar bahwa ada dua horizon, yakni pengetahuan (horizon dalam teks) dan pemahaman (horizon pembaca). Kedua horizon ini selalu hadir dalam proses pemahaman dan penafsiran. Seorang pembaca teks memulainya dengan cakrwala hermeneutika, tetapi haris memperhatikan teks yang memiliki horizon sendiri yang mungkin berbeda dengan horizon yang dimiliki pembaca.

 

4.        Teori penerapan/aplikasi (application)

Makna objektif teks harus mendapat perhatian dalam proses pemahaman dan penafsiran. Selain intu, ada satu hal lagi yang dituntut berupa penerapan pesan-pesan pada masa ketika teks itu ditafsirkan. Dalam membuat interpretasi, pangkal tolaknya adalah keseluruhan yang dibentuk oleh subjektivitas penulis.

Dalam memahami alur kerja atau metode pengoperasian hermeutika terdapat tiga hal yang harus diperhatikan sebagai asumsi dasar dalam kerja hermeneutika. Berikut asumsi dasar hermeneutika.

1)        Teks bersifat terbuka

            Teks diasumsikan bersifat terbuka, tidak statis, dan pasif, bahkan selalu berdialog dan bernegosiasi dengan konteks. Hal ini karena teks mengalami otonomi relatif dan memiliki subyektif tersendiri yang berada di luar kendali pembicara atau pembaca. Kendali teks tidak dapat diwakili pesan sempurna pembaca teks. Teks juga memberikan peluang terbuka bagi sebuah pemaknaan. Apabila hanya mereproduksi makna pengarang pada zamannya, berarti teks menutup diri atau mungkin penafsiran yang dilakukan telah membatasi teks untuk berbicara dalam konteks masa kini.

2)        Konteks

            Kesadaran konteks dalam kerja hermeneutika akan membantu memahami suatu teks beserta motif, maksud, dan latar belakang teks tersebut, sehingga pemahaman yang tejadi sebenar-benarnya.

3)        Konstektualisasi

            Kontekstualisasi berarti menumbuhkan kesadaran terhadap kekinian dan segala logika serta kondisi yang berkembang di dalamnya merupakan perangkat metodologis, agar teks yang berasal dari masa lalu dapat dipahami bermanfaat bagi masa sekarang. Pengetahuan dibentuk oleh konteks, sehingga konteks sangat penting untuk memahami makna.

            Selanjutnya, dalam mengoperasikan hermeneutika terdapat metode atau cara kerja hermeneutika sebagai berikut.

1)        Interpretasi data

Sejarah sebagai ilmu yang mengkaji manusia, sehingga dapat dipahami dan diinterpretasi melalui data-data sejarah yang ada. Data sejarah adalah bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengategorian. Interpretasi data berarti memahami dan menafsirkan aktivitas manusia yang tertera dalam teks atau data sejarah. Ada dua macam dalam menghadapi teks-teks sumber sejarah. Mula-mula teks ditafsirkan, lalu perbuatan pelaku sejarah dijelaskan. Dalam interpretasi data, teks dicoba dilihat keterpaduan (koherensi) antara masa lalu yang dikaji dengan bahan-bahan yang menjadi sumber sejarah sehingga dari penafsiran itu dapat diambil sikap atau kesimpulan tertentu (Sjamsuddin, 2007:215).

 

2)        Interpretasi sejarah

Interpretasi sejarah dalam filsafat memunculkan dua kelompok, yaitu:

a.         Interpretasi monistik

Interpretasi monostik adalah interpretasi yang bersifat tunggal atau suatu penafsiran yang hanya mencatat peristiwa besar dan perbuatan orang yang terkemuka. Interpretasi ini meliputi:

1.      Interpretasi teologis

Menekankan pada takdir Tuhan sehingga peran sejarah bersifat pasif.

2.      Interpretasi geografis

Peran sejarah ditentukan oleh faktor geografis dengan mempertimbangkan letak bumi dan pola hidup/cara hidup manusianya.

3.      Interpretasi ekonomi

Faktor ekonomi berpengaruh secara deterministic terhadap gerak sejarah.

4.      Interpretasi rasial

Penafsiran yang ditentukan oleh peranan rasa tahu bangsa.

b.        Interpretasi pluralistik

Interpretasi ini mengemukakan bahwa sejarah akan mengikuti perkembangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang menunjukkan pola peradaban yang multikompleks.

Keterkaitan dengan riset sejarah, hermeneutika dan perkembangan intelektual yang didorong dengan rasa ketidaktahuan pada satu sisi dan keinginan pada sisi lain, akan melahirkan dinamika sejarah yang ditandai dengan trial and error, selalu mencoba dan menggali hal-hal baru serta siap untuk menerima kegagalan. Pertumbuhan pengetahuan dan trasidisi manusia mempengaruhi pemahaman terhadap hermeneutika.

 

 

Kesimpulannya, hermeneutika erat hubungannya dengan penafsiran teks-teks masa lalu dan penjelasan perbuatan pelaku (atau para pelaku) sejarah. Oleh karena itu, tugas sejarawan memahami objek kajian dengan cara menafsirkan makna dari semua peristiwa, proses,serta perbuatan keseluruhan masyarakat manusia. Sejarawan menjelaskan masa lalu dengan menghayati atau menempatkan dirinya dalam diri pelaku sejarah (empati), memahami dan menjelaskan cara pelaku (para pelaku) sejarah berpikir, merasakan, dan berbuat. Dalam memasuki diri sebagai pelaku sejarah dan memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat oleh para pelaku sejarah sejarawan harus juga menggunakan latar belakang kehidupan dengan seluruh pengalaman hidupnya sehingga ada semacam interaksi di antara sejarawan dan sumber-sumber sejarah yang digunakannya.

 

4.        Model Analogi

Masih terjadi perdebatan di antara para pakar tentang analogi sebagai eksplanasi sejarah. Namun bagi penganutnya, analogi merupakan alat eksplanasi yang sangat berguna. Analogi berperan penting dalam proses kreativitas intelektual. Analogi dapat berperan ke dalam maupun ke luar. Ke dalam, analogi dapat meningkatkan suatu yang tidak disadari atau inferensi awal ke tingkat rasionalitas dalam pikiran. Ke luar, analogi bekerja sebagai wahana mengalihkan pikiran seseorang kepada orang lain. Penggunaan analogi dalam eksplanasi sejarah berpotensi menimbulkan kekeliruan. Karena itu, para sejarawan dituntut lebih selektif dalam menggunakannya. Analogi, meskipun suatu alat untuk menjelaskan peristiwa sejarah, kedudukannya hanya alat bantu (auxiliary) dalam pembuktian. Analogi juga berkaitan dengan metafora. Sejarawan yang menggunakan metafora dalam penjelasannya kerap menggunakan analogi.

 

 

 

 

 

Beberapa contoh metafora sejarah antara lain:

a.       Machiavellian, diambil dari nama Niccolo Machiavelli untuk menggambarkan doktrin politik seseorang yang menggunakan berbagai cara untuk mencapai tujuan politiknnya.

b.      Cut the Gordian Knot, dari nama Raja Gordius dari Phrygia kuno untuk menggambarkan penggunaan cara-cara drastis tanpa bersusah payah.

c.       Pyrrhic victiry, dari nama raja Pyrrhus dari Epirus untuk menggambarkan sebuah kondisi di mana kemenangan perang diperoleh dengan kerugian besar. Sejarawan menggunakan istilah ini untuk menggambarkan perjuangan seseorang untuk mendapatkan sesuatu dengan kerja keras sampai kehabisan daya.

d.      Carthaginian Peace, dari nama Kartago di Afrika Utara. Penghancuran Kartago yang dilakukan Romawi untuk menghindari kebangkitan sebuah kekuatan. Sejarawan menggunakan metafora ini untuk menggambarkan politik bumi hangus sebagai reaksi atas kekhawatiran munculnya kekuatan lain.

 

5.        Model Motivasi

Para sejarawan sering juga menggunakan penjelasan yang berdasarkan motivasi dalam karya-karya tulis mereka. Eksplanasi yang berdasarkan atas motivasi dapat dibagi atas dua macam, yaitu:

a.    Bentuk eksplanasi kausal, di mana akibat merupakan suatuperbuatan yang inteligen, sedangkan sebab merupakan pikiran di belakang perbuatan itu.

b.    Bentuk eksplanasi non-kausal, yaitu berupa model dari tingkah laku yang berpola.

Pada dasarnya, model ini menekankan penggunaan pendekatan psikohistori yang berpijak pada teori psikoanalisis dari Sigmund Freud. Kelemahan pendekatan ini terletak pada keterbatasan-keterbatasan metode psikoanalisis sendiri, selain prosedur historiografis yang kurang memadai.

 

 

 

E.     Contoh Eksplanasi Sejarah

Salah satu contoh eksplanasi sejarah adalah mengenai “Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan”, dalam hal ini dapat muncul beberapa sebab dari terjadinya peristiwa tersebut, yaitu:

1.      Ada yang berpendapat bahwa kelompok Soekarno-Hatta yang menyebabkan peristiwa itu dapat terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.

2.      Argumentasi lain ada yang mengatakan bahwa Ahmad Subardjo yang menyebakan peristiwa itu terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945, sebab dialah yang membebaskan Soekarno-Hatta dari Rengasdengklok dengan mempertaruhkan jiwanya.

3.      Dalam hal ini dapat juga orang mengemukakan peristiwa itu dapat terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945, karena Maeda berbaik hati meminjamkan rumahnya untuk rapat merumuskan teks proklamasi kemerdekaan.

Dalam hal ini sejarawan tidak dapat menulis semua sebab yang merupakan daftar panjang dalam karyanya. Oleh karena itu, sejarawan harus memilihnya untuk ditulis dan memberikan argumentasinya yang meyakinkan.

 

F.     Cara Melakukan Eksplanasi Sejarah

Menurut Djoko Suryo dalam Saidah (2011: 246), Kuntowijoyo telah berhasil meramu hakikat penjelasan sejarah (meskipun ada jenis penjelasan sejarah lain yang tidak disebutkan) yang selama tiga dekade pada abad XX telah menjadi bahan perdebatan dan ketidaksepakatan di antara kaum positivis dan kaum idealis (humanis dalam bahasa Clayton Robert). Kaum positivis, pada satu pihak, antara lain diwakili oleh Karl Popper dan Carl Hempel, dan kaum idealis, pada pihak lain, antara lain diwakili oleh Dilthey, Collingwood, Croce, dan Max Weber. Perdebatan ini antara lain berkisar pada persoalan sebagai berikut: haruskah semua penjelasan sejarah seragam dengan menggunakan model yang sama (deduksi) ataukah penjelasan dalam sejarah boleh memiliki logika sendiri. Apakah kaum positivis benar ketika ia menyatakan bahwa secara metodologis tidak ada perbedaan mendasar antara sejarah dan ilmu alam. Apakah sejarah (dipandang sebagai disiplin kognitif) sui generis atau tidak. Haruskah sejarawan menggunakan hukum (atau generalisasi universal) seperti ahli ilmu alam atau dapatkah ia mencapainya dengan cara berbeda.

Keberhasilan Kuntowijoyo dalam meramu teori tentang penjelasan sejarah adalah dengan mengungkapkan kaidah-kaidah penjelasan sejarah yang disederhanakan menjadi enam kaidah, kesemuanya diambilkan baik dari aliran positivis maupun humanis. Keenam kaidah tersebut adalah:

Pertama, Regularity (keajegan, keteraturan, konsistensi (diambilkan dari konsep Gardiner; positivis). Regularity adalah penjelasan antar peristiwa yang mengandung prediksi sejarah menjadi penjelasan dalam peristiwa (inner coherence). Artinya secara ajeg gejala-gejala muncul dimana saja terjadi suatu peristiwa. Contoh: penjelasan sejarah tentang sebab musabab Revolusi di Indonesia. Sekali diterangkan bahwa revolusi itu adalah revolusi pemuda, maka semua tempat peristiwa harus disebabkan oleh pemuda, baik dipusat maupun di daerah. Contoh lain, kalau ada kekosongan otoritas rnaka akan terjadi anarki. Itulah yang terjadi di Indonesia pada Mei 1998 dan juga di Baghdad pada April 2003. Bagi Kunto, semua penjelasan sejarah sebenamya memerlukan regularity di dalamnya, terutama dalam menjelaskan aspek kausalitas.

Kedua, Generalisasi (konsep dari Mc Cullagh). Adalah persamaan karakteristik tertentu atau suatu bagian yang menjadi ciri sebuah kelompok, juga menjadi ciri dari kelompok yang lain pula. Konsep-konsep sejarah seperti "feodalisme'', "puritanisme", dan "pergerakan nasional" semuanya mengandung generalisasi konseptual. Generalisasi sejarah ialah membandingkan unit-unit sejarah. Letak penjelasan sejarahnya ialah pada generalisasi itu, tidak pada deskripsi atas masing-masing unit sejarah. Konsep generalisasi diambilkan dari ilmu alam dan ilmu sosial, namun yang membedakannya adalah generalisasi dalam sejarah sangat berkait dengan waktu sehingga dalam pengeneralisasiannya seorang sejarawan akan menyusun periodisasi (generalisasi periodik).

Ketiga, Inferensi Statistik, Metode Statistik (konsep dari Mc Cullagh). Inferensi statistik dan metode statistik menjadi andalan dalam generalisasi. Kuantifikasi sebagaimana dalam tradisi sejarah sebenamya hanya menjelaskan narasi, bukan merupakan penjelasan numerical dan statistical. Pada dasarnya sejara itu persoalan kualitatif.

Keempat, Pembagian waktu dalam sejarah (konsep dari Fernand Braudel). Sejarawan melakukan klasifikasi atas waktu, sejarawan membuat periodisasi. Realitas sejarah sendiri terus-menerus mengalir tanpa sekat-sekat, dan pembabakan waktu adalah hasil konseptualisasi sejarawan, suatu rasionalisasi. Rasionalisasi bukan generalisasi. Rasionalisasi lahir dari pemikiran teoritis, sedangkan generalisasi adalah hasil dari gejala empiris.

Kelima, Narrative History. Sejarah adalah cerita masa lalu. Tugas sejarawan adalah menyusun bersama secara teratur. Susunan yang teratur itu sendiri tidak terdapat dalam gejala sejarah, tetapi justru tugas sejarawanlah untuk membuatnya teratur. Cara sejarawan menyusun adalah dengan merekonstruksi masa lalu, menghubungkan fakta yang satu dengan yang lainnya, sehingga terbentuklah suatu cerita.

Keenam, Multi-Interpretable (konsep Lorenz). Bahwa ilmu sejarah yang dipahami sebagai menafsirkan, memahami dan mengerti, cukup menjelaskan adanya subyektivisme dan relativisme dalam penjelasan sejarah. Sehingga sejarah bakal Multi-Interpretable. Sebagai akibatnya bisa jadi dalam mencari sebab musabab sebuah peristiwa terdapat perbedaan-perbedaan tafsir.

Berkaitan dengan model penjelasan sejarah yang menawarkan jalan tengah antara madzhab positivis dan humanis, Clayton Robert mengungkapkan perlu adanya penjelasan sejarah yang total (total explanation). Yaitu penjelasan dimana sejarawan mula-mula mendeskripsikan kejadian/peristiwa yang kompleks yang harus dijelaskan. Kemudian jejak-jejak sejarah yang memiliki keunikan dijadikan fokus, untuk kemudian dicari siapa yang menjadi aktor utama peristiwa tersebut, menguraikan tujuan-tujuan mereka yang dihubungkan dengan hasrat dan kepercayaan aktor tersebut. Akhimya dengan penjelasan total tersebut diperoleh pemahaman yang didasarkan pada sebab-sebab utama sebuah peristiwa.

Dalam proses penjelasan total tersebut, Clayton Robert menekankan pentingnya prinsip koligasi (colligation) dan korelasi (correlation). Prinsip koligasi adalah prosedur menerapkan suatu peristiwa dengan jalan menelusuri hubungan intrinsik dengan peristiwa lain; mencari kecenderungan umum. Sementara prinsip korelasi adalah prosedur menelusuri keterkaitan suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Dengan pola penyederhanaan terhadap nalar penjelasan sejarah seperti yang dilakukan Clayton Robert, nampaknya mirip dengan apa yang dikemukakan Kuntowijoyo dengan kaidah Narrative History/ sejarah naratif, bahwa menulis sejarah naratif antara lain dilakukan dengan cara koligasi (mencari hubungan dalam antar peristiwa sejarah), lalu membuat plot (mengorganisasikan fakta-fakta menjadi satu keutuhan) dan struktur sejarah (menyusun rekonstruksi secara akurat). Dengan demikian sejarah naratif bukan sekedar menjejerkan fakta melainkan menyusun rekonstruksi sebuah peristiwa menjadi rangkaian penjelasan historis yang utuh sekaligus kritis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.       KESIMPULAN

Ekspalansi sejarah merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam metodologi sejarah. Hal ini dipergunakan untuk mengembangkan, menganalisis, dan menjelaskan hubungan diantara pernyataan-pernyataan mengenai fenomena-fenomena yang ada.

Eksplanasi adalah suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa tertentu dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan secara tepat pernyataan-pernyataan yang bersifat umum (general statements). Arti penting dari eksplanasi sejarah sendiri adalah menunjukkan kausalitas yang sesungguhnya mengenai suatu peristiwa sejarah.

Dilihat dari langkah metodologi sejarah, secara kronologis penjelasan/ eksplanasi sejarah merupakan kelanjutan dari interpretasi atas fakta. Penjelasan/ eksplanasi sejarah memiliki perbedaan dengan penjelasan ilmu alam dan ilmu sosial lainnya. Penjelasan sejarah dimungkinkan akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat erat kaitannya dengan waktu, yaitu continuity and change:

Helius Sjamuddin (2007: 123-150) membagi eksplanasi sejarah kedalam beberapa model, yaitu sebagai berikut:

1. Kausalitas

2. Covering Law Model (CLM)

3. Hermeneutika

4. Model Analogi

5. Model Motivasi

Contoh eksplanasi sejarah tentunya sangat banyak tetapi salah satu contoh dari eksplanasi sejarah yang tidak asing bagi masyarakat yaitu mengenai “Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan”.

 

 

Kaidah-kaidah penjelasan sejarah yang disederhanakan menjadi enam kaidah, kesemuanya diambilkan baik dari aliran positivis maupun humanis. Keenam kaidah tersebut adalah Regularity (keajegan, keteraturan, konsistensi), Generalisasi (konsep dari Mc Cullagh), Inferensi Statistik, Metode Statistik (konsep dari Mc Cullagh), Pembagian waktu dalam sejarah (konsep dari Fernand Braudel). Kelima, Narrative History, dan Multi-Interpretable (konsep Lorenz).

 

B.       Saran

Berdasarkan pembahasan di atas penulis membuat sejumlah saran sebagai berikut.

1.        Ekplanasi sejarah harus dirancang dan dibuat sedetail dan se-valid mungkin agar mampu memberikan gambaran peristiwa masa lalu dengan sebenar-benarnya.

2.        Dalam melakukan eksplanasi sejarah maka harus dipilih model eksplanasi yang tepat.

3.        Untuk pembuatan makalah selanjutnya sebaiknya menjelaskan lebih detail lagi mengenai model-model ekplanasi sejarah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Saidah, Nur. 2011. Eksplanasi Sejarah dan Implikasinya dalam Pengembangan Model Pembelajaran SKI untuk MI. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sundoro, Mohammad Hadi. 2009. Teka – Teki Sejarah. Jember: University Pers.

Sulasman. 2014. Metodologi Penelitian Sejarah. Bandung: Pustaka Setia.

Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

 

http://historyfileon.blogspot.com

http://www.ariskaputri88.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aksi nyata modul 1.2

Berikut adalah link aksi nyata modul 1.2 program guru penggerak angkatan 9 Link aksi nyata modul 2.1