BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Peristiwa sejarah
yang telah ditulis dengan baik niscaya sangat bermakna bagi manusia, bukan saja
sekedar mengetahui dan memahami peristiwa sejarah yang dimaksud, melainkan juga menjadi pelajaran yang terbaik guna
memperbaiki diri seperti apa yang
terjadi apabila peristiwa sejarah itu dapat menjadi contoh atau menjauhi dan menghindarinya bilamana
peristiwa sejarah itu berbeda dengan harapan
manusia. Dalam memahami dan menelaah setiap peristiwa sejarah. Terlebih dahulu dipahami pentingnya
penjelasan atau keterangan yang mendukung
dimungkinkan kita dapat menelaah suatu peristiwa sejarah. Penjelasan atau keterangan metodolgi sejarah itu
disebut ekspalansi sejarah.
Eksplanasi sejarah merupakan
salah satu aspek yang sangat penting dalam
metodologi
sejarah. Hal ini dipergunakan untuk mengembangkan, menganalisis, dan menjelaskan hubungan diantara
pernyataan-pernyataan mengenai fenomena-fenomena yang ada. Masalah penjelasan sejarah atau eksplanasi sejarah merupakan
topic yang hangat diperdebatkan oleh ahli filsafat sejarah karena menyangkut
kontroversi mengenai logika yang menjelaskan hubungan di antara
pernyataan-pernyataan mengenai fenomena-fenomena yang ada, Dalam hal ini
penjelasan sejarah atau eksplanasi sejarah mempunyai arti luas yang mencakup
pula apa yang khusus dikenal oleh para sejarawan dengan sebutan kausalitas
(causation) serta bentuk-bentuk
penghubung lain (connections) yang digunakan oleh para
sejarawan ketika mereka menyintesis fakta-fakta.
Ucapan mengenai fakta-fakta historis merupakan deskripsi-deskripsi mengenai masa silam. Tetapi, seorang
ahli sejarah tidak membatasi diri pada usaha melukiskan masa silam. Ia juga berusaha memikirkan suatu
keterangan atau penjelasan yang
masuk akal, mengenai apa yang terjadi pada masa silam. Secara prinsip pertanyaan itu harus diberi
jawaban secara objektif dan yang masuk akal melalui sebuah eksplanasi sejarah.
Dengan demikian penjelasan atau eksplanasi dalam sejarah memegang
peranan yang penting untuk sejarah dapat menjelaskan fakta atau peristiwa
sejarah dengan menggunakan metode, model, dan teori yang ada. Mengingat hal
tersebut maka penulis tertarik untuk membahas materi mengenai eksplanasi
sejarah dalam makalah yang berjudul “Eksplanasi Sejarah”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pada
latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa
pengertian dari eksplanasi sejarah?
2. Bagaimana kedudukan ekplanasi sejarah dalam metodologi
sejarah?
3. Apa perbedaan penjelasan sejarah dengan penjelasan
ilmu alam dan sosial?
4. Bagaimana model-model eksplanasi sejarah?
5. Bagaimana
contoh-contoh
dari eksplanasi sejarah?
6. Bagaimana eksplanasi sejarah dilakukan?
C. Tujuan
Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka penulisan makalah ini
memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan
pengertian dari eksplanasi sejarah
2. Mengidentifikasi kedudukan ekplanasi sejarah dalam
metodologi sejarah
3. Membedakan penjelasan sejarah dengan penjelasan ilmu
alam dan sosial
4. Mengidentifikasi model-model
eksplanasi
sejarah
5. Mengidentifikasi
contoh-contoh
dari eksplanasi sejarah
6. Mengidentifikasi cara melakukan eksplanasi sejarah
7. Memenuhi salah satu tugas mata kuliah metode sejarah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Eksplanasi Sejarah
Eksplanasi adalah
suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa tertentu dihubungkan dengan
peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan yang tepat pernyataan-pernyataan
yang bersifat umum (general statements).
Arti penting dari eksplanasi sejarah sendiri adalah menunjukkan kausalitas yang
sesungguhnya mengenai suatu peristiwa sejarah. Menurut Kuntowijoyo, eksplanasi/ penjelasan
sejarah (historical explanation)
ialah usaha membuat unit sejarah intelligible
(dimengerti secara cerdas). Kunto
menegaskan perlunya intelligibility
karena sejarah tidak hanya dijelaskan secara kausalitas. Kausalitas hanyalah
salah satu dari penjelasan sejarah. Sedang tentang pertanyaan, mengapa sekedar penjelasan"
bukan llanalisis" yang meyakinkan dan pasti.
Penjelasan
atau eksplanasi kaum historis didasarkan atas pendapat bahwa setiap peristiwa
mempunyai keunikan dan individualitas, sehingga peristiwanya tidak dapat
dianalisis dan direduksi. Setiap peristiwa hanya perlu dilacak kembali ke
peristiwa yang mendahuluinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa eksplanasi sejarah
adalah suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa tertentu dihubungkan
dengan peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan pernyataan-pernyataan yang
bersifat umum yang tepat (general
statements).
Sebagai
ilmu, sejarah terikat pada prosedur penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah
merupakan sumber dan upaya pengembangan ilmu. Sejarah, karenanya, juga terikat
pada penalaran (reasoning) yang
mendasarkan diri pada fakta. Dalam sejarah dibedakan antara konsep data dan
konsep fakta. Fakta adalah data-data yang telah teruji kebenarannya melalui uji
(kritik) sumber. Fakta-fakta inilah yang menjadi andalan bagi
kebenaran sejarah. Untuk memperoleh kebenaran sejarah, akan banyak bergantung
pada kesediaan para sejarawan untuk meneliti dan men.gkaji sumber sejarah
secara cermat dan tuntas, sehingga diharapkan mampu mengungkap sejarah dengan
objektif (atau mendekati objektif). Hasil final yang diharapkan ialah adanya
kesesuaian (korespondensi) antara pemahaman (interpretasi dan historiografi)
sejarawan dengan fakta.
Eksplanasi sejarah
yang merupakan
kegiatan yang menghubungkan atau mengkaitkan satu peristiwa dengan peristiwa
lainnya melalui penggunaan pernyataan yang tepat dan bersifat umum. Berangkat
dari penjelasan umum tersebut maka dilanjutkan dengan penjelasan ilmiah dan
penjelasan sejarah. Penjelasan ilmiah dimulai dengan observasi (pengamatan),
berakhir dengan konsep-konsep umum (generalisasi), dimana gejala dilihat
sebagai dalam kerangka suatu penegakan generalisasi. Sedangkan penjelasan dalam
sejarah berupaya untuk menyelami apa yang ada di dalam suatu peristiwa (dapat menghayati
peristiwa sebenarnya dari dalam). Bagian dalam suatu peristiwa adalah pikiran yang ada dibalik wujud
fisik. Sedangkan bagian luar peristiwa sejarah adalah wujud fisik atau gerak
dari suatu peristiwa. Eksplanasi sejarah terdiri dari beberapa bagian yaitu
konsep, fakta, kontruksi, dan sebab musabab. Konsep adalah kesimpulan dari
gejala-gejala dalam suatu peristiwa sejarah. Fakta adalah suatu unsur yang
dijabarkan secara langsung atau tidak langsung dari dokumen sejarah dan
dianggap credible (dapat dipercaya)
setelah melalui tahap pengujian sesuai hukum metode sejarah. Kontruksi adalah
pembentukan atau penggambaran suatu peristiwa sejarah. Sebab terbagi menjadi
dua bagian, pertama sebab langsung dan kedua sebab tidak langsung. Sebab
langsung adalah pemicu peristiwa sejarah yang dapat diketahui dengan observasi,
pengamatan, ataupun perekaman. Sedangkan sebab tidak langsung merupakan pemicu
terjadinya peristiwa sejarah yang tidak dengan begitu saja dapat dibuktikan
namun sebab tidak langsung inilah yang merupakan bagian terpenting dalam pembentukan
fakta sejarah. Penyusunan fakta sejarah tidak terlepas dari konsep, ketiga hal
ini merupakan bagian terpenting dalam kontruksi sejarah.
Ekspalanasi sejarah secara pradikmatikal
terdiri atas ekspalandum atau pernyataan untuk memberikan ekspalanasi atau perangkat pernyataan
untuk memberikan ekspalansi. Selain
itu, ekspalanasi
dikatakan sebagai
proses yang dilalui peristiwa-peristiwa tunggal dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa
tunggal dan fenomena yang terisolasi, sehingga tidaklah bermakna fakta belaka.
Tanpa ekspalansi, fakta itu tidak berarti apa-apa. James A Black dan Dean J Champion
menyebutkan bahwa eksplanasi dapat tercapai jika saling pertalian dapat dibuktikan
antara sebab-sebab tertentu dengan akibat-akibatnya. Dalam eksplanasi harus
ada dua hal,
yaitu fakta untuk di susun untuk bersamaan dengan itu mekanisme konseptual yang
dapat di terima dan masukakal yang melaluinya dapat di kaitkan secara bersama-
sama. Jika kita jelaskan tentang fakta, kita harus memperhitungkan mengapa fakta itu harus
dianggap berkaitan satu dengan yang lain, dan kita harus memahaminya dengan
menunjukkan mengapa terjadi dalam bentuk yang demikian.
Terdapat dua
perangkat masalah yang timbul dalam tugas eksplanasi diantaranya adalah:
1. Masalah
menghubungkan fakta antara satu dengan yang lain. Dalam sosiologi dan
disiplin-disiplin semacam unit-unit analisis yang relasional disebut variabel;
2. Masalah
memahami kaitan antara hal- hal yang saling berhubungan. Disini terlihat,
eksistensi fakta merupakan bahan pokok untuk teoriteori kehidupan sosial.
Menurut J. Meehan
ada empat kasus yang khas dalam eksplanasi diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Eksplanasi
kausal yang menghubungkan explicandum
(sesuatu atau peristiwa atau fenomena yang perlu dijelaskan) dengan seperangkat
kondisi-kondisi yang
terjadi sebelumnya yag perlu ada atau cukup untuk menghasilkan explicandum.
2. Eksplanasi
fungsional yang menghubungkan dengan konteks yan lebih lias dengan menunjukkan
fungsi yang diembannya, seperti kita menjelaskan fungsi hati dalam organ tubuh.
3. Eksplanasi
teleologis yang menghubungkan explicandum
dengan tujuan suatu sistem atau maksud si pelaku, seperti perilaku seekor binatang
dapat dijelaskan karena ia mencari makan atau perilaku manusia dalam upaya nya untuk mencapai maksud
dan tujuan tertentu.
4. Eksplanasi
genetik atau eksplanasi sejarah yang menelusuri keadaan- keadaan sebelum suatu
peristiwa terjadi dan menunjukkan bagaimana proses yang terjadi.
Deskripsi dan
eksplanasi kerap dipersamakan. Padahal, keduanya memiliki perbedaan. Deskripsi
merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan faktual dalam peristiwa sejarah,
meliputi apa (what), di mana (where), kapan (when), dan siapa (who).
Jawaban dari pertanyaan tadi merupakan deskripsi faktual tentang sebuah
peristiwa. Di sisi lain, eksplanasi merupakan perluasan pertanyaan faktual
untuk mengetahui alasan dan jalannya sebuah peristiwa. Mengapa (why) dan bagaimana (how) merupakan pertanyaan analisis-kritis yang juga menuntut jawaban
analisis-kritis yang bermuara pada penjelasan atau sintesis sejarah. Dalam
kaitannya dengan deskripsi, eksplanasi dibangun atas deskripsi-deskripsi faktual karena
eksplanasi tanpa deskripsi adalah fantasi. Melalui deskripsi-deskripsi faktual yang dirangkai
dalam suatu sintesis, ekplanasi sejarah mampu menjelaskan mengapa/bagaimana
suatu peristiwa terjadi.
B.
Kedudukan Eksplanasi Sejarah dalam Metodologi Sejarah
Louis Gottschalk (Saidah, 2011: 240)
menyimpulkan bahwa prosedur penelitian dan penulisan sejarah bertumpu pada 4
(empat) kegiatan pokok, ialah: (1) Pengumpulan objek yang berasal dari suatu
zaman dan pengumpulan bahan-bahan tertulis dan lisan yang relevan. (2)
Menyingkirkan bahan-bahan
yang tidak otentik. (3) Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya dari
bahan-bahan yang otentik. (4) Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi
suatu kisah atau suatu penyajian yang berarti. Prosedur itulah yang disebut
metode sejarah.
Sesuai dengan
langkah-langkah yang diambil dalam keseluruhan prosedur, metode sejarah
biasanya dibagi atas 4 (empat) kelompok kegiatan, yakni: (1) Heuristik:
kegiatan menghimpun sumber-sumber sejarah. (2) Kritik (verifikasi): meneliti
apakah sumber-sumber itu sejati, baik bentuk maupun isinya. (3) Interpretasi:
menetapkan makna dan saling hubungan dari fakta-fakta yang telah diverifikasi.
(4) Historiografi: penyajian hasil sintesis yang diperoleh dalam bentuk kisah
sejarah. Posisi penjelasan sejarah/ eksplanasi sejarah dalam metode sejarah
dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Dilihat dari
langkah metodologi sejarah, secara kronologis penjelasan/ eksplanasi sejarah
merupakan kelanjutan dari interpretasi atas fakta. Hal ini sejalan dengan
hakikat sejarah sebagai ilmu, sebagaimana diungkapkan Kuntowijoyo (2008: 2-10) bahwa:
ü
SEJARAH: Menafsirkan,
Memahami, Mengerti.
Sejarah
bertumpu pada metode Verstenhen,
yaitu pengalaman "dalam" yang menembus jiwa dan seluruh pengalaman
kemanusiaan. Verstehen atau
understanding adalah usaha untuk "meletakan diri" dalam diri yang
"lain". Verstehen adalah
mengerti "makna yang ada di dalam", mengerti subjective mind dari pelaku sejarah.
ü
SEJARAH: Memanjang dalam
waktu dan Terbatas dalam ruang.
Sejarah
adalah ilmu diakronis, sedangkan ilmu sosial adalah ilmu sinkronis. Sejarah
merupakan ilmu diakronis sebab sejarah meneliti gejala-gejala yang memanjang
dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas. Sementara ilmu sosial lainnya seperti ilmu
politik, sosiologi dan lain-lain, adalah ilmu sinkronis, yaitu ilmu yang
meneliti gejala-gejala yang meluas dalam ruang, tetapi dalam waktu
yang terbatas.
ü
SEJARAH: Menuturkan
gejala tunggal.
Sejarah
bersifat menuturkan gejala tunggal (ideographic,
singularizing), sejarah menuturkan suatu obyek atau ide dan mengangkatnya
sebagai gejala tunggal. Sementara ilmu sosial lain menarik hukum umum (nomothetic, generalizing), bermaksud
menarik hukum karenanya mengangkat gejala-gejala umum.
Oleh karenanya,
penjelasan sejarah adalah; 1) hermeneutic
dan verstehen, menafsirkan dan
mengerti, 2) penjelasan sejarah adalah penjelasan tentang waktu yang memanjang;
3) penjelasan sejarah adalah penjelasan tentang peristiwa tunggal. Penjelasan
sejarah menurut Kunto adalah sintesa atas interpretasi terhadap fakta sejarah.
C.
Perbedaan Penjelasan Sejarah dengan Penjelasan Ilmu
Alam dan Sosial
Perdebatan tentang
apakah sejarah sebagai ilmu memiliki kesamaan dengan ilmu alam dan ilmu sosial lainnya telah berlangsung
lama. Perdebatan tersebut melahirkan dua aliran besar dalam ilmu sejarah.
Pertama, madzhab R.G. Collingwood (1935) yang menyatakan bahwa sejarah adalah
buah pemikiran yang otonom berbeda dengan ilmu alam. Sementara madzhab kedua
diusung oleh Carl Hempel (1942) bahwa alam diatur oleh hukum-hukum tertentu,
demikian pula perbuatan manusia harus tunduk kepada prinsip-prinsip tertentu
yang konstan dan universal. Aliran pertama dikenal dengan aliran humanistik
(anti Hempelian), sedang aliran kedua dikenal dengan aliran positivistik
(Hempelian).
Jauh sebelum
perdebatan tersebut, Wilhelm Dilthey (1833-1911), menyatakan bahwa ilmu terbagi
menjadi dua, yaitu ilmu tentang dunia "luar" a tau
Naturwissenschaften (ilmu-ilmu alam) dan ilmu ten tang dunia "dalam"
atau Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu
kemanusiaan, humanities, human studies,
cultural sciences). Dalam ilmu-ilmu kemanusiaan dimasukkannya sejarah, ilmu
ekonomi, sosiologi, antropologi sosial, psikologi, perbandingan agama, ilmu
hukum, ilmu politik, filologi, dan kritik sastra.
Sebagai ilmu
humaniora, gejala sejarah (peristiwa, tokoh, perbuatan, pikiran, dan perkataan)
tidak bisa dijelaskan dengan pendekatan yang digunakan untuk ilmu alam.
Misalnya peristiwa gempa di Yogyakarta memang dapat dijelaskan dengan teori
ilmu alam berdasarkan observasi geologis misalnya, namun hanya terbatas pada
fenomena gempanya saja, tidak menyangkut penjelasan tentang apa yang dialami
orang ketika peristiwa gempa, apa pikiran orang ten tang gempa dan seterusnya.
Oleh karenanya, pendekatan untuk ilmu kemanusiaan adalah dengan hermeneutics dan verstehen, menafsirkan dan memahami.
Beberapa perbedaan
pokok penjelasan ilmu alam dan penjelasan sejarah dapat diuraikan sebagai
berikut:
1)
Penjelasan dalam ilmu
alam:
ü Dimulai
dengan observasi (pengamatan), berakhir dengan konsep-konsep umum
(generalisasi)
ü Gejala
dilihat sebagai dalam kerangka suatu penegakan generalisasi
2)
Penjelasan dalam sejarah
ü
Berupaya untuk menyelami
apa yang ada di dalam suatu peristiwa (dapat menghayati peristiwa sebenamya
dari dalam) :
a)
Bagian luar adalah wujud
fisik/ gerak dari suatu peristiwa
b)
Bagian dalam pikiran yang
ada di balik wujud fisik
c)
Re-thinking
them in his own mind (konstruk pemikiran
ulang tentang peristiwa sesuai pemahaman sejarawan berdasarkan fakta)
Dalam hal prediksi
dan karakteriknya, ilmu alam dan sosial juga memiliki perbedaan sebagai
berikut:
PERBEDAAN ILMU ALAM DAN SEJARAH
ILMU ALAM |
SEJARAH |
1.
Perulangan-perulangan/
recurrence 2.
Percobaan/
eksperimental di laboratorium atau lapangan, yaitu mewujudkan kembali bentuk
semula dari gejala-gejala semula 3.
Mengidentifikasi
keajegan/ keteraturan dari gejala-gejala tersebut 4.
Keumuman/
dalil/ hukum bisa dirumuskan. |
1.
Peristiwa
sejarah bersifat unik/ partikularistik 2.
Unsur
paralelisme/kesejajaran di samping unsur kekhususan 3.
Kecenderungan-kecenderungan
umum/ general tendencies 4.
Hukum-hukum
sejarah bisa dirumuskan. |
Penjelasan sejarah
dimungkinkan akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat erat kaitannya
dengan waktu, yaitu continuity and change:
Terlepas
dari perbedaan tersebut, masalah
besar
dialami ilmu sejarah yaitu sejauh mana teori dalam ilmu sejarah dapat membantu
penyusunan eksplanasi sejarah. Sedangkan dalam ilmu alam kerangka teoretis
dengan hukum atau dalil-dalilnya mempermudah eksplanasi proses tersebut pada
umumnya dan eksplanasi kausal khususnya. Dalam hal ini, sejarah dengan
pendekatan ilmu sosial lebih mampu mengadakan analisis sehingga dapat melacak
kausalitas gejala historis yang kompleks. Oleh karenanya, dalam menguraikan
tentang penjelasan sejarah dengan cara menggabungkan kedua pendekatan tersebut,
yaitu pendekatan ilmu alam dan pendekatan ilmu sosial.
D.
Model-Model
Eksplanasi Sejarah
Helius Sjamuddin
(2007: 123-150) membagi eksplanasi sejarah kedalam beberapa model, yaitu
sebagai berikut:
1.
Kausalitas
Model kausalitas
berupaya menjelaskan peristiwa sejarah dengan merangkaikan berbagai fakta dalam
sintesis hubungan sebab akibat (cause-effect).
Hukum sebab akibat (law of causation)
menunjukkan bahwa setiap fenomena merupakan akibat dari sebab sebelumnya.
Kajian sejarah adalah kajian tentang sebab-sebab dari suatu peristiwa terjadi
sehingga hampir merupakan aksioma atau kebenaran umum. Dalam perkembangannya,
hukum kausalitas dianggap ketinggalan karena memiliki tendensi deterministik.
Alternatif terhadap hukum kausalitas adalah pendekatan fungsional. Penjelasan
dalam hukum kausalitas dimulai dengan mencari sejumlah sebab untuk peristiwa
yang sama. Sebab-sebab yang banyak tersebut disebut kemajemukan sebab (multiplicity of causes). Dalam konteks
ini, setiap sebab memiliki kedudukan sama penting. Langkah selanjutnya adalah
menganalisis sebab-sebab untuk kemudian mendapatkan penyebab utama (the ultimate cause), sebab dari semua sebab
(cause of all causes).
Kaitannya dengan
kemajemukan sebab, muncul persoalan determinisme dalam sejarah (determinism in
history) dan kebetulan dalam sejarah (chance in history). Ahli filsafat Hegel
dianggap sebagai peletak dasar filsafat sejarah determinisme. Kritik terhadap determinisme
adalah dianggap mengabaikan kemauan bebas (free
will) manusia. Determinisme dianggap bertentangan dengan adanya penyebab
majemuk atau multikausal. Sementara itu, kebetulan sejarah menganggap pertemuan
atau benturan antar sebab dalam peristiwa sejarah sebagai sebuah kebetulan. Kebetulan
yang kemudian mengubah jalannya sejarah. Teori kebetulan mendapat kritik karena
dianggap melebih-lebihkan. Penganut teori ini dianggap malas melakukan
penelitian, kemalasan inteletual (intellectual
laziness) atau vitalitas yang rendah (low
intellectual vitality).
Dalam melakukan
rekonstruksi sejarah, tidak semua fakta otomatis menjadi fakta sejarah.
Fakta-fakta masa lalu baru menjadi fakta sejarah jika sejarawan memilihnya karena
dianggap mempunyai hubungan (relevansi) dan berarti (signifikansi) dengan apa yang
diteliti. Hal yang sama juga berlaku bagi penganut multikausal dalam peristiwa
sejarah. Susunan sebab-sebab, signifikansi serta relevansi antar satu sebab
atau serangkaian sebab dengan yang lainnya merupakan esensi penafsiran sejarah.
2.
Covering Law Model (CLM)
Sebagian besar
ahli filsafat sejarah analitis mencoba memaksakan pengetahuan sejarah ke dalam
suatu formula hukum umum (general law), suatu pernyataan dari bentuk kondisi
universal yang sanggup dikonfirmasi atau dibantah berdasarkan bukti-bukti
empiris yang sesuai. Penganut CLM berpendapat bahwa setiap penjelasan dalam
sejarah harus dapat diterangkan oleh hukum umum (general law) atau hipotesis universal (universal hypothesis) atau hipotesis dari bentuk universal (hypothesis of universal form). Menurut
teori CLM, tidak ada perbedaan metodologis antara ilmu alam dengan sejarah.
Penjelasan sejarah diperoleh dengan menempatkan peristiwa-peristiwa itu di
bawah hipotesis, teori, atau hukum umum. Dengan kata lain, penjelasan
diperoleh dengan cara mendeduksikannya dari pernyataan-pernyataan tentang
hukum-hukum umum dan kondisi-kondisi awal.
3.
Hermeneutika
Secara
etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa
Yunani, hermeneuein, yang berarti menafsirkan.
Dalam mitologi Yunani, kata ini sering dikaitkan dengan tokoh bernama Hermes,
seorang dewa yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter kepada
manusia. Tugas menyampaikan pesan berarti juga mengalihbahasakan ucapan para
dewa ke dalam bahasa yang dapat dimengerti manusia. Pengalihbahasaan
sesungguhnya identik dengan penafsiran. Dari situ kemudian pengertian
kata hermeneutika memiliki kaitan dengan sebuah penafsiran
atau interpretasi. Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang
mempelajari tentang interpretasi atau penafsiran makna.
Hermeneutika boleh
dibilang menjadi semacam antitesis terhadap teori CLM. Hermeneutika menekankan
secara jelas antara ilmu alam dengan ilmu kemanusiaan. Penganut hermeneutika
berpendapat bahwa perbuatan manusia hanya bisa diterangkan dengan kajian
edografik (kekhusunan, partikularistik) daripada nomotetik (keumuman,
generalistik). Pengertian hermeneutika erat hubungannya dengan penafsiran
teks-teks dari masa lalu dan penjelasan pelaku sejarah. Sejarawan mencoba menjelaskan
masa lalu dengan mencoba menghayati atau dengan empati, menempatkan dirinya
dalam alam pemikiran pelaku sejarah.
Hermeneutika
mencoba memasuki diri pelaku dan berupaya memahami apa yang dipikirkan,
dirasakan, dan diperbuat pelaku sejarah. Ada semacam dialog batin antara batin
sejarawan yang menggunakan pengalaman hidupnya sendiri dengan sumber-sumber
sejarah yang digunakan.
Dalam
kajian sejarah, hermeneutika adalah cara menyusun kembali kerangka yang dibuat
sejarawan agar peristiwa sebenarnya dapat diketahui. Istilah hermeuneutika
muncul beriringan dengan interpretasi dalam sejarah. Lingkup hermeneutika
mencakup mengetahui, memahami, dan menafsirkan subjek serta objek sekaligus
proses sejarah. Dengan hermeneutika, seorang sejarawan akan mampu memahami
sekaligus mengetahui kejadian masa lalu yang sebenarnya telah terjadi.
Hermeneutika
sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemahaman manusia terhadap sesuatu.
Perkembangan pemahaman terhadap hermeneutika bisa dilihat dari teori Richard E
Palmer (Sulasman, 2014:277), yang memetakan enam teori modern hermenetik.
1.
Hermeneutik
sebagai teori penafsiran kitab suci
2.
Hermeneutik
sebagai metode filologi
3.
Hermeneutik
sebagai ilmu pengetahuan linguistik
4.
Hermeneutik
sebagai fondasi ilmu kemanusiaan
5.
Hermeneutik
sebagai fenomena das sein dan
pemahaman eksistensial
6.
Hermeneutik
sebagai sistem penafsiran/interpretasi
Secara
umum, ada tiga jenis teori penafsiran (heurmeneutika) yaitu teori romantik,
teori teks dan teori pembaca. Teori romantik mengatakan bahwa penafsiran harus
berdasarkan sejarah ini yang pertama. Dalam Islam barangkali diidentikan dengan
asbabbun nuzul atau asbabul wurud dalam ululmul hadist. Teori ini berusaha
sekuat mungkin untuk memahami teks sesuai dengan kapan dan dimana teks itu
diturunkan sebagaimana yang dikemukakan oleh pembawa teks. Teori teks merupakan
teori dimana penafsir tidak menghiraukan konteks historis. Melainkan hanya
memahami teks sesuai kaidah kebahasaan. Sedangkan teori pembaca dipahami lepas
dari konteks historis dan teks, tetapi pembaca mengambil hikmah dari sebuah
teks untuk tujuan tertentu. Para filosuf dalam membaca teks filsafat seringkali
menggunakan metode ini. Selain itu juga kaum teolog, terutama teolog muslim
modern. Sehingga pemahaman atas teks cenderung liberal dan seolah terlepas dari
teks dan sejarah. Orientasinya adalah bagaimana teks ini bisa bermanfaat untuk
rekunstruksi masa depan.
Salah
satu tokoh hermeneutika yang terkenal adalah Hans-Georg Gadamer (1900-2002).
Menurut Gadamer, sains kemanusiaan (termasuk sejarah) mempunyai cara atau
metode tersendiri yang otonom untuk mengetahuinya. Sebagian dari cara
mengetahui itu termasuk memiliki kesadaran sejarah, yaitu suatu “kesadaran
penuh terhadap historisitas setiap hal yang ada sekarang dan relativitas dari
semua opini”. Bagi Gadamer, sejarah adalah perjalanan tradisi yang ingin
membangun visi dan horizon kehidupan di masa depan. Gadamer menyebutkan effective history dan double movement, dimana setiap
pengalaman atau peristiwa sejaran memiliki keterkaitan satu sama lainnya.
Teori-teori
pokok hermeneutika Gadamer dapat diringkas ke dalam beberapa bentuk teori yang
terkait satu dengan yang lainnya, yaitu sebagai berikut.
1.
Teori kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah (historically effected consciuousness)
Menurut
teori ini, pemahaman seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi
hermeneutika tertentu yang melingkupinya, baik berupa tradisi, kultur, maupun
pengalaman hidup. Pada saat menafsirkan sebuah teks seorang penafsir harus
sadar bahwa penafsir berada dalam posisi tertentu yang bisa mewarnai
pemahamannya terhadap suatu teks yang sedang ditafsirkan.
2.
Teori Prapemahaman (pre-understanding)
Pra-pemahaman
merupakan posisi awal penafsir memang pasti dan harus ada ketika membaca teks
agar seorang penafsir mampu mendialogkannya dengan isi teks yang
ditafsirkan.Tanpa pra pemahaman, seseorang tidak akan berhasil memahami teks
secara baik.Pra pemahaman harus terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi, dan
dikoreksi oleh penafsir ketika penafsir sadar atau mengetahui bahwa
pra-pemahamannya tidak sesuai dengan maksud yang ditafsirkan oleh teks untuk
menghindari kesalahpahaman terhadap pesan teks.
3.
Teori penggabungan/asimilasi horizon (fusion of horizons) dan teori lingkaran
hermeneutika (hermeneutical circle)
Saat
berusaha merehabilitasi pra-pemahaman, maka seorang penafsir berhubungan dengan
teori penggabungan/asimilasi. Dalam arti bahwa dalam proses penafsiran,
penafsir harus sadar bahwa ada dua horizon, yakni pengetahuan (horizon dalam
teks) dan pemahaman (horizon pembaca). Kedua horizon ini selalu hadir dalam
proses pemahaman dan penafsiran. Seorang pembaca teks memulainya dengan
cakrwala hermeneutika, tetapi haris memperhatikan teks yang memiliki horizon
sendiri yang mungkin berbeda dengan horizon yang dimiliki pembaca.
4.
Teori penerapan/aplikasi (application)
Makna
objektif teks harus mendapat perhatian dalam proses pemahaman dan penafsiran.
Selain intu, ada satu hal lagi yang dituntut berupa penerapan pesan-pesan pada
masa ketika teks itu ditafsirkan. Dalam membuat interpretasi, pangkal tolaknya
adalah keseluruhan yang dibentuk oleh subjektivitas penulis.
Dalam memahami alur kerja atau metode pengoperasian
hermeutika terdapat tiga hal yang harus diperhatikan sebagai asumsi dasar dalam
kerja hermeneutika. Berikut asumsi dasar hermeneutika.
1)
Teks bersifat terbuka
Teks
diasumsikan bersifat terbuka, tidak statis, dan pasif, bahkan selalu berdialog
dan bernegosiasi dengan konteks. Hal ini karena teks mengalami otonomi relatif
dan memiliki subyektif tersendiri yang berada di luar kendali pembicara atau
pembaca. Kendali teks tidak dapat diwakili pesan sempurna pembaca teks. Teks
juga memberikan peluang terbuka bagi sebuah pemaknaan. Apabila hanya
mereproduksi makna pengarang pada zamannya, berarti teks menutup diri atau
mungkin penafsiran yang dilakukan telah membatasi teks untuk berbicara dalam
konteks masa kini.
2)
Konteks
Kesadaran
konteks dalam kerja hermeneutika akan membantu memahami suatu teks beserta
motif, maksud, dan latar belakang teks tersebut, sehingga pemahaman yang tejadi
sebenar-benarnya.
3)
Konstektualisasi
Kontekstualisasi
berarti menumbuhkan kesadaran terhadap kekinian dan segala logika serta kondisi
yang berkembang di dalamnya merupakan perangkat metodologis, agar teks yang
berasal dari masa lalu dapat dipahami bermanfaat bagi masa sekarang.
Pengetahuan dibentuk oleh konteks, sehingga konteks sangat penting untuk
memahami makna.
Selanjutnya,
dalam mengoperasikan hermeneutika terdapat metode atau cara kerja hermeneutika
sebagai berikut.
1)
Interpretasi data
Sejarah sebagai ilmu yang mengkaji manusia, sehingga
dapat dipahami dan diinterpretasi melalui data-data sejarah yang ada. Data
sejarah adalah bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan
pengategorian. Interpretasi data berarti memahami dan menafsirkan aktivitas manusia
yang tertera dalam teks atau data sejarah. Ada dua macam dalam menghadapi
teks-teks sumber sejarah. Mula-mula teks ditafsirkan, lalu perbuatan pelaku
sejarah dijelaskan. Dalam interpretasi data, teks dicoba dilihat keterpaduan
(koherensi) antara masa lalu yang dikaji dengan bahan-bahan yang menjadi sumber
sejarah sehingga dari penafsiran itu dapat diambil sikap atau kesimpulan
tertentu (Sjamsuddin, 2007:215).
2)
Interpretasi sejarah
Interpretasi sejarah dalam filsafat memunculkan dua
kelompok, yaitu:
a.
Interpretasi
monistik
Interpretasi
monostik adalah interpretasi yang bersifat tunggal atau suatu penafsiran yang
hanya mencatat peristiwa besar dan perbuatan orang yang terkemuka. Interpretasi
ini meliputi:
1.
Interpretasi
teologis
Menekankan pada
takdir Tuhan sehingga peran sejarah bersifat pasif.
2.
Interpretasi
geografis
Peran sejarah
ditentukan oleh faktor geografis dengan mempertimbangkan letak bumi dan pola
hidup/cara hidup manusianya.
3.
Interpretasi
ekonomi
Faktor ekonomi
berpengaruh secara deterministic terhadap gerak sejarah.
4.
Interpretasi
rasial
Penafsiran yang
ditentukan oleh peranan rasa tahu bangsa.
b.
Interpretasi
pluralistik
Interpretasi ini
mengemukakan bahwa sejarah akan mengikuti perkembangan sosial, budaya, politik,
dan ekonomi yang menunjukkan pola peradaban yang multikompleks.
Keterkaitan dengan riset sejarah, hermeneutika dan
perkembangan intelektual yang didorong dengan rasa ketidaktahuan pada satu sisi
dan keinginan pada sisi lain, akan melahirkan dinamika sejarah yang ditandai
dengan trial and error, selalu
mencoba dan menggali hal-hal baru serta siap untuk menerima kegagalan.
Pertumbuhan pengetahuan dan trasidisi manusia mempengaruhi pemahaman terhadap
hermeneutika.
Kesimpulannya, hermeneutika erat hubungannya dengan
penafsiran teks-teks masa lalu dan penjelasan perbuatan pelaku (atau para
pelaku) sejarah. Oleh karena itu, tugas sejarawan memahami objek kajian dengan
cara menafsirkan makna dari semua peristiwa, proses,serta perbuatan keseluruhan
masyarakat manusia. Sejarawan menjelaskan masa lalu dengan menghayati atau
menempatkan dirinya dalam diri pelaku sejarah (empati), memahami dan
menjelaskan cara pelaku (para pelaku) sejarah berpikir, merasakan, dan berbuat.
Dalam memasuki diri sebagai pelaku sejarah dan memahami apa yang dipikirkan,
dirasakan, dan diperbuat oleh para pelaku sejarah sejarawan harus juga
menggunakan latar belakang kehidupan dengan seluruh pengalaman hidupnya
sehingga ada semacam interaksi di antara sejarawan dan sumber-sumber sejarah
yang digunakannya.
4.
Model
Analogi
Masih terjadi
perdebatan di antara para pakar tentang analogi sebagai eksplanasi sejarah.
Namun bagi penganutnya, analogi merupakan alat eksplanasi yang sangat berguna.
Analogi berperan penting dalam proses kreativitas intelektual. Analogi dapat
berperan ke dalam maupun ke luar. Ke dalam, analogi dapat meningkatkan suatu
yang tidak disadari atau inferensi awal ke tingkat rasionalitas dalam pikiran. Ke
luar, analogi bekerja sebagai wahana mengalihkan pikiran seseorang kepada orang
lain. Penggunaan analogi dalam eksplanasi sejarah berpotensi menimbulkan
kekeliruan. Karena itu, para sejarawan dituntut lebih selektif dalam
menggunakannya. Analogi, meskipun suatu alat untuk menjelaskan peristiwa sejarah,
kedudukannya hanya alat bantu (auxiliary)
dalam pembuktian. Analogi juga berkaitan dengan metafora. Sejarawan yang menggunakan
metafora dalam penjelasannya kerap menggunakan analogi.
Beberapa contoh
metafora sejarah antara lain:
a. Machiavellian,
diambil dari nama Niccolo Machiavelli untuk menggambarkan doktrin politik
seseorang yang menggunakan berbagai cara untuk mencapai tujuan politiknnya.
b. Cut
the Gordian Knot, dari nama Raja Gordius dari Phrygia kuno untuk menggambarkan
penggunaan cara-cara drastis tanpa bersusah payah.
c. Pyrrhic
victiry, dari nama raja Pyrrhus dari Epirus untuk menggambarkan sebuah kondisi
di mana kemenangan perang diperoleh dengan kerugian besar. Sejarawan
menggunakan istilah ini untuk menggambarkan perjuangan seseorang untuk mendapatkan
sesuatu dengan kerja keras sampai kehabisan daya.
d. Carthaginian
Peace, dari nama Kartago di Afrika Utara. Penghancuran Kartago yang dilakukan
Romawi untuk menghindari kebangkitan sebuah kekuatan. Sejarawan menggunakan
metafora ini untuk menggambarkan politik bumi hangus sebagai reaksi atas kekhawatiran
munculnya kekuatan lain.
5.
Model
Motivasi
Para sejarawan sering juga menggunakan penjelasan yang berdasarkan
motivasi dalam karya-karya tulis mereka. Eksplanasi yang berdasarkan atas
motivasi dapat dibagi atas dua macam, yaitu:
a.
Bentuk eksplanasi kausal,
di mana akibat merupakan suatuperbuatan yang inteligen, sedangkan sebab
merupakan pikiran di belakang perbuatan itu.
b.
Bentuk
eksplanasi non-kausal, yaitu berupa model dari tingkah laku yang berpola.
Pada dasarnya,
model ini menekankan penggunaan pendekatan psikohistori yang berpijak pada
teori psikoanalisis dari Sigmund Freud. Kelemahan pendekatan ini terletak pada
keterbatasan-keterbatasan metode psikoanalisis sendiri, selain prosedur
historiografis yang kurang memadai.
E.
Contoh
Eksplanasi Sejarah
Salah satu contoh
eksplanasi sejarah adalah mengenai “Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan”, dalam
hal ini dapat muncul beberapa sebab dari terjadinya peristiwa tersebut, yaitu:
1. Ada
yang berpendapat bahwa kelompok Soekarno-Hatta
yang
menyebabkan peristiwa itu dapat terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
2. Argumentasi
lain ada yang mengatakan bahwa Ahmad Subardjo yang menyebakan peristiwa itu
terjadi pada tanggal 17 Agustus
1945, sebab dialah yang membebaskan Soekarno-Hatta dari
Rengasdengklok dengan mempertaruhkan jiwanya.
3. Dalam
hal ini dapat juga orang mengemukakan peristiwa itu dapat terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945, karena Maeda
berbaik hati meminjamkan rumahnya untuk rapat merumuskan teks proklamasi kemerdekaan.
Dalam hal ini
sejarawan tidak dapat menulis semua sebab yang merupakan daftar panjang dalam
karyanya. Oleh karena itu, sejarawan harus memilihnya untuk ditulis dan
memberikan argumentasinya yang meyakinkan.
F. Cara
Melakukan Eksplanasi Sejarah
Menurut Djoko
Suryo dalam Saidah (2011:
246), Kuntowijoyo telah berhasil meramu hakikat penjelasan
sejarah (meskipun ada jenis penjelasan sejarah lain yang tidak disebutkan) yang
selama tiga dekade pada abad XX telah menjadi bahan perdebatan dan
ketidaksepakatan di antara kaum positivis dan kaum idealis (humanis dalam
bahasa Clayton Robert). Kaum positivis, pada satu pihak, antara lain diwakili
oleh Karl Popper dan Carl Hempel, dan kaum idealis, pada pihak lain, antara
lain diwakili oleh Dilthey, Collingwood, Croce, dan Max Weber. Perdebatan ini
antara lain berkisar pada persoalan sebagai berikut: haruskah semua penjelasan
sejarah seragam dengan menggunakan model yang sama (deduksi) ataukah penjelasan
dalam sejarah boleh memiliki logika sendiri. Apakah kaum positivis benar ketika
ia menyatakan bahwa secara metodologis tidak ada perbedaan mendasar antara
sejarah dan ilmu alam. Apakah sejarah (dipandang sebagai disiplin kognitif) sui generis atau tidak. Haruskah
sejarawan menggunakan hukum (atau generalisasi universal) seperti ahli ilmu
alam atau dapatkah ia mencapainya dengan cara berbeda.
Keberhasilan
Kuntowijoyo dalam meramu teori tentang penjelasan sejarah adalah dengan
mengungkapkan kaidah-kaidah penjelasan sejarah yang disederhanakan menjadi enam
kaidah, kesemuanya diambilkan baik dari aliran positivis maupun humanis. Keenam
kaidah tersebut adalah:
Pertama, Regularity (keajegan, keteraturan,
konsistensi (diambilkan dari konsep Gardiner; positivis). Regularity adalah penjelasan antar peristiwa yang mengandung
prediksi sejarah menjadi penjelasan
dalam peristiwa (inner coherence).
Artinya secara ajeg gejala-gejala muncul dimana saja terjadi suatu peristiwa.
Contoh: penjelasan sejarah tentang sebab musabab Revolusi di Indonesia. Sekali
diterangkan bahwa revolusi itu adalah revolusi pemuda, maka semua tempat
peristiwa harus disebabkan oleh pemuda, baik dipusat maupun di daerah. Contoh
lain, kalau ada kekosongan otoritas rnaka akan terjadi anarki. Itulah yang terjadi di Indonesia pada
Mei 1998 dan juga di Baghdad pada April 2003. Bagi Kunto, semua penjelasan
sejarah sebenamya memerlukan regularity
di dalamnya, terutama dalam menjelaskan aspek kausalitas.
Kedua, Generalisasi
(konsep dari Mc Cullagh).
Adalah persamaan karakteristik tertentu atau suatu bagian yang menjadi ciri sebuah
kelompok, juga menjadi ciri dari kelompok yang lain pula. Konsep-konsep sejarah seperti
"feodalisme'', "puritanisme", dan "pergerakan
nasional" semuanya mengandung generalisasi konseptual. Generalisasi
sejarah ialah membandingkan unit-unit sejarah. Letak penjelasan sejarahnya
ialah pada generalisasi itu, tidak pada deskripsi atas masing-masing unit
sejarah. Konsep generalisasi diambilkan dari ilmu alam dan ilmu
sosial, namun yang membedakannya adalah generalisasi dalam sejarah sangat
berkait dengan waktu sehingga dalam pengeneralisasiannya seorang sejarawan akan
menyusun periodisasi (generalisasi periodik).
Ketiga, Inferensi
Statistik, Metode Statistik (konsep dari Mc Cullagh). Inferensi
statistik dan metode statistik menjadi andalan dalam generalisasi. Kuantifikasi
sebagaimana dalam tradisi sejarah sebenamya hanya menjelaskan narasi, bukan merupakan penjelasan numerical dan statistical.
Pada dasarnya sejara itu persoalan kualitatif.
Keempat, Pembagian
waktu dalam sejarah (konsep dari Fernand Braudel). Sejarawan melakukan
klasifikasi atas waktu, sejarawan membuat periodisasi. Realitas sejarah sendiri
terus-menerus mengalir tanpa sekat-sekat, dan pembabakan waktu adalah hasil
konseptualisasi sejarawan, suatu rasionalisasi. Rasionalisasi bukan
generalisasi. Rasionalisasi lahir dari pemikiran teoritis, sedangkan
generalisasi adalah hasil dari gejala empiris.
Kelima, Narrative History. Sejarah adalah cerita
masa lalu. Tugas sejarawan adalah menyusun bersama secara teratur. Susunan yang
teratur itu sendiri tidak terdapat dalam gejala sejarah, tetapi justru tugas
sejarawanlah untuk membuatnya teratur. Cara sejarawan menyusun adalah dengan
merekonstruksi masa lalu, menghubungkan fakta yang satu dengan yang lainnya,
sehingga terbentuklah suatu cerita.
Keenam, Multi-Interpretable (konsep Lorenz).
Bahwa ilmu sejarah yang dipahami sebagai menafsirkan, memahami dan mengerti,
cukup menjelaskan adanya subyektivisme dan relativisme dalam penjelasan
sejarah. Sehingga sejarah bakal Multi-Interpretable. Sebagai akibatnya bisa
jadi dalam mencari sebab musabab sebuah peristiwa terdapat perbedaan-perbedaan
tafsir.
Berkaitan dengan model penjelasan
sejarah yang menawarkan jalan tengah antara madzhab positivis dan humanis,
Clayton Robert mengungkapkan perlu adanya penjelasan sejarah yang total (total explanation). Yaitu penjelasan
dimana sejarawan mula-mula mendeskripsikan kejadian/peristiwa yang kompleks
yang harus dijelaskan. Kemudian jejak-jejak sejarah yang memiliki keunikan
dijadikan fokus, untuk kemudian dicari siapa yang menjadi aktor utama peristiwa
tersebut, menguraikan tujuan-tujuan mereka yang dihubungkan dengan hasrat dan
kepercayaan aktor tersebut. Akhimya dengan penjelasan total tersebut diperoleh
pemahaman yang didasarkan pada sebab-sebab utama sebuah peristiwa.
Dalam proses
penjelasan total tersebut, Clayton Robert menekankan pentingnya prinsip
koligasi (colligation) dan korelasi (correlation). Prinsip koligasi adalah prosedur
menerapkan suatu peristiwa dengan jalan menelusuri hubungan intrinsik dengan
peristiwa lain; mencari kecenderungan umum. Sementara prinsip korelasi adalah
prosedur menelusuri keterkaitan suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Dengan
pola penyederhanaan terhadap nalar penjelasan sejarah seperti yang dilakukan
Clayton Robert, nampaknya mirip dengan apa yang dikemukakan Kuntowijoyo dengan
kaidah Narrative History/ sejarah
naratif, bahwa menulis sejarah naratif antara lain dilakukan dengan cara
koligasi (mencari hubungan dalam antar peristiwa sejarah), lalu membuat plot
(mengorganisasikan fakta-fakta
menjadi satu keutuhan) dan struktur sejarah (menyusun rekonstruksi secara
akurat). Dengan demikian sejarah naratif bukan sekedar menjejerkan fakta melainkan
menyusun rekonstruksi sebuah peristiwa menjadi rangkaian penjelasan historis
yang utuh sekaligus kritis.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Ekspalansi sejarah
merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam metodologi sejarah. Hal ini
dipergunakan untuk mengembangkan, menganalisis, dan menjelaskan hubungan
diantara pernyataan-pernyataan mengenai fenomena-fenomena yang ada.
Eksplanasi adalah
suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa tertentu dihubungkan dengan
peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan secara tepat pernyataan-pernyataan
yang bersifat umum (general statements).
Arti penting dari eksplanasi sejarah sendiri adalah menunjukkan kausalitas yang
sesungguhnya mengenai suatu peristiwa sejarah.
Dilihat dari
langkah metodologi sejarah, secara kronologis penjelasan/ eksplanasi sejarah
merupakan kelanjutan dari interpretasi atas fakta. Penjelasan/ eksplanasi sejarah memiliki perbedaan dengan
penjelasan ilmu alam dan ilmu sosial lainnya. Penjelasan
sejarah dimungkinkan akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat
erat kaitannya dengan waktu, yaitu continuity
and change:
Helius Sjamuddin
(2007: 123-150) membagi eksplanasi sejarah kedalam beberapa model, yaitu
sebagai berikut:
1. Kausalitas
2. Covering Law Model (CLM)
3. Hermeneutika
4. Model Analogi
5. Model Motivasi
Contoh eksplanasi
sejarah tentunya sangat banyak tetapi salah satu contoh dari eksplanasi sejarah
yang tidak asing bagi masyarakat yaitu mengenai “Peristiwa Proklamasi
Kemerdekaan”.
Kaidah-kaidah
penjelasan sejarah yang disederhanakan menjadi enam kaidah, kesemuanya
diambilkan baik dari aliran positivis maupun humanis. Keenam kaidah tersebut
adalah Regularity (keajegan, keteraturan,
konsistensi), Generalisasi (konsep dari Mc Cullagh), Inferensi
Statistik, Metode Statistik (konsep dari Mc Cullagh), Pembagian waktu
dalam sejarah (konsep dari Fernand Braudel). Kelima, Narrative History, dan Multi-Interpretable
(konsep Lorenz).
B.
Saran
Berdasarkan
pembahasan di atas penulis membuat sejumlah saran sebagai berikut.
1.
Ekplanasi
sejarah harus dirancang dan dibuat sedetail dan se-valid mungkin agar mampu
memberikan gambaran peristiwa masa lalu dengan sebenar-benarnya.
2.
Dalam
melakukan eksplanasi sejarah maka harus dipilih model eksplanasi yang tepat.
3.
Untuk
pembuatan makalah selanjutnya sebaiknya menjelaskan lebih detail lagi mengenai
model-model ekplanasi sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Saidah, Nur. 2011.
Eksplanasi Sejarah dan Implikasinya dalam Pengembangan Model Pembelajaran SKI
untuk MI. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sundoro, Mohammad Hadi. 2009. Teka – Teki Sejarah. Jember: University
Pers.
Sulasman. 2014. Metodologi
Penelitian Sejarah. Bandung: Pustaka Setia.
Sjamsuddin, Helius. 2007. Metodologi
Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar