Sabtu, 12 Desember 2020

MAKALAH MANAJEMEN DAN PERANAN STAKEHOLDERS DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM IPS

 


 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

 

Pendidikan adalah proses kehidupan yang masalahnya sangat kompleks dan tetap ada sepanjang manusia membentuk peradabannya di muka bumi ini. Namun dalam prosesnya pendidikan tetap memerlukan pembenahan sesuai masalah yang dihadapi pada zamannya. Dari beberapa masalah yang ada dalam persoalan pendidikan nasional yang dapat dipelajari dalam sebuah konsep pemikiran atau setidaknya menjadi acuan dalam mengatasi berbagai anomali dalam bidang pendidikan, yang diantaranya penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Menyoal tentang Stakeholder, tidak terlepas dari pembahasan tentang manajemen pendidikan yang merupakan serangkaian proses penggunaan sumberdaya secara efektif untuk mencapai tujuan tertentu. Manajemen pendidikan adalah manajemen yang diterapkan dalam pengembangan pendidikan. Dalam arti ini manajemen pendidikan merupakan seni dan ilmu mengelola sumber daya pendidikan secara efektif dan efisien. Manajemen pendidikan lebih bersifat umum untuk semua aktifitas pendidikan pada umumnya.

      Penguatan tata kelola pendidikan tidak saja bergantung pada kemampuan pemerintah saja tetapi juga sangat bergantung pada kemauan dari semua lapisan masyarakat sebagai Stakeholder  dalam Sistem Pendidikan Nasional, oleh sebab itu dalam pengelolaan pendidikan sebagai sebagai suatu sistem sangat berkait dengan proses dan dinamika manusia dan lingkungannya (filsafatnya), dan cita-cita pendidikan harus kita lihat secara komprehensif sebagai suatu sistem pendidikan nasional yaitu adanya interdepedensi komponen Stakeholder pendidikan. Dalam tulisan ini kami mencoba untuk mengungkap bagaimana pemaknaan yang komprehensip tentang Stakeholder, bagaimana cara mengelola, bagiamana pemetaan Stakeholder itu sendiri.

 

 

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1.      Apa pengertian Manajemen ?

2.      Manajemen dalam Pengembangan Kurikulum IPS?

3.      Apa pengertian stakeholder ?

4.   Bagaimana pemetaan stakeholder?

5.   Bagaimana peran stakeholder dalam pendidikan?

 

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1.      Untuk mengetahui Manajemen Pengembangan Kurikulum

2.      Untuk mengetahui pengertian stakeholder.

3.   Untuk mengetahui pemetaan stakeholder.

4.   Untuk mengetahui peran stakeholder dalam pendidikan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Manajemen dan Stakeholder

Kata Manajemen tentu tidak asing di telinga kita. Beberapa membayangkan bahwa manajemen adalah pekerjaan kantoran di sebuah perusahaan. Namun, nyatanya manajemen lebih dari itu Manajemen memiliki arti lebih luas. Saking luasnya: ada disemua bidang.,ada disetiap waktu. Dan tanpa sadar, anda telah mempraktekkannya setiap hari. Menurut asal katanya, Management berasal dari kata latin yaitu “manus” yang artinya “to control by hand” atau “gain result”. Kata manajemen mungkin juga berasal dari bahasa Italia maneggiare yang berarti “mengendalikan,” Kata ini mendapat pengaruh dari bahasa Perancis manège yang berarti “kepemilikan kuda” (yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti seni mengendalikan kuda), dimana istilah Inggris ini juga berasal dari bahasa Italia. Bahasa Prancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.

Berikut Pengertian Manajemen Menurut Para Ahli :

1.      Manajemen merupakan proses dan fasilitasi  untuk melakukan berbagai kegiatan  organisasi secara benar, tepat, efisien dan efektif oleh semua personelnya dengan menggunakan sumber daya yang tersedia, untuk mencapai visi, misi dan tujuan organisasi. (Sudjarwo S, 2010).

2.      Ilmu dan seni mengkoordinasikan serta mengawasi tenaga manusia dengan bantuan alat-alat untuk mencapai tujuan yg telah ditetapkan (Prof. Oie liang Lee)

3.      Proses perencanaan pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya dari anggota organisasi serta penggunaan sumber daya yg ada untuk mencapai tujuan organisasi yg telah ditetapkan sebelumnya ( James A. F. Stoner, 2006).

4.      Menurut Mary Parker Follet Manajemen Adalah sebagai seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organis 5. Menurut Ricky W. Griffin Manajemen Adalah sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal

5.      Menurut Prof. Eiji Ogawa Manajemen adalah Perencanaan, Pengimplementasian dan Pengendalian kegiatan-kegiatan termasuk system pembuatan barang yang dilakukan oleh organisasi usaha dengan terlebih dahulu telah menetapkan sasaran-sasaran untuk kerja yang dapat disempurnakan sesuai dengan kondisi lingkungan yang berubah.

 

Dari beberapa definisi menurut asal kata dan definisi dari pendapat ahli, maka dapat ditarik kesimpulan mengenai apa yang dimaksud dengan manajemen. Manajemen adalah Proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan dalam mengelola sumber daya yang berupa man, money, materials, method, machines, market, minute dan information untuk mencapai tujuan yang efektif dan efisien. Manajemen dapat didefinisikan sebagai “proses perencanaan, pengorganisasian, pengisian staf, pemimpinan, dan pengontrolan untuk optimasi penggunaan sumber-sumber dan pelaksanaan tugas-tugas dalam mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien”. Manajemen adalah Suatu Proses dalam rangka mencapai tujuan dengan bekerja bersama melalui orang-orang dan sumber daya organisasi lainnya.

Istilah stakeholders sudah sangat populer. Kata ini telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagi ilmu atau konteks, misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke dalam proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan. Secara sederhana, stakeholder sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu issu atau suatu rencana. Perkataan Stakeholder  pada awalnya digunakan dalam dunia usaha, istilah ini berasal dari bahasa inggris yang terdiri dari dua kata yaitu stake dan holder. Stake berarti to give support / pancang, holder berarti pemegang. Jadi Stakeholder  adalah siapapun yang memiliki kepentingan dari sebuah usaha. Stakeholder  dapat berfungsi sebagai “tokoh kunci” atau “key person” dan merupakan orang yang menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya, misalnya Kepala Desa/Lurah, Ketua RT, Ketua Adat, Ustadz/Kyai. Kelembagaan yang dianjurkan dibentuk untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam memajukan pendidikan, menurut UU No 20 Tahun 2003, pasal 56 adalah berupa Dewan Pendidikan, dan komite sekolah. Ketua dan anggota kedua lembaga tersebut dapat digolongkan sebagai Stakeholder. Secara spesifik, pada pasal 56 UU No 20 Tahun 2003 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa di dalam masyarakat ada dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah, yang berperan sebagai berikut :

1.      Masyarakat berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.

2.      Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana serta pengawasan pendidikan ditingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.

3.      Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

Beberapa para ahli mendefinisikan  Stakeholder  berbagai macam sudut pandang. Freeman misalnya yang mendefinisikan Stakeholder  sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Sedangkan Biset secara singkat mendefinisikan stekeholder merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan. Stakeholder  ini sering diidentifikasi dengan suatu dasar tertentu sebagimana dikemukakan Freeman, yaitu dari segi kekuatan dan kepentingan relatif Stakeholder  terhadap isu, Grimble and Wellard, dari segi posisi penting dan pengaruh yang dimiliki mereka. Stakeholder  adalah kelembagaan yang dianjurkan dibentuk untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam memajukan pendidikan, dan komite sekolah. 

Pengertian Stakeholder Menurut Para Ahli

Untuk dapat lebih memahami mengenai apa itu Stakeholder, maka kita dapat atau bisa merujuk pada beberapa pendapat para ahli diantaranya sebagai berikut :

1.      Menurut Freeman

Menyatakan bahwa Pengertian Stakeholders ini merupakan suatu kelompok masyarakat atau juga individu yang saling mempengaruhi dan/atau juga dipengaruhi oleh pencapaian tujuan tertentu dari sebuah organisasi.

2.      Menurut Biset

Pengertian stakeholder ini merupakan orang/ individu atau juga kelompok masyarakat yang mempunyai suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan tertentu.

3.      Menurut Wibisono

Pengertian stakeholder ini merupakan seseorang atau juga kelompok yang punya kepentingan itu secara langsung/ tidak langsung yang bisa mempengaruhi atau juga dipengaruhi atas aktivitas serta eksistensi perusahaan.

4.      Menurut ISO 26000 SR

Pengertian stakeholder ini merupakan individu atau kelompok yang memiliki atau mempunyai kepentingan terhadap keputusan dan juga aktivitas organisasi.

5.      Menurut AA1000 SES

Definisi stakeholder ini merupakan suatu kelompok yang dapat mempengaruhi dan atau juga terpengaruh oleh aktivitas atau kegiatan, produk atau layanan, dan juga kinerja suatu organisasi.

      Definisi lain dari Stakeholder  adalah pemegang atau pemangku kepentingan. orang atau kelompok tertentu yang mempunyai kepentingan apa pun terhadap sebuah obyek disebut Stakeholder . Jadi Stakeholder  pendidikan dapat diartikan sebagai orang yang menjadi pemegang dan sekaligus pemberi support terhadap pendidikan atau lembaga pendidikan. Dengan Perkataan lain Stakeholder  adalah orang-orang atau badan yang berkepentingan langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan pendidikan di sekolah.

 

B.     MANAJEMEN PENGEMBANGAN KURIKULUM

 Latar Belakang Pengembangan kurikulum merupakan proses dinamik yang dapat merespon terhadap tuntutan perubahan struktural pemerintahan, perkembangan ilmu dan teknologi maupun globalisasi. Manajemen pengembangan kurikulum pada dasarnya terkait dengan studi administrasi pendidikan dimana fungsi supervisi telah tercakup didalamnya. Perencanaan, pengorganisasian, pengawasan dalam pengembangan kurikulum dan manajemen pelaksanaan kurikulum terkait erat dengan keterlaksanaannya yang perlu mendapat sorotan lebih tajam, dalam artian administratif.

Konsep manajemen pengembangan kurikulum mencakup prinsip-prinsip

1. Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestika.

2. Kesamaan memperoleh kesempatan

3. Memperkuat identitas diri

      4. Menghadapi abad pengetahuan

      5. Menyongsong tantangan teknologi informasi dan komunikasi

      6. Mengembangkan ketrampilan hidup

      7. Mengintegrasikan unsur-unsur penting ke dalam kurikulum

      8. Pendidikan alternatif

     9. Berpusat pada peserta didik

    10. Pendidikan multikultur

   11. Penilaian berkelanjutan, dan

   12. Pendidikan sepanjang hayat.

Masalah dan hambatan dalam pengembangan kurikulum pada umumnya berorientasi pada target group sebagai calon peserta didik, namun kurangnya kesempatan dan keterlibatan narasumber/fasilitator dalam perancangan pengembangan kurikulum masih sangat minim, sehingga pemahaman narasumber terhadap kurikulum masih jauh dari sempurna. Ditambah lagi pelaksanaan evaluasi yang hanya bersifat formalitas serta belum adanya lembaga yang berperan sebagai media akuntabilitas pendidikan dan pelatihan. Pada tahap penyelenggaraan dalam pelaksanaan Kurikulum, sering ditemukan srategi pembelajaran yang tidak relevan dengan tujuan sehingga capaian tujuan tidak terlaksana secara optimal dan hanya terbatas pada asosiasi pengetahuan terhadap materi, bukan pada tahapan implementasi maupun praktek yang berupa keterampilan mengatasi permasalahan secara aktual. Seyogyanya dalam dunia pendidikan dan pelatihan perlu kegiatan aktif bagi peserta untuk memiliki keterampilan dalam keseharian mereka di lapangan. Narasumber maupun personel di lapangan juga sulit untuk mengubah pola pikir lama ke hal yang baru, terkait dalam tahapan pelaksanaan diklat yang berkualitas, ditambah lagi tidak semua narasumber menerima kurikulum baru. Monitoring dan evaluasi yang dilakukan dalam implementasi kurikulum hanya sebatas mengamati, dikarenakan pemahaman konsep evaluasi yang masih kurang dan jauh dari baik. Evaluasi yang dilaksanakan tidak mendukung tujuan ditambah lagi dengan belum tersedianya standar evaluasi yang belum ditetapkan secara jelas.

Kurangnya pengetahuan evaluasi kurikulum menjadikan pelaksanaan monitoring yang cenderung bersifat satu arah dan evaluasi dilakukan secara top down, seragam serta tidak memperhatikan potensi yang berbeda. Manajemen kurikulum secara keseluruhan adalah manajemen pengembangan kurikulum, dipandang sebagai suatu tindak profesional artinya dalam usaha pengembangan kurikulum diperlukan suatu keahlian manajerial dalam arti kemampuan untuk

1.      merencanakan,

2.      mengorganisasikan,

3.      mengelola, dan

4.      mengontrol.

Kemampuan 1 dan 2 disebut “curricullum planning“. Kemampuan 3 dan 4 disebut “curricullum implementation“.

C.    Pemetaan Stakeholder

Jika dalam definisi yang telah disebutkan di atas bahwa Stakeholder  merupakan pendidikan atau lembaga yang menjadi pemegang sekaligus pemberi suport terhadap pendidikan atau lembaga pendidikan, maka perlu adanya pemetaan Stakeholder . Mengapa pemetaan Stakeholder  menjadi penting? Dalam manajemen sebuah pendidikan atau lembaga pendidikan Stakeholder  adalah sebuah indikator untuk menentukan mutu dan atau layanan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan memiliki berbagai macam Stakeholder, maka dalam pemetaan atau pembagiannya akan dikenal Stakeholder  primer, sekunder, dan tersier.

1.      Stakeholder  Utama (Primer)

Stakeholder  utama merupakan Stakeholder yang memiliki keterlibatan secara langsung dengan suatu kebijakan pendidikan. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan.  Di Indonesia yang menjadi penentu arah kebijakan pendidikan adalah pemerintah. Sehingga yang menjadi stakeholder utama dalam pendidikan di Indonesia adalah pemerintah yang memiliki peran pembuat kebijakan yaitu pelayan mediator antara aktor-aktor pendidikan lainnya, baik di tingkat daerah hingga pusat. Yang mana, setiap kebijakan yang mereka putuskan diharapkan dapat diterima dan dilaksanakan dengan baik oleh stakeholder pendidikan lain serta mendukung kinerja antar stakeholder. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat termasuk pemantauan sistem pendidikan sekolah, privatisasi sekolah, pendidikan dan sertifikasi guru, persyaratan kelulusan, dan isi dari kurikulum pendidikan. Pembuat kebijakan harus memikirkan bagaimana kebijakan-kebijakan pendidikan yang diputuskan tersebut dapat  membawa perubahan pada sistem pendidikan ke arah lebih baik. Pembuat kebijakan juga bertanggung jawab terhadap investasi infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan. Secara garis besar, hal tersesbut berguna agar tidak terjadi kesenjangan pendidikan. Terlebih, pendidikan dengan pertumbuhan teknologi canggih semakin berkembang pesat, zaman dimana semua berjalan dengan cepat. Karena zaman globalisasi, banyak hal dipermudah dengan penggunaan teknologi. Jika pembuat kebijakan tidak menegakkan keadilan infrastruktur pendidikan, kesenjangan pendidikan akan terlihat. Oleh karena itu sistem pendidikan memerlukan pengambil kebijakan yang berkomitmen tinggi untuk menghadapi tantangan pendidikan yang ada serta memanfaatkan berbagai peluang dengan baik.

2.      Stakeholder  Pendukung (Sekunder)

Stakeholder pendukung (sekunder) adalah Stakeholder yang memiliki keterkaitan langsung dalam pendidikan dan menjadi pelaku dalam mengimplementasikan kebijakan dari stakeholder primer. Yang dimaksud dalam pembagian stakeholder ini adalah kepala sekolah, pendidik dan tenaga kependidikan, jika dalam lembaga pendidikan swasta maka ada yayasan dan yang terakhir adalah komite sekolah.

Di sekolah terdapat berbagai pihak diantaranya kepala sekolah, pendidik, dan peserta didik. Kepala sekolah bertanggung jawab pada perkembangan prestasi peserta didiknya, suasana lingkungan kerja guru, dan karakter keseluruhan sekolah. Kepala sekolah yang baik memiliki keunggulan dalam pribadi kepimimpan, kualitas mengatur, merumuskan strategi dan visi untuk menghadapi tantangan dan perkembangan baru serta dinamika keadaan dari sekolahnya.

Kepala sekolah juga memegang peranan penting lain yaitu penghubung antara guru, orang tua, dan para stakeholder lainnya. Dalam hal ini, kepala sekolah memainkan peran kunci sebagai mediator pengetahuan pada dua dimensi stakeholder vertikal dan horizontal.

Apa peran guru yang sesungguhnya dalam pendidikan? Kita perlu mendefinisi ulang peran guru sebagai profesional pendidikan. Peserta didik di masa globalisasi semakin membuat mereka beragam dengan kehadiran teknologi sebagai tempat-tempat belajar informal mereka mereka Guru sebagai elemen kunci utama pendidikan semakin dituntut untuk beradaptasi dan bertanggung jawab atas hal-hal yang dialami peserta didik. Karena setiap fenomena yang terjadi pada anak baik di luar maupun didalam area sekola, guru selalu tetap menjadi sorotan.

Implementasi kebijakan pendidikan, berdampak pada pikiran dan tindakan orang tua dan peserta didik. Peran guru kemudian berubah menjadi pemberi informasi pertama kepada orang tua didik. Guru sebagai profesional ditantang terlibat dalam proses pembentukan karakter peserta didik,tidak hanya sekedar menyampaikan ilmu pengetahuan (transfer knowladge) namun juga memberikan nilai-nilai pengajaran yang terkandung dalam materi yang di sampaikan (transfer value).

 

3.      Stakeholder  Pelengkap/Pengguna (Tersier)

Stakeholder  tersier merupakan Stakeholder yang tidak memiliki pengaruh dalam kebijakan pendidikan dan pelaksanaan atau implementasi kebijakan pendidikan, namun memiliki hak untuk menentukan penilaian terhadap kebijakan pendidikan dan memiliki hak untuk menggunakan lulusan lembaga pendidikan. Artinya stakeholder ini adalah masyarakat penyedia lapangan pekerjaan atau masyarakat peminat lembaga pendidikan. 

      Berbeda dengan stakeholder sekolah dan pemerintah yang terlibat langsung dalam sistem pendidikan, masyarakat termasuk dalam bagian diluar lingkaran sistem pendidikan tetapi berkaitan secara tidak langsung pada aktor pendidikan didalamnya. Perbedaan ini penting untuk diketahui bahwa masyarakat, stakeholder eksternal pendidikan, tidak mempunyai kapasitas yang lebih besar dari sekolah dan pemerintah dalam menghasilkan perubahan pendidikan. Dan ketika efek jangka panjang perubahan yang dilakukan stakeholder sekolah dan pemerintah dianggap penting. Apakah kemudian hanya sekedar sekolah dan pemerintah yang bertanggung jawab atas perubahan pendidikan. Maka dari itu, masyarakat perlu hadir dalam sistem pendidikan. Mereka dapat menjadi pengawas, bahkan terlibat langsung. Sekolah dan Pemerintah – tanpa masyarakat tidak memiliki cukup daya untuk mempertahankan perubahan yang dilakukan.

      Masyarakat yang dimaksud terdiri dari berbagai macam, diantaranya adalah orang tua murid, lembaga swadaya masyarakat (LSM), toko buku, ataupun perusahaan yang membutuhkan tenaga terididik, dan lain lain. Orang tua – keluarga adalah tempat pendidikan dasar karakter terbentuk. LSM dapat menjadi tempat pendidikan sekunder dan pengawas jalannya sistem pendidikan. Toko buku sebagai penyedia bahan ajaran. Bahkan perusahaan juga mendukung keberlanjutan pendidikan dengan memberi persyaratan pada calon tenaga pendidiknya untuk memiliki pendidikan dibidang tertentu. Pada contoh praktek konkrit tersebut, jelas terlihat bagaimana peran masyarakat yang sebenarnya. Masyarakat hadir dalam sistem pendidikan sebagai wadah atau lingkungan pelengkap pendidikan. Dari sana, pendidikan sekunder juga dapat terbentuk, atau bahkan sebagai penegak keberlanjutan pendidikan.

      Ketiga stakeholder pendidikan harus bersinergi dan mendukung satu sama lain. Dapat disimpulkan, keberhasilan pendidikan tidak akan terjadi tanpa keterlibatan ketiga stakeholder pendidikan: sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Setelah melakkan pemetaan terhadap stakeholder, maka akan ditemukan komponen-komponen penyusun sehingga stakeholder menjadi satu kesatuan utuh yang saling bersinergi. Sinergi antara komponen-komponen stakeholder tersebut dalam dapat digambarkan pada bagan berikut:

Bagan Stakeholder Sekolah/Madrasah

 

 

 

 

D.    Komponen Stakeholder Dalam Pendidikan

1.      Masyarakat lokal (ada anggapan pendidikan hanya tanggung jawab pemerintah, sehingga desentralisasi pendidikan belum dimaknai oleh masyarakat sebagai pengembangan kemajuan pendidikan). UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah mengilhami otonomi pendidikan di daerah. Namun dalam tahun 2006 muncul apa yang kita kenal Ujian Nasional, padahal konsep tersebut cenderung konsep penyeragaman budaya yang berbeda. Bukankah pendidikan yang demokratis adalah pendidikan yang memberikan kebebasan bagi daerah untuk menyesuaikan dengan perkembangan daerahnya serta apakah pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang di daerah dapat disamaratakan kualitasnya. Fungsi pendidikan kekinian adalah transisi iptek dan masyarakat masa depan yang menghargai kebhinekaan dan keragaman pendapat.

2.      Orang tua (selalu beranggapan sekolah saja tempat pendidikan, sehingga kurang serius memperhatikan kemajuan anak baik secara behavior maupun psikologis). Peserta didik lebih cenderung terbentuk dari karakter proses kehidupan dalam keluarga, sekolah lebih cenderung memberikan pengetahuan saja. Namun sangat disayangkan bahwa kondisi orangtua dalam masyarakat Indonesia masih hidup terbelakang baik secara ekonomi maupun kesehatan (kurang gizi), serta kerja yang serabutan, sehingga dapat kita bayangkan bagaimana generasi yang dihasilkannya dalam rangka peningkatan pendidikan non-formal anak disamping pendidikan di sekolah.

3.      Peserta didik (belum sepenuhnya peserta didik dari berbagai tingkatan yang tertampung, sehingga berdampak pada jumlah anak putus sekolah karena biaya tinggi dan juga kurang didukung oleh faktor pendekatan pisik (gizi) dan pendekatan psikis.

4.      Negara (dari segi material bahwa negara belum menempatkan pos khusus untuk pendidikan, dan kesannya dana pendidikan disediakan secara tambal sulam, jelas kita akan mengetahui apa hasil pendidikan dengan dana terbatas. Siap atau tidak siap, pendidikan di daerah memerlukan perhatian serius terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pemanfaatan sumberdaya manusia di daerah. Selanjutnya dana pendidikan 20% yang dianggarkan dalam APBN/APBD masih sebatas wacana, kalaupun ada biaya murah atau gratis biaya pendidikan di daerah-daerah tertentu, kesannya dipaksakan untuk populis saja bahkan untuk menarik simpati partai politik pendukung saja bukan sebagai bentuk perencanaan pendidikan yang matang.

5.      Pengelola profesi pendidikan (cenderung menyelenggarakan pendidikan bukan motif mencerdaskan tetapi profit oriented atau bisnis sehingga pendidikan terkesan mahal, sementara pendidikan formal yang disediakan negara sangat terbatas menampung peserta didik). Dikawatirkan olehNeils Postman seorang pemikir pendidikan dunia, akan terjadi apa yang dinamakan teacher as as subversive activity. Untuk itu sekolah harus bisa menjadi alat kontrol cita-cita kemajuan bangsa sesuai filsafat pendidikan dan arah kebijakan pembangunan nasional yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 45.

 

Selain itu ada yang membagi Stakeholder dalam Bidang Pendidikan 3 kategori utama, yaitu :

1.      Sekolah, termasuk di dalamnya adalah para guru, kepala sekolah, murid dan tata usaha sekolah.

2.      Pemerintah, diwakili oleh para pengawas, penilik, dinas pendidikan, walikota, sampai menteri pendidikan nasional.

3.      Masyarakat, sedangkan masyarakat yang berkepentingan dengan pendidikan adalah orangtua murid, pengamat dan ahli pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan atau badan yang membutuhkan tenaga terdidik (DUDI), toko buku, kontraktor pembangunan sekolah, penerbit buku, penyedia alat pendidikan, dan lain-lain.

 

 

 

E.     Penetapan Stakeholder Sekolah/Madrasah

Penetapan stakeholder potensial dari lembaga pendidikan merupakan proses yang sangat penting dalam manajemen lembaga. Kesalahan dalam menentukan stakeholder potensial tersebut akan berdampak pada kesalahan dalam proses manajemen selanjutnya yang pada akhirnya akan menimbulkan tidak terserapnya produk dan layanan lembaga pendidikan di masyarakat.

Sebagaimana terlihat dari hasil pemetaan stakeholder di atas, kegiatan yang dihasilkan dari pemetaan tersebut menghasilkan berbagai harapan dari berbagai kelompok stakeholder. Masing-masing harapan dari kelompok stakeholder tersebut dimungkinkan memiliki perbedaan yang kontras antara satu kelompok stakeholder dengan kelompok stakeholder yang lain. Oleh karenanya tidak mungkin semua harapan dan kebutuhan kelompok stakeholder tersebut dipenuhi oleh lembaga pendidikan. Itulah sebabnya lembaga pendidikan harus memilih kelompok stakeholder yang akan dipenuhi harapan dan kebutuhannya.

Proses memilih kelompok stakeholder yang akan menjadi sasaran untuk dilakukan pemenuhan kebutuhan dan harapan tersebut itulah yang disebut dengan proses menetapkan stakeholder potensial. Dalam proses pemilihan ini tentu saja sekolah/madrasah harus juga menyesuaikan dengan kondisi internal lembaga saat ini dan yang akan datang, sehingga apa yang diinginkan dan diharapkan oleh stakeholder tersebut akan dapat dipenuhi oleh lembaga. Itulah sebabnya sebelum dilakukan analisis, lembaga pendidikan harus mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya yang ada di lembaga tersebut.

Hasil pemetaan sumber daya tersebut kemudian digunakan untuk melakukan analisis dalam menentukan stakeholder utama dari lembaga pendidikan. Proses analisis tersebut dilakukan dengan membandingkan antara sumber daya yang ada di lembaga pendidikan dan proyeksinya empat tahun ke depan dan kebutuhan dan harapan stakeholder. Dalam menentukan stakeholder potensial lembaga pendidikan digunakan perbandingan antara kemampuan pemenuhan sumber daya di lembaga pendidikan sampai dengan empat tahun ke depan dengan tingkat kecukupan dalam pemenuhan kebutuhan dan harapan stakeholder. Semakin tinggi tingkat kesesuaian tersebut, maka akan semakin potensial pula stakeholder tersebut bagi lembaga pendidikan.

Selain menggunakan analisis, proses penentuan stakeholder potensial juga harus memperhitungkan latar belakang dan hal-hal yang menjadi dasar dalam pendirian lembaga pendidikan tersebut. Hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang dan dasar pendirian lembaga tersebut tidak dapat dianalisis dengan menggunakan logika, namun biasanya diketahui secara jelas oleh pendiri atau pimpinan lembaga.

Dengan mendasarkan pada stakeholder potensial lembaga dan berbagai landasan filosofis lembaga inilah kemudian kegiatan utama lembaga pendidikan dapat ditentukan. Walaupun secara garis besar kegiatan utama sekolah/madrasah adalah pendidikan dan pengajaran, namun dalam proses pelaksanaannya terdapat berbagai variasi yang merupakan perwujudan dari keinginan dan harapan dari stakeholder potensial.

Berbagai bentuk pembelajaran dalam mata pelajaran muatan lokal atau berbagai jenis pelayanan dalam proses pendidikan dan pengajaran serta penunjangnya meupakan beberapa contoh yang dapat dilihat jika hendak mengidentifikasi stakeholder potensial lembaga pendidikan. Sekolah/madrasah yang memiliki stakeholder potensial dari tingkat ekonomi menengah ke atas misalnya akan melaksanakan proses pembelajaran dengan menggunakan berbagai bantuan teknologi, setiap kelas dibimbing oleh beberapa guru, kegiatan pembelajaran kontekstual dapat dilaksanakan dengan baik, pembimbingan anak dengan menggunakan teori belajar konstruktivis dapat dilaksanakan, dan berbagai bentuk layanan pendidikan lainnya dapat dengan mudah untuk dilaksanakan. Sedangkan madrasah yang terletak di daerah dengan banyak pondok pesantren dengan stakeholder utamanya berasal dari santri pondok pesantren akan melaksanakan berbagai kegiatan pembelajaran yang sangat terkait dengan berbagai pelajaran yang ada di pondok pesantren tersebut dan kegiatan-kegiatan yang sangat terkait dengan pondok pesantren.

 

 

F.     Mengelola Stakeholder Sekolah/Madrasah

Satuan pendidikan (sekolah) yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masyarakat akan selalu menghadapi tekanan, baik yang berasal dari luar institusi sekolah maupun dari dalam. Namun demikian, unsur-unsur tersebut tidak selalu menekan sekolah, adakalanya unsur-unsur tersebut malah memberikan peluang yang justru akan meningkatkan mutu sekolah. Tugas sekolah membina hubungan yang baik dengan pihak-pihak tersebut melalui suatu proses komunikasi. Pihak-pihak tersebut adalah khalayak sasaran kegiatan sekolah yang disebut stakeholder yaitu setiap kelompok yang berada di dalam maupun diluar institusi sekolah yang mempunyai peran menentukan peningkatan mutu sekolah. Stakeholder terdiri atas berbagai kelompok penekan (pressure group) yang mesti dipertimbangkan oleh sekolah. Dalam kerangka yang lebih luas, kepuasan kelompok-kelompok dalam stakeholder dapat dipakai sebagai indikator keberhasilan sekolah.

Secara umum stakeholder sekolah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yakni stakeholder internal dan eksternal. Stakeholder internal relatif mudah untuk dikendalikan dan pekerjaan untuk komunikasi interen bisa diserahkan pada bagian lain seperti wakil kepala sekolah atau dirangkap langsung oleh kepala sekolah. Ketika iklim demokrasi dan pemberdayaan tumbuh dengan baik di Indonesia, muncullah persaingan antar sekolah sejenis tidak hanya mengangkat calon-calon peserta didik terbaik atau mempertahankannya, tetapi juga mencari dan mempertahankan manajer sekolah, guru, dan tenaga kependidikan serta karyawannya yang sudah teruji mampu mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas sekolah.

Sedangkan stakeholder eksternal adalah unsur-unsur yang berada di luar kendali sekolah (uncontrollable). Peserta didik dan orang tua peserta didik sebagai konsumen sekolah adalah raja yang mempunyai hak untuk memilih layanan belajarnya sendiri. Peserta didik dan orang tua peserta didik banyak diperebutkan oleh sekolah, sedikit sekali sekolah yang bisa membujuk pemerintah untuk menerbitkan peraturan yang menguntungkan sekolah.

Para pimpinan sekolah umumnya dibekali dengan teknik untuk mendesain organisasinya sesuai dengan keadaan lingkungan eksternalnya. Unsur dalam lingkungan eksternal itu dapat dilihat dari (1) kompleksitas lingkungannya, yaitu diukur dari banyaknya pihak luar institusi sekolah yang perlu mendapat perhatian sekolah karena pengaruhnya. Semakin banyak aktor yang perlu diperhatikan, maka semakin kompleks hal-hal yang dihadapi, tetapi jika semakin sedikit aktor yang perlu diperhatikan, maka urusannya semakin sederhana; (2) stabilitas lingkungan, yaitu diukur dari perubahan, bila terlalu sering terjadi perubahan peraturan pemerintah dan kebijakan pemerintah terhadap sekolah, perubahan selera konsumen, perubahan peran aktor dalam lingkungan lainnya, maka lingkungan dikatakan tidak stabil (labil), keadaan sebaliknya disebut stabil.

G.    Peran Stakeholder Pendidikan

Dalam setiap komponen pendidikan memiliki peran yang berbeda untuk melaksanakan proses pendidikan mulai dari penentuan kebijakan pendidikan, implementasi kebijakan dan pengguan lulusan.

1.      Orang tua

Peranan orang tua antara lain:

a.       Mendukung pelaksanaan belajar mengajar di sekolah.

b.      Berpartisipasi aktif dalam mensosialisasikan kegiatan sekolah di berbagai komunitas.

c.       Bersedia menjadi narasumber sesuai keahlian dan profesi yang dimiliki.

d.      Menginformasikan nilai-nilai positif dari pelaksanaan kegiatan di sekolah kepada masyarakat secara luas.

e.       Bekerjasama dengan anggota komite sekolah atau atau pihak lain dalam pengadaan sumber belajar.

f.        Aktif bekerja sama dengan guru dalam proses pembelajaran untuk anak yang berkebutuhan khusus.

g.      Aktif dalam memberikan ide/gagasan dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran.

 

2.      Guru

Peranan guru antara lain:

a.       Berkomunikasi secara berkala dengan keluarga, yaitu: orang tua atau wali tentang kemajuan anak mereka dalam belajar dan berprestasi.

b.      Bekerjasama dengan masyarakat untuk menjaring anak yang tidak bersekolah, mengajak dan memasukkannya ke sekolah.

c.       Menjelaskan manfaat dan tujuan sekolah kepada orang tua peserta didik.

d.      Mempersiapkan anak agar berani berinteraksi dengan masyarakat sebagai bagian dari kurikulum, seperti mengujungi museum, memperingati hari-haribesar keagamaan dan Nasional.

e.       Mengajak orang tua dan anggota masyarakat terlibat di kelas.

 

 

3.      Komite sekolah

Komite Sekolah merupakan nama baru pengganti Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikandi luar sekolah (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).

Secara kontekstual, peran Komite Sekolah sebagai:

a.       Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.

b.      Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

c.       Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.

d.      Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).

 

Depdiknas dalam bukunya Partisipasi Masyarakat, menguraikan tujuh peranan Komite Sekolah terhadap penyelenggaraan sekolah, yakni:

a.       Membantu meningkatkan kelancaran penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah baik sarana, prasarana maupun teknis pendidikan.

b.      Melakukan pembinaan sikap dan perilaku siswa. Membantu usaha pemantapan sekolah dalam mewujudkan pembinaan dan pengembangan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pendidikan demokrasi sejak dini (kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan pendahuluan bela negara, kewarganegaraan, berorganisasi, dan kepemimpinan), keterampilan dan kewirausahaan, kesegaran jasmani dan berolah raga, daya kreasi dan cipta, serta apresiasi seni dan budaya.

c.       Mencari sumber pendanaan untuk membantu siswa yang tidak mampu.

d.      Melakukan penilaian sekolah untuk pengembangan pelaksanaan kurikulum, baik intra maupun ekstrakurikuler dan pelaksanaan manajemen sekolah, kepala/wakil kepala sekolah, guru, siswa, dan karyawan.

e.       Memberikan penghargaan atas keberhasilan manajemen sekolah.

f.        Melakukan pembahasan tentang usulan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).

g.      Meminta sekolah agar mengadakan pertemuan untuk kepentingan tertentu (Depdiknas, 2001:17).

4.      Kepala sekolah

Peranan kepala sekolah antara lain:

a.       Mengatur hubungan sekolah dengan orang tua siswa.

b.      Memelihara hubungan baik dengan BP3.

c.       Memelihara dan mengembangkan hubungan sekolah dengan lembaga-lembaga lain, baik pemerintah maupun swasta.

d.      Memberi pengertian kepada masyarakat tentang fungsi sekolah melalui bermacam-macam media komunikasi.

e.       Mencari dukungan dari masyarakat. Dukungan yang diperlukan meliputi (1) Personil, seperti : tenaga ahli, konsultan, guru, orang tua, pengawas dan sebagainya, (2) Dana yang diperlukan untuk mendukung tersedianya fasilitas, perlengkapan dan bahan-bahan pengajaran yang lain. (3) Dukungan berupa informasi, lembaga dan sikap politis.

f.        Memanfaatkan sumber-sumber daya yang diperoleh secara tepat, sehingga mampu meningkatkan proses mengajar dan belajar.

5.      Peran Pemerintah

Peran negara dalam dunia pendidikan dilaksanakan oleh pemerintah didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD). Dalam UUD 1945 hasil amandemen Pasal 31 ayat 1-4 disebutkan bahwa:

a.       Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

b.      Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

c.       Pemerintah wajib menguasahakan dan menyelanggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

d.      Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Isi dari pasal ini adalah pengembangan dari UUD 1945 awal yang hanya terdiri dari dua pasal. Hasil amandemen mengamanatkan untuk pemerintah agar menyelenggarakan pendidikan yang berkarakter (akhlak mulia) lengkap dengan pembiayaannya, yaitu 20 APBN dan 20 APBD (I dan II). Nampaknya, pasal tentang pendidikan ini muncul terkait dengan kejadian pada masa penjajahan yang mengalami diskriminasi dalam pendidkan. Anak-anak pribumi saat itu sangat sulit mengakses pendidikan sebagaimana kaum priyayi dan warga Belanda. Kemudian direspon dengan bunyi pasal tentang hak warga negara yang tanpa diskriminasi. Pemerintah juga mengucurkan bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SD, SMP, dan mulai tahun (2013) kepada SMA. BOS ini diberikan kepada semua lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta. Untuk kasus di pesantren, pemerintah memberikan BOS di pesantren yang menyelenggarakan wajardikdas ula, wustho, paket C. Bantuan di luar itu masih bersifat insidental. Bisa jadi dikarenakan standardisasi pesantren yang dianggap sulit oleh pemerintah. Pada wilayah sertifikasi, antrian giliran guru di bawah kemenag untuk mendapatkan tunjangan sertifkasi relatif lebih cepat dibanding dengan guru di bawah kemendikbud. Ini disebabkan ‘antrian’ di masing-masing kementerian yang tidak sama. Antrian di kemenag lebih pendek dibanding di kemendikbud.

6.      Masyarakat usaha

Selain masyarakat sukarela, banyak juga masyarakat yang mempunyai tujuan mengambil manfaat dari dunia pendidikan. Para penerbit buku, usaha kursus, penyedia alat pendidikan, dan pengusaha-pengusaha lainnya. Kelompok ini juga perlu difasilitasi, bahkan jika perlu dibangkitkan kesadarannya, bahwa selain sebagai lahan penghidupan, dunia pendidikan juga memerlukan kesetiakawanan yang dapat memperbaiki kualitas maupun kuantitas pelayanan pendidikan. Untuk itu, pendekatan usaha terhadap dunia pendidikan adalah bersifat mendukung, tidak hanya sekedar memeras dan menjadikannya layaknya komoditas.

H.    Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk meracang kembali pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.

Berikut ini terdapat beberapa definisi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menurut beberapa ahli diantaranya:

1.      BPPN dan Bank Dunia (1999) dalam Mulyasa, memberi pengertian bahwa MBS merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat, dan dalam kerangka kebijakan nasional.

2.      Depdikbud dalam Mulyasa (2002), mengemukakan MBS adalah suatu penawaran bagi sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai bagi para peserta didik.

3.      Mulyasa (2002) mengemukakan Manajemen Berbasis Sekolah adalah pradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam rangka kebijakan pendidikan nasional.

4.      Menurut Wikipedia (2009) mengemukakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan model aplikasi manajemen institusional yang mengintegrasikan  seluruh sumber  internal dan eksternal  dengan lebih menekankan pada pentingnya menetapkan kebijakan melalui  perluasan otonomi sekolah.  Sasarannya adalah mengarahkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan dalam rangka mencapai tujuan. Spesifikasinya berkenaan dengan visi, misi, dan tujuan yang dikemas dalam pengembangan kebijakan dan perencanaan.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah kebijakan pemerintah yang diberikan masing-masing sekolah untuk mengelola dan mengoptimalkan pendidikan di daerahnya sesuai dengan karakteristik di daerahnya masing-masing dan keikutsertaan masyarakat dalam mewujudkan tujuan pendidikan.

 

I.       Tujuan MBS

MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan.

 

Dengan MBS, sekolah diharapkan makin mampu dan berdaya dalam mengurus dan mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang pada koridor-koridor kebijakan pendidikan nasional. Perlu digarisbawahi bahwa pencapaian tujuan MBS harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya)

J.      Pola Baru Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Bukti-bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan digulirkannya otonomi daerah, telah mendorong dilakukannya penyesuaikan diri dari pola lama manjemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa depan yang lebih bernuangsa otonomi dan yang  lebih demokratis. Tabel I. berikut menunjukkan dimensi- dimensi perubahan pola manajemen, dari yang lama menuju yang baru.

Tabel 1 : Dimensi-dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan

POLA LAMA

MENUJU

POLA BARU

Subordinasi

===è

Otonomi

Pengambilan keputusan terpusat

===è

Pengambilan keputusan partisipasif

Ruang gerak kaku

===è

Ruang gerak luwes

Pendekatan birokratik

===è

Pendekatan profesional

Sentralistik

===è

Disentralistik

Diatur

===è

Motivasi

Overegulasi

===è

Deregulasi

Mengontrol

===è

Mempengaruhi

Mengarahkan

===è

Memfasilitasi

Menghindari resiko

===è

Mengelola resiko

Gunakan uang semuanya

===è

Gunakan uang seefesien

Individual yang cerdas

===è

Teamwork yang cerdas

Informasi terpribadi

===è

Informasi terbagi

Pendelegasian

===è

Pemberdayaan

Organisasi herakis

===è

Organisasi datar

 

Pada pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program dari pada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah.

Sedangkan pada Pola Baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipasif dan partisipasi masyarakt makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah didorong oleh motivasi diri sekolah dari pada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah  resiko, pengunaan uang lebih efesien karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan (Effesiensi-based budgeting), lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi  ke semua warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebih efesien.

K.    Prinsip – prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

1.      Otonomi

Otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama dengan istilah swa, misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri. Dengan otonomi yang lebih besar, sekolah memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang tentu saja lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi yang dimiliki.

2.      Fleksibilitas

Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya, sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal. Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesan-keluwesan yang dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada.

3.      Partisipasi

Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya.) didorong untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya. Partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan sekolah telah diatur dalam suatu kelembagaan yang disebut dengan Komite Sekolah. Secara resmi keberadaan Komite Sekolah ditunjukkan melalui Surat Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam hal pembentukannya,  Komite Sekolah menganut prinsip transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi. Komite Sekolah diharapkan menjadi mitra sekolah yang dapat mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di sekolah. Tugas dan fungsi Komite Sekolah antara lain mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; mendorong orangtua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan; dan menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.

       Selain itu, Komite Sekolah juga dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada sekolah tentang kebijakan dan program pendidikan, rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah. Pendeknya, Komite Sekolah diharapkan berperan sebagai pendukung, pemberi pertimbangan, mediator dan pengontrol penyelenggaraan pendidikan di sekolah.

4.      Peningkatan mutu

pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah adanya sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan mutu sekolah.

Kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis. Akuntabilitas sekolah adalah pertanggungjawaban sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Sedang demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak asasi manusia serta kewajibannya dalam rangka untuk meningkatkan mutu pendidikan.

 

Dengan pengertian di atas, maka sekolah memiliki kemandirian lebih besar dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit di atasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) merupakan unit pendukung dan pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.

 

Tidak hanya itu. Menurut Nurkolis (2005:52-55) Prinsip-prinsip Manajemen Berbasis Sekolah itu terdiri dari Ekuifinalitas (equifinality), Desentralisasi (decentralisation), Pengelolaan mandiri (self-managing system), Inisiatif manusia (human initiative). prinsip-pinsip tersebut didasarkan sebagai pedoman yang digunakan manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk mengelola sekolah dalam mendukung ketercapaian tujuan. Adapun penjelasan prinsip-prinsip tersebut yaitu:

1.      Ekuifinalitas (equifinality). Prinsip ini berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi masing-masing, walaupun sekolah yang berbeda dihadapkan masalah yang sama, cara penangannya akan berlainan antara sekolah yang satu dengan yang lain.

2.      Desentralisasi (decentralisation). Prinsip desentralisasi adalah efisiensi dalam pemecahan masalah, bukan menghindari masalah. Desentralisasi pendidikan memberikan peluang yang luas kepada sekolah untuk mengelola sumber daya sekolah menurut strategi-strategi yang unik dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.

3.      Pengelolaan mandiri (self-managing system). Prinsip pengelolaan mandiri memberikan kewenangan sekolah untuk mengelola secara mandiri dengan kebijakan yang telah ditetapkan secara kolaboratif. Dengan demikian, sekolah memiliki otonomi untuk mengembangkan tujuan pengajaran, strategi manajemen, distribusi sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan masalah, dan mencapai tujuan berdasarkan kondisi masing-masing.

4.      Inisiatif manusia (human initiative). Prinsip inisiatif manusia, mengakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Karena itu potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan human resources development, yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan.

 

Secara lebih operasional, Depdiknas (2001:6-7) menetapkan prinsip-prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS), yaitu keterbukaan, kebersamaan, berkelanjutan, menyuluruh, pertanggungjawaban, demokratis, kemandirian, berorientasi pada mutu, pencapaian standar pelayanan minimal, dan pendidikan untuk semua. Prinsip-prinsip dimaksud apabila dapat dipenuhi, maka implementasi manajemen berbasis sekolah dapat meningkatkan pelayanan dan mutu pendidikan di sekolah dengan melibatkan sumber daya sekolah dan masyarakat.

 

L.     Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Manajemen Berbasis Sekolah merupakan sebuah model yang mempunyai konsep dasar dalam pendidikan sehingga mempunyai karakteristik khas. Terdapat empat Karakteristik, diantaranya:

1.      Adanya otonomi yang luas kepada sekolah

2.      Adanya partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yang tinggi

3.      Kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional

4.      Adanya team work yang tinggi, dinamis dan profesional

Dengan adanya karakteristik diatas maka Manajemen Berbasis Sekolah merupakan sebuah model dan program yang jelas.

Selain itu, disini juga terdapat beberapa karakteristik menurut beberapa ahli diantaranya:

1.      Mulyasa (2002): Karakteristik  dapat diketahui dari bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan sumber daya manusia dan pengelolaan administrasi.

2.      Nurkolis (2006): MBS memiliki karakteristik yang bertolak belakang dengan karakteristik MKE, yaitu dalam hal misi sekolah hakikat aktifitas sekolah, strategi-strategi manajemen, penggunaan sumber-suber daya, peran warga sekolah, hubungan interpersonal, kualitas para administrator dan indikator-indikator evektifitas.

3.      Departemen Pendidikan Nasional (2007): karekteristik MBS memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah secara efektif, yang dikatagorikan menjadi input, proses dan output.

4.      Menurut Umaedi dalam Suryosubroto (2010: 197-198): karakteristik MBS diantaranya:

a.       Lingkungan sekolah yang aman dan tertib

b.      Sekolah memiliki visi dan target yang ingin dicapai

c.       Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat

d.      Adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah

e.       Adanya pengembangan staf sesuai kemajuan iptek

f.        Adanya evaluasi yang terus menerus guna perbaikan mutupendidikan

g.      Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid dan masyarakat.

Tidak hanya itu, MBS memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam menerapkan MBS, maka sejumlah karakteristik MBS berikut perlu dimiliki. Karakteristik MBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik sekolah efektif. Jika MBS merupakan wadah/kerangka, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh karena itu, karakteristik MBS berikut memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses dan output.

1.      Output yang diharapkan

Sekolah harus memiliki output yang diharapkan. Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran dan manajemen di sekolah. Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik (academic, achivement) dan ouput berupa prestasi non-akademik (non-academic achivement). Output prestasi akademi misanya, NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris, Matematika, Fisika), cara-cara berfikir (kritis, kreatif/divergen, nalar, rasional, induktif, deduktf, dan ilmiah). Output non-akademik, misalnya keingintahuan yang tinggi, harga diri kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedipsiplinan, kerajinan prestasi oleh raga, kesenian, dan keptamukaan.

2.      Proses

Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai  berikut :

a.       Proses Belajar Mengajar yang Efektivitasnya Tinggi

Sekolah yang menerapkan MBS memiliki efektivitas proses belajar mengajar (PBM) yang tinggi. Ini ditujukkan oleh sifat PBM yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik PBM bukan sekadar memorisasi dan recall, bukan  sekadar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos) akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan hayati (ethos) serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik (pathos). PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learnig to be)

b.      Kepemimpinan Sekolah yang Kuat

Pada sekolah yang menerapkan MBS, kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersdia. Kepemimpinan Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimipinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Secara umum, kepala sekolah tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya sekolah, terutama sumberdaya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah.

c.       Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib

Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, sekolah yang efektif selalu menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan kepala sekolah sangat penting sekali.

d.      Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang efektif

Tenaga kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang menerapkan MBS menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala sekolah. Terlebih-lebih pada pengembangan tenaga kependidikan, ini harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Pendeknya tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menyukseskan MBS adalah tenaga kependidikan yang mempunyai komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.

e.       Sekolah memiliki Budaya Mutu

Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut: (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (rewards) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjsama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaan; dan (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.

f.        Sekolah memiliki “Teamwork” yang kompak, Cerdas, dan Dinamis

Kebersaman (teamwork) merupakan karateristik yang dituntut oleh MBS, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah, bukan hasil individual. Karena itu budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.

g.      Sekolah memiliki Kewenangan (kemandirian)

Sekolah memiliki  kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan  kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya.

h.      Partisipasi yang Tinggi dari Warga dan Masyarakat

Sekolah yang menerapkan MBS memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat prestasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa-memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula tingkat dedikasinya.

i.        Sekolah memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen

Keterbukaan/transparansi dalam pengelolan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan MBS, Keterbukaan/transparansi ini ditunjukan dalam pengambilan keputusan,  perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagai alat kontrol.

j.        Sekolah memiliki Kemauan untuk Berubah (psikologis dan  pisik)

Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh sekolah. Tentu saja yang dimaksud  perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.

k.      Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan.

Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting  adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan meyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus-menerus merupakan kebiasan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur, proses dan sumberdaya untuk menerapkan manajemen mutu.

 

 

l.        Sekolah Responsi dan antisipatif terhadap Kebutuhan

Sekolah selalu tanggap /responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/ tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola, adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.

m.    Memiliki Komunikasi yang baik

Sekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang baik terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran sekolah yang telah di patok. Selain itu komunikasi yang baik juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak dan cerdas, sehingga berbagai kegitan sekolah dapat dilakukan secara merata oleh warga sekolah.

n.      Sekolah memiliki Akuntabilitas

Akuntabilitas adalah bentuk pertanggung jawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk  laporan prestasi yang dicapaikan dan dilaporkan kepada pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat menilai apakah program MBS telah mencapai tujuan yang di kehendaki atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu membersihkan maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerjanya di masa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat. Demikian pula, para orang tua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orang tua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orang tua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program MBS yang telah dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang.

o.      Sekolah memiliki Kemampuan Manajemen Sustainabilitas

Sekolah yang efektif juga memiliki kemampuan untuk menjaga kelangsungan hidupnya (sustainabilitasnya) baik dalam program maupun pendanaannya. Sustainabilitas program dapat dilihat dari keberlanjutan program-program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainabilitas pendanan dapat ditunjukan oleh kemampuan sekolah dalam mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar jumlahnya. Sekolah memiliki kemampuan menggali sumberdana dari masyarakat, dan tidak sepenuhnya menggantungkan subsidi dari pemerintah bagi sekolah-sekolah negeri.

 

3. Input Pendidikan

a.       Memiliki Kebijakan, Tujuan  dan Sasaran Mutu yang jelas

Secara formal, sekolah menyatakan dengan jelas tentang keseluruhan kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu. Kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu tersebut dinyatakan oleh kepala sekolah dan disosialisasikan kepada  semua warga sekolah, sehingga tertanam pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga sampai pada kepemilikan karakter mutu oleh warga sekolah.

b.      Sumberdaya Tersedia dan Siap

Sumberdaya merupakan input penting yang diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung secara memadai, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumberdaya dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya selebihnya (uang peralatan, perlengkapan, bahan, dsb) dengan penegasan bahwa sumberdaya selebihnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran sekolah, tanpa campur tangan sumberdaya manusia.

Secara umum, sekolah yang menerapkan MBS harus memiliki tingkat kesiapan sumberdaya yang memadai untuk menjalanlan proses pendidikan. Artinya, segala sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan proses pendidikan harus tersedia dan dalam keadaan siap. Ini bukan berarti bahwa sumberdaya yang ada harus mahal, akan tetapi sekolah yang bersangkutan dapat memanfaatkan keberadaan sumberdaya yang ada dilingkungan sekolahnya. Karena itu, diperlukan kepala sekolah yang mampu memobilisasi sumberdaya yang ada disekitarnya.

c.       Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi

Meskipun pada butir (b) telah disinggung tentang ketersedian dan kesiapan sumberdaya manusia (staf), namun pada butir ini perlu ditekankan lagi karena staf merupakan jiwa sekolah. Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki staf yang mampu (kompeten) dan berdedikasi tinggi terhadap sekolahnya. Implikasinya jelas, yaitu, bagi sekolah yang ingin efektifitasnya tinggi, maka kepemilikan staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan keharusan.

d.      Memiliki Harapan Prestasi yang tinggi

Sekolah yang menerapkan MBS mempunyai dorongan dan harapan yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan sekolahnya. Kepala sekolah memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk meningkatkan mutu sekolah secara optimal. Guru memiliki komitmen dan harapan yang tinggi bahwa anak didiknya dapat mencapai tingkat yang maksimal, walaupun dengan segala keterbatasan sumberdaya pendidikan yang ada disekolah.

Sedang peserta didik juga mempunyai motivasi untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan kemampuaannya. Harapan tinggi dari ketiga unsur sekolah ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan sekolah selalu dinamis untuk selalu menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.

e.       Fokus  pada Pelanggan (khususnya Siswa)

Pelanggan , terutama siswa, harus merupakan fokus dari semua kegiatan sekolah. Artinya, semua input dan proses yang dikerahkan di sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik. Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan input dan proses belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang diharapkan dari siswa.

f.        Input manajemen

Sekolah yang menerapkan MBS memiliki input manajemen yang memadai untuk menjalankan roda sekolah. Kepala sekolah dalam mengatur dan mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah input manajemen. Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah mengelola sekolanya dengan efektif. Input manajemen yang dimaksud meliputi; tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sitematis, program yang mendukung bagi pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas sebagai panutan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya sistem pengendalian mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan agar sasaran yang telah disepakati dapat dicapai.

 

M.   Perbedaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk meracang kembali pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.

Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) merupakan Model MBS yang ada di Indonesia. MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

MPMBS merupakan bagian dari manajemen bebasis sekolah (MBS). Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efesiensi, inovasi, relevansi, dan pemeratan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa mutu pendidikan nasional kita saat ini sangat memprihatinkan sehingga memerlukan perhatian yang lebih serius. Itulah sebabnya MPMBS lebih ditekankan dari pada MBS untuk saat ini. Pada saatnya nanti MPMBS akan menjadi MBS.

MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Lebih rincinya, MPMBS bertujuan untuk  :

1.      Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibelitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas, sustainbilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdaya yang tersedia.

2.      Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.

3.      Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya

4.      Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Melalui beberapa uraian yang telah dijelaskan di atas, maka penulis menyimpulkan beberapa dari uraian tersebut:

Stakeholder  adalah pemegang atau pemangku kepentingan. orang atau kelompok tertentu yang mempunyai kepentingan apa pun terhadap sebuah obyek disebut Stakeholder. Sedangkan  Stakeholder  pendidikan dapat diartikan sebagai orang yang menjadi pemegang dan sekaligus pemberi support terhadap pendidikan atau lembaga pendidikan.

Lembaga pendidikan memiliki berbagai macam Stakeholder, maka dalam pemetaan atau pembagiannya akan dikenal Stakeholder  primer, sekunder, dan tersier. Ketiga stakeholder pendidikan harus bersinergi dan mendukung satu sama lain.

Dalam dunia pendidikan Stakeholder berperan ditinjau dari berbagai aspek yaitu dalam peran orang tua, guru, komite sekolah, kepala sekolah, pemerintah dan masyarakat usaha.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk meracang kembali pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.

Pola Baru dalam Manajemen Berbasis Sekolah yaitu sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolan lembaganya, sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah  resiko dan lain sebagainya.

Prinsip – prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) meliputi:

1.             Otonomi

2.             Fleksibilitas

3.             Partisipasi

4.             Peningkatan mutu

 

Departemen Pendidikan Nasional (2007): karekteristik MBS memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah secara efektif, yang dikatagorikan menjadi input, proses dan output.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk meracang kembali pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat. Sedangkan,  Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) merupakan Model MBS yang ada di Indonesia. MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.

MPMBS merupakan bagian dari manajemen bebasis sekolah (MBS). Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu, efesiensi, inovasi, relevansi, dan pemeratan serta akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

-Muhaimin. 2010. Manajemen Pendidikan, Aplikasinya dalam Penyusunan Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta: Prenada Media Group.

 

-Nanang Fatah. 2009. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja   Rosdakarya

     

-Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep Strategi dan Implementasi,     Bandung: Remaja Rosda Karya.

-Kompri. 2014. Manajemen Sekolah: Teori dan Praktik. Bandung: Alfabeta.

-Muhaimin. 2010. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Kencana.

-Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana.

-Syaiful. 2003. Manajemen Strategi Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

-http://icheytrezna.blogspot.com/2013/12/manajemen-berbasis-sekolah-mbs_14.html

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Aksi nyata modul 1.2

Berikut adalah link aksi nyata modul 1.2 program guru penggerak angkatan 9 Link aksi nyata modul 2.1