BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan adalah proses kehidupan yang
masalahnya sangat kompleks dan tetap ada sepanjang manusia membentuk
peradabannya di muka bumi ini. Namun dalam prosesnya pendidikan tetap
memerlukan pembenahan sesuai masalah yang dihadapi pada zamannya. Dari beberapa
masalah yang ada dalam persoalan pendidikan nasional yang dapat dipelajari
dalam sebuah konsep pemikiran atau setidaknya menjadi acuan dalam mengatasi
berbagai anomali dalam bidang pendidikan, yang diantaranya penguatan tata
kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Menyoal tentang Stakeholder, tidak
terlepas dari pembahasan tentang manajemen pendidikan yang merupakan
serangkaian proses penggunaan sumberdaya secara efektif untuk mencapai tujuan
tertentu. Manajemen pendidikan adalah manajemen yang diterapkan dalam
pengembangan pendidikan. Dalam arti ini manajemen pendidikan merupakan seni dan
ilmu mengelola sumber daya pendidikan secara efektif dan efisien. Manajemen
pendidikan lebih bersifat umum untuk semua aktifitas pendidikan pada umumnya.
Penguatan
tata kelola pendidikan tidak saja bergantung pada kemampuan pemerintah saja
tetapi juga sangat bergantung pada kemauan dari semua lapisan masyarakat
sebagai Stakeholder dalam Sistem
Pendidikan Nasional, oleh sebab itu dalam pengelolaan pendidikan sebagai
sebagai suatu sistem sangat berkait dengan proses dan dinamika manusia dan
lingkungannya (filsafatnya), dan cita-cita pendidikan harus kita lihat secara
komprehensif sebagai suatu sistem pendidikan nasional yaitu adanya
interdepedensi komponen Stakeholder pendidikan. Dalam tulisan ini kami mencoba
untuk mengungkap bagaimana pemaknaan yang komprehensip tentang Stakeholder,
bagaimana cara mengelola, bagiamana pemetaan Stakeholder itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis
merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian Manajemen ?
2. Manajemen dalam Pengembangan
Kurikulum IPS?
3. Apa pengertian stakeholder ?
4. Bagaimana
pemetaan stakeholder?
5. Bagaimana
peran stakeholder dalam pendidikan?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan
dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Manajemen
Pengembangan Kurikulum
2. Untuk mengetahui pengertian stakeholder.
3. Untuk
mengetahui pemetaan stakeholder.
4. Untuk
mengetahui peran stakeholder dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Manajemen dan Stakeholder
Kata Manajemen tentu tidak asing di telinga kita.
Beberapa membayangkan bahwa manajemen adalah pekerjaan kantoran di sebuah
perusahaan. Namun, nyatanya
manajemen lebih dari itu Manajemen memiliki arti lebih luas. Saking luasnya: ada disemua bidang.,ada disetiap
waktu. Dan tanpa sadar, anda telah mempraktekkannya setiap hari. Menurut asal
katanya, Management berasal dari kata latin yaitu “manus” yang artinya “to
control by hand” atau “gain result”.
Kata manajemen mungkin juga berasal dari bahasa Italia maneggiare yang berarti
“mengendalikan,” Kata ini mendapat pengaruh dari bahasa Perancis manège yang
berarti “kepemilikan kuda” (yang berasal dari Bahasa Inggris yang berarti seni
mengendalikan kuda), dimana istilah Inggris ini juga berasal dari bahasa
Italia. Bahasa Prancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi
ménagement, yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur.
Berikut Pengertian Manajemen Menurut Para Ahli :
1.
Manajemen merupakan proses dan fasilitasi
untuk melakukan berbagai kegiatan
organisasi secara benar, tepat, efisien dan efektif oleh semua
personelnya dengan menggunakan sumber daya yang tersedia, untuk mencapai visi,
misi dan tujuan organisasi. (Sudjarwo S, 2010).
2.
Ilmu dan seni mengkoordinasikan serta mengawasi tenaga manusia dengan
bantuan alat-alat untuk mencapai tujuan yg telah ditetapkan (Prof. Oie liang
Lee)
3.
Proses perencanaan pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian upaya
dari anggota organisasi serta penggunaan sumber daya yg ada untuk mencapai
tujuan organisasi yg telah ditetapkan sebelumnya ( James A. F. Stoner, 2006).
4.
Menurut Mary Parker Follet Manajemen Adalah sebagai seni menyelesaikan
pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer
bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organis 5. Menurut Ricky W. Griffin Manajemen Adalah sebagai sebuah proses
perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya
untuk mencapai sasaran secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan
dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas
yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal
5.
Menurut Prof. Eiji Ogawa Manajemen adalah Perencanaan, Pengimplementasian
dan Pengendalian kegiatan-kegiatan termasuk system pembuatan barang yang
dilakukan oleh organisasi usaha dengan terlebih dahulu telah menetapkan
sasaran-sasaran untuk kerja yang dapat disempurnakan sesuai dengan kondisi
lingkungan yang berubah.
Dari beberapa definisi
menurut asal kata dan definisi dari pendapat ahli, maka dapat ditarik
kesimpulan mengenai apa yang dimaksud dengan manajemen. Manajemen adalah Proses
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan dalam mengelola
sumber daya yang berupa man, money, materials, method, machines, market, minute
dan information untuk mencapai tujuan yang efektif dan efisien. Manajemen dapat
didefinisikan sebagai “proses perencanaan, pengorganisasian, pengisian staf,
pemimpinan, dan pengontrolan untuk optimasi penggunaan sumber-sumber dan
pelaksanaan tugas-tugas dalam mencapai tujuan organisasi secara efektif dan
efisien”. Manajemen adalah Suatu Proses dalam rangka mencapai tujuan dengan
bekerja bersama melalui orang-orang dan sumber daya organisasi lainnya.
Istilah stakeholders sudah sangat populer. Kata
ini telah dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagi ilmu atau
konteks, misalnya manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya
alam, sosiologi, dan lain-lain. Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara
luas istilah stakeholder ini ke dalam proses-proses pengambilan dan
implementasi keputusan. Secara sederhana, stakeholder sering dinyatakan sebagai
para pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan suatu issu atau
suatu rencana. Perkataan Stakeholder pada awalnya digunakan dalam dunia usaha,
istilah ini berasal dari bahasa inggris yang terdiri dari dua kata yaitu stake
dan holder. Stake berarti to give support / pancang, holder berarti pemegang. Jadi Stakeholder adalah siapapun yang memiliki kepentingan
dari sebuah usaha. Stakeholder dapat
berfungsi sebagai “tokoh kunci” atau “key person” dan merupakan orang yang
menjadi panutan bagi masyarakat sekitarnya, misalnya Kepala Desa/Lurah, Ketua
RT, Ketua Adat, Ustadz/Kyai. Kelembagaan yang dianjurkan dibentuk untuk
meningkatkan peran serta masyarakat dalam memajukan pendidikan, menurut UU No
20 Tahun 2003, pasal 56 adalah berupa Dewan Pendidikan, dan komite sekolah.
Ketua dan anggota kedua lembaga tersebut dapat digolongkan sebagai Stakeholder.
Secara spesifik, pada pasal 56 UU No 20 Tahun 2003 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan
bahwa di dalam masyarakat ada dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah,
yang berperan sebagai berikut :
1.
Masyarakat berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang
meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan
pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
2.
Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan
dan dukungan tenaga, sarana, dan prasarana serta pengawasan pendidikan
ditingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan
hirarkis.
3.
Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan
dalam peningkatan mutu pelayanan dan memberikan pertimbangan, arahan dan
dukungan tenaga, sarana prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan.
Beberapa para ahli mendefinisikan Stakeholder
berbagai macam sudut pandang. Freeman misalnya yang mendefinisikan
Stakeholder sebagai kelompok atau
individu yang dapat mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian
tujuan tertentu. Sedangkan Biset secara singkat mendefinisikan stekeholder
merupakan orang dengan suatu kepentingan atau perhatian pada permasalahan.
Stakeholder ini sering diidentifikasi
dengan suatu dasar tertentu sebagimana dikemukakan Freeman, yaitu dari segi
kekuatan dan kepentingan relatif Stakeholder
terhadap isu, Grimble and Wellard, dari segi posisi penting dan pengaruh
yang dimiliki mereka. Stakeholder adalah
kelembagaan yang dianjurkan dibentuk untuk meningkatkan peran serta masyarakat
dalam memajukan pendidikan, dan komite sekolah.
Pengertian Stakeholder Menurut Para Ahli
Untuk dapat lebih memahami mengenai apa itu Stakeholder, maka kita dapat
atau bisa merujuk pada beberapa pendapat para ahli diantaranya sebagai berikut
:
1.
Menurut Freeman
Menyatakan bahwa Pengertian Stakeholders ini
merupakan suatu kelompok masyarakat atau juga individu yang saling mempengaruhi
dan/atau juga dipengaruhi oleh pencapaian tujuan tertentu dari sebuah
organisasi.
2.
Menurut Biset
Pengertian stakeholder ini merupakan orang/
individu atau juga kelompok masyarakat yang mempunyai suatu kepentingan atau
perhatian pada permasalahan tertentu.
3.
Menurut Wibisono
Pengertian stakeholder ini merupakan seseorang
atau juga kelompok yang punya kepentingan itu secara langsung/ tidak langsung
yang bisa mempengaruhi atau juga dipengaruhi atas aktivitas serta eksistensi
perusahaan.
4.
Menurut ISO 26000 SR
Pengertian stakeholder ini merupakan individu
atau kelompok yang memiliki atau mempunyai kepentingan terhadap keputusan dan
juga aktivitas organisasi.
5.
Menurut AA1000 SES
Definisi stakeholder ini merupakan suatu kelompok
yang dapat mempengaruhi dan atau juga terpengaruh oleh aktivitas atau kegiatan,
produk atau layanan, dan juga kinerja suatu organisasi.
Definisi
lain dari Stakeholder adalah pemegang
atau pemangku kepentingan. orang atau kelompok tertentu yang mempunyai
kepentingan apa pun terhadap sebuah obyek disebut Stakeholder . Jadi
Stakeholder pendidikan dapat diartikan
sebagai orang yang menjadi pemegang dan sekaligus pemberi support terhadap
pendidikan atau lembaga pendidikan. Dengan Perkataan lain Stakeholder adalah orang-orang atau badan yang
berkepentingan langsung atau tidak langsung terhadap kegiatan pendidikan di
sekolah.
B.
MANAJEMEN PENGEMBANGAN
KURIKULUM
Latar Belakang
Pengembangan kurikulum merupakan proses dinamik yang dapat merespon terhadap
tuntutan perubahan struktural pemerintahan, perkembangan ilmu dan teknologi
maupun globalisasi. Manajemen pengembangan kurikulum pada dasarnya terkait
dengan studi administrasi pendidikan dimana fungsi supervisi telah tercakup
didalamnya. Perencanaan, pengorganisasian, pengawasan dalam pengembangan
kurikulum dan manajemen pelaksanaan kurikulum terkait erat dengan
keterlaksanaannya yang perlu mendapat sorotan lebih tajam, dalam artian
administratif.
Konsep manajemen pengembangan kurikulum mencakup prinsip-prinsip
1. Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestika.
2. Kesamaan memperoleh kesempatan
3. Memperkuat identitas diri
4. Menghadapi abad pengetahuan
5. Menyongsong tantangan teknologi informasi dan
komunikasi
6. Mengembangkan ketrampilan hidup
7. Mengintegrasikan unsur-unsur penting ke dalam kurikulum
8. Pendidikan alternatif
9. Berpusat pada peserta didik
10. Pendidikan multikultur
11. Penilaian berkelanjutan, dan
12. Pendidikan sepanjang hayat.
Masalah dan hambatan dalam pengembangan kurikulum pada umumnya
berorientasi pada target group sebagai calon peserta didik, namun kurangnya
kesempatan dan keterlibatan narasumber/fasilitator dalam perancangan
pengembangan kurikulum masih sangat minim, sehingga pemahaman narasumber
terhadap kurikulum masih jauh dari sempurna. Ditambah lagi pelaksanaan evaluasi
yang hanya bersifat formalitas serta belum adanya lembaga yang berperan sebagai
media akuntabilitas pendidikan dan pelatihan. Pada tahap penyelenggaraan dalam
pelaksanaan Kurikulum, sering ditemukan srategi pembelajaran yang tidak relevan
dengan tujuan sehingga capaian tujuan tidak terlaksana secara optimal dan hanya
terbatas pada asosiasi pengetahuan terhadap materi, bukan pada tahapan
implementasi maupun praktek yang berupa keterampilan mengatasi permasalahan
secara aktual. Seyogyanya dalam dunia pendidikan dan pelatihan perlu kegiatan
aktif bagi peserta untuk memiliki keterampilan dalam keseharian mereka di
lapangan. Narasumber maupun personel di lapangan juga sulit untuk mengubah pola
pikir lama ke hal yang baru, terkait dalam tahapan pelaksanaan diklat yang
berkualitas, ditambah lagi tidak semua narasumber menerima kurikulum baru.
Monitoring dan evaluasi yang dilakukan dalam implementasi kurikulum hanya
sebatas mengamati, dikarenakan pemahaman konsep evaluasi yang masih kurang dan
jauh dari baik. Evaluasi yang dilaksanakan tidak mendukung tujuan ditambah lagi
dengan belum tersedianya standar evaluasi yang belum ditetapkan secara jelas.
Kurangnya
pengetahuan evaluasi kurikulum menjadikan pelaksanaan monitoring yang cenderung
bersifat satu arah dan evaluasi dilakukan secara top down, seragam serta tidak
memperhatikan potensi yang berbeda. Manajemen kurikulum secara keseluruhan
adalah manajemen pengembangan kurikulum, dipandang sebagai suatu tindak
profesional artinya dalam usaha pengembangan kurikulum diperlukan suatu
keahlian manajerial dalam arti kemampuan untuk
1. merencanakan,
2. mengorganisasikan,
3. mengelola, dan
4. mengontrol.
Kemampuan 1 dan 2 disebut “curricullum planning“.
Kemampuan 3 dan 4 disebut “curricullum implementation“.
C.
Pemetaan Stakeholder
Jika dalam definisi yang telah disebutkan di atas
bahwa Stakeholder merupakan pendidikan
atau lembaga yang menjadi pemegang sekaligus pemberi suport terhadap pendidikan
atau lembaga pendidikan, maka perlu adanya pemetaan Stakeholder . Mengapa
pemetaan Stakeholder menjadi penting? Dalam
manajemen sebuah pendidikan atau lembaga pendidikan Stakeholder adalah sebuah indikator untuk menentukan mutu
dan atau layanan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan memiliki berbagai macam
Stakeholder, maka dalam pemetaan atau pembagiannya akan dikenal
Stakeholder primer, sekunder, dan tersier.
1. Stakeholder
Utama (Primer)
Stakeholder
utama merupakan Stakeholder yang memiliki keterlibatan secara langsung
dengan suatu kebijakan pendidikan. Mereka harus ditempatkan sebagai penentu
utama dalam proses pengambilan keputusan.
Di Indonesia yang menjadi penentu arah kebijakan pendidikan adalah
pemerintah. Sehingga yang menjadi stakeholder utama dalam pendidikan di
Indonesia adalah pemerintah yang memiliki peran pembuat kebijakan yaitu pelayan
mediator antara aktor-aktor pendidikan lainnya, baik di tingkat daerah hingga
pusat. Yang mana, setiap kebijakan yang mereka putuskan diharapkan dapat
diterima dan dilaksanakan dengan baik oleh stakeholder pendidikan lain serta
mendukung kinerja antar stakeholder. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat
termasuk pemantauan sistem pendidikan sekolah, privatisasi sekolah, pendidikan
dan sertifikasi guru, persyaratan kelulusan, dan isi dari kurikulum pendidikan.
Pembuat kebijakan harus memikirkan bagaimana kebijakan-kebijakan pendidikan
yang diputuskan tersebut dapat membawa
perubahan pada sistem pendidikan ke arah lebih baik. Pembuat kebijakan juga bertanggung jawab terhadap
investasi infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan. Secara garis besar,
hal tersesbut berguna agar tidak terjadi kesenjangan pendidikan. Terlebih,
pendidikan dengan pertumbuhan teknologi canggih semakin berkembang pesat, zaman
dimana semua berjalan dengan cepat. Karena zaman globalisasi, banyak hal
dipermudah dengan penggunaan teknologi. Jika pembuat kebijakan tidak menegakkan
keadilan infrastruktur pendidikan, kesenjangan pendidikan akan terlihat. Oleh
karena itu sistem pendidikan memerlukan pengambil kebijakan yang berkomitmen
tinggi untuk menghadapi tantangan pendidikan yang ada serta memanfaatkan
berbagai peluang dengan baik.
2. Stakeholder
Pendukung (Sekunder)
Stakeholder pendukung (sekunder) adalah
Stakeholder yang memiliki keterkaitan langsung dalam pendidikan dan menjadi
pelaku dalam mengimplementasikan kebijakan dari stakeholder primer. Yang
dimaksud dalam pembagian stakeholder ini adalah kepala sekolah, pendidik dan
tenaga kependidikan, jika dalam lembaga pendidikan swasta maka ada yayasan dan
yang terakhir adalah komite sekolah.
Di sekolah
terdapat berbagai pihak diantaranya kepala sekolah, pendidik, dan peserta
didik. Kepala sekolah bertanggung jawab pada perkembangan prestasi peserta
didiknya, suasana lingkungan kerja guru, dan karakter keseluruhan sekolah.
Kepala sekolah yang baik memiliki keunggulan dalam pribadi kepimimpan, kualitas
mengatur, merumuskan strategi dan visi untuk menghadapi tantangan dan
perkembangan baru serta dinamika keadaan dari sekolahnya.
Kepala sekolah
juga memegang peranan penting lain yaitu penghubung antara guru, orang tua, dan
para stakeholder lainnya. Dalam hal ini, kepala sekolah memainkan peran kunci
sebagai mediator pengetahuan pada dua dimensi stakeholder vertikal dan
horizontal.
Apa peran guru
yang sesungguhnya dalam pendidikan? Kita perlu mendefinisi ulang peran guru
sebagai profesional pendidikan. Peserta didik di masa globalisasi semakin membuat
mereka beragam dengan kehadiran teknologi sebagai tempat-tempat belajar
informal mereka mereka Guru sebagai elemen kunci utama pendidikan semakin
dituntut untuk beradaptasi dan bertanggung jawab atas hal-hal yang dialami
peserta didik. Karena setiap fenomena yang terjadi pada anak baik di luar
maupun didalam area sekola, guru selalu tetap menjadi sorotan.
Implementasi kebijakan pendidikan, berdampak pada
pikiran dan tindakan orang tua dan peserta didik. Peran guru kemudian berubah
menjadi pemberi informasi pertama kepada orang tua didik. Guru sebagai
profesional ditantang terlibat dalam proses pembentukan karakter peserta
didik,tidak hanya sekedar menyampaikan ilmu pengetahuan (transfer knowladge)
namun juga memberikan nilai-nilai pengajaran yang terkandung dalam materi yang
di sampaikan (transfer value).
3. Stakeholder
Pelengkap/Pengguna (Tersier)
Stakeholder tersier merupakan
Stakeholder yang tidak memiliki pengaruh dalam kebijakan pendidikan dan
pelaksanaan atau implementasi kebijakan pendidikan, namun memiliki hak untuk
menentukan penilaian terhadap kebijakan pendidikan dan memiliki hak untuk menggunakan
lulusan lembaga pendidikan. Artinya stakeholder ini adalah masyarakat penyedia
lapangan pekerjaan atau masyarakat peminat lembaga pendidikan.
Berbeda
dengan stakeholder sekolah dan pemerintah yang terlibat langsung dalam sistem
pendidikan, masyarakat termasuk dalam bagian diluar lingkaran sistem pendidikan
tetapi berkaitan secara tidak langsung pada aktor pendidikan didalamnya.
Perbedaan ini penting untuk diketahui bahwa masyarakat, stakeholder eksternal
pendidikan, tidak mempunyai kapasitas yang lebih besar dari sekolah dan
pemerintah dalam menghasilkan perubahan pendidikan. Dan ketika efek jangka
panjang perubahan yang dilakukan stakeholder sekolah dan pemerintah dianggap
penting. Apakah kemudian hanya sekedar sekolah dan pemerintah yang bertanggung
jawab atas perubahan pendidikan. Maka dari itu, masyarakat perlu hadir dalam
sistem pendidikan. Mereka dapat menjadi pengawas, bahkan terlibat langsung.
Sekolah dan Pemerintah – tanpa masyarakat tidak memiliki cukup daya untuk
mempertahankan perubahan yang dilakukan.
Masyarakat
yang dimaksud terdiri dari berbagai macam, diantaranya adalah orang tua murid,
lembaga swadaya masyarakat (LSM), toko buku, ataupun perusahaan yang
membutuhkan tenaga terididik, dan lain lain. Orang tua – keluarga adalah tempat
pendidikan dasar karakter terbentuk. LSM dapat menjadi tempat pendidikan
sekunder dan pengawas jalannya sistem pendidikan. Toko buku sebagai penyedia
bahan ajaran. Bahkan perusahaan juga mendukung keberlanjutan pendidikan dengan
memberi persyaratan pada calon tenaga pendidiknya untuk memiliki pendidikan
dibidang tertentu. Pada contoh praktek konkrit tersebut, jelas terlihat
bagaimana peran masyarakat yang sebenarnya. Masyarakat hadir dalam sistem
pendidikan sebagai wadah atau lingkungan pelengkap pendidikan. Dari sana,
pendidikan sekunder juga dapat terbentuk, atau bahkan sebagai penegak
keberlanjutan pendidikan.
Ketiga
stakeholder pendidikan harus bersinergi dan mendukung satu sama lain. Dapat
disimpulkan, keberhasilan pendidikan tidak akan terjadi tanpa keterlibatan
ketiga stakeholder pendidikan: sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Setelah
melakkan pemetaan terhadap stakeholder, maka akan ditemukan komponen-komponen
penyusun sehingga stakeholder menjadi satu kesatuan utuh yang saling
bersinergi. Sinergi antara komponen-komponen stakeholder tersebut dalam dapat
digambarkan pada bagan berikut:
Bagan Stakeholder Sekolah/Madrasah
D.
Komponen Stakeholder
Dalam Pendidikan
1. Masyarakat lokal (ada anggapan pendidikan hanya
tanggung jawab pemerintah, sehingga desentralisasi pendidikan belum dimaknai
oleh masyarakat sebagai pengembangan kemajuan pendidikan). UU No 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah telah mengilhami otonomi pendidikan di daerah.
Namun dalam tahun 2006 muncul apa yang kita kenal Ujian Nasional, padahal
konsep tersebut cenderung konsep penyeragaman budaya yang berbeda. Bukankah
pendidikan yang demokratis adalah pendidikan yang memberikan kebebasan bagi
daerah untuk menyesuaikan dengan perkembangan daerahnya serta apakah
pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang di daerah dapat
disamaratakan kualitasnya. Fungsi pendidikan kekinian adalah transisi iptek dan
masyarakat masa depan yang menghargai kebhinekaan dan keragaman pendapat.
2. Orang tua (selalu beranggapan sekolah saja tempat
pendidikan, sehingga kurang serius memperhatikan kemajuan anak baik secara
behavior maupun psikologis). Peserta didik lebih cenderung terbentuk dari
karakter proses kehidupan dalam keluarga, sekolah lebih cenderung memberikan
pengetahuan saja. Namun sangat disayangkan bahwa kondisi orangtua dalam
masyarakat Indonesia masih hidup terbelakang baik secara ekonomi maupun
kesehatan (kurang gizi), serta kerja yang serabutan, sehingga dapat kita
bayangkan bagaimana generasi yang dihasilkannya dalam rangka peningkatan
pendidikan non-formal anak disamping pendidikan di sekolah.
3. Peserta didik (belum sepenuhnya peserta didik
dari berbagai tingkatan yang tertampung, sehingga berdampak pada jumlah anak
putus sekolah karena biaya tinggi dan juga kurang didukung oleh faktor
pendekatan pisik (gizi) dan pendekatan psikis.
4. Negara (dari segi material bahwa negara belum
menempatkan pos khusus untuk pendidikan, dan kesannya dana pendidikan
disediakan secara tambal sulam, jelas kita akan mengetahui apa hasil pendidikan
dengan dana terbatas. Siap atau tidak siap, pendidikan di daerah memerlukan
perhatian serius terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pemanfaatan
sumberdaya manusia di daerah. Selanjutnya dana pendidikan 20% yang dianggarkan
dalam APBN/APBD masih sebatas wacana, kalaupun ada biaya murah atau gratis
biaya pendidikan di daerah-daerah tertentu, kesannya dipaksakan untuk populis
saja bahkan untuk menarik simpati partai politik pendukung saja bukan sebagai
bentuk perencanaan pendidikan yang matang.
5. Pengelola profesi pendidikan (cenderung
menyelenggarakan pendidikan bukan motif mencerdaskan tetapi profit oriented
atau bisnis sehingga pendidikan terkesan mahal, sementara pendidikan formal
yang disediakan negara sangat terbatas menampung peserta didik). Dikawatirkan
olehNeils Postman seorang pemikir pendidikan dunia, akan terjadi apa yang
dinamakan teacher as as subversive activity. Untuk itu sekolah harus bisa
menjadi alat kontrol cita-cita kemajuan bangsa sesuai filsafat pendidikan dan
arah kebijakan pembangunan nasional yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 45.
Selain itu ada yang membagi Stakeholder dalam
Bidang Pendidikan 3 kategori utama, yaitu :
1.
Sekolah, termasuk di dalamnya adalah para guru, kepala sekolah, murid dan
tata usaha sekolah.
2.
Pemerintah, diwakili oleh para pengawas, penilik, dinas pendidikan,
walikota, sampai menteri pendidikan nasional.
3.
Masyarakat, sedangkan masyarakat yang berkepentingan dengan pendidikan
adalah orangtua murid, pengamat dan ahli pendidikan, lembaga swadaya
masyarakat, perusahaan atau badan yang membutuhkan tenaga terdidik (DUDI), toko
buku, kontraktor pembangunan sekolah, penerbit buku, penyedia alat pendidikan,
dan lain-lain.
E.
Penetapan Stakeholder Sekolah/Madrasah
Penetapan stakeholder potensial dari lembaga
pendidikan merupakan proses yang sangat penting dalam manajemen lembaga.
Kesalahan dalam menentukan stakeholder potensial tersebut akan berdampak pada
kesalahan dalam proses manajemen selanjutnya yang pada akhirnya akan menimbulkan
tidak terserapnya produk dan layanan lembaga pendidikan di masyarakat.
Sebagaimana terlihat dari hasil pemetaan
stakeholder di atas, kegiatan yang dihasilkan dari pemetaan tersebut
menghasilkan berbagai harapan dari berbagai kelompok stakeholder. Masing-masing
harapan dari kelompok stakeholder tersebut dimungkinkan memiliki perbedaan yang
kontras antara satu kelompok stakeholder dengan kelompok stakeholder yang lain.
Oleh karenanya tidak mungkin semua harapan dan kebutuhan kelompok stakeholder
tersebut dipenuhi oleh lembaga pendidikan. Itulah sebabnya lembaga pendidikan
harus memilih kelompok stakeholder yang akan dipenuhi harapan dan kebutuhannya.
Proses memilih kelompok stakeholder yang akan
menjadi sasaran untuk dilakukan pemenuhan kebutuhan dan harapan tersebut itulah
yang disebut dengan proses menetapkan stakeholder potensial. Dalam proses
pemilihan ini tentu saja sekolah/madrasah harus juga menyesuaikan dengan
kondisi internal lembaga saat ini dan yang akan datang, sehingga apa yang
diinginkan dan diharapkan oleh stakeholder tersebut akan dapat dipenuhi oleh
lembaga. Itulah sebabnya sebelum dilakukan analisis, lembaga pendidikan harus
mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan sumber daya yang ada di lembaga
tersebut.
Hasil pemetaan sumber daya tersebut kemudian
digunakan untuk melakukan analisis dalam menentukan stakeholder utama dari
lembaga pendidikan. Proses analisis tersebut dilakukan dengan membandingkan
antara sumber daya yang ada di lembaga pendidikan dan proyeksinya empat tahun
ke depan dan kebutuhan dan harapan stakeholder. Dalam menentukan stakeholder
potensial lembaga pendidikan digunakan perbandingan antara kemampuan pemenuhan
sumber daya di lembaga pendidikan sampai dengan empat tahun ke depan dengan
tingkat kecukupan dalam pemenuhan kebutuhan dan harapan stakeholder. Semakin
tinggi tingkat kesesuaian tersebut, maka akan semakin potensial pula
stakeholder tersebut bagi lembaga pendidikan.
Selain menggunakan analisis, proses penentuan
stakeholder potensial juga harus memperhitungkan latar belakang dan hal-hal
yang menjadi dasar dalam pendirian lembaga pendidikan tersebut. Hal-hal yang
berkaitan dengan latar belakang dan dasar pendirian lembaga tersebut tidak
dapat dianalisis dengan menggunakan logika, namun biasanya diketahui secara jelas
oleh pendiri atau pimpinan lembaga.
Dengan mendasarkan pada stakeholder potensial
lembaga dan berbagai landasan filosofis lembaga inilah kemudian kegiatan utama
lembaga pendidikan dapat ditentukan. Walaupun secara garis besar kegiatan utama
sekolah/madrasah adalah pendidikan dan pengajaran, namun dalam proses
pelaksanaannya terdapat berbagai variasi yang merupakan perwujudan dari
keinginan dan harapan dari stakeholder potensial.
Berbagai bentuk pembelajaran dalam mata pelajaran
muatan lokal atau berbagai jenis pelayanan dalam proses pendidikan dan
pengajaran serta penunjangnya meupakan beberapa contoh yang dapat dilihat jika
hendak mengidentifikasi stakeholder potensial lembaga pendidikan.
Sekolah/madrasah yang memiliki stakeholder potensial dari tingkat ekonomi
menengah ke atas misalnya akan melaksanakan proses pembelajaran dengan
menggunakan berbagai bantuan teknologi, setiap kelas dibimbing oleh beberapa
guru, kegiatan pembelajaran kontekstual dapat dilaksanakan dengan baik,
pembimbingan anak dengan menggunakan teori belajar konstruktivis dapat
dilaksanakan, dan berbagai bentuk layanan pendidikan lainnya dapat dengan mudah
untuk dilaksanakan. Sedangkan madrasah yang terletak di daerah dengan banyak
pondok pesantren dengan stakeholder utamanya berasal dari santri pondok
pesantren akan melaksanakan berbagai kegiatan pembelajaran yang sangat terkait
dengan berbagai pelajaran yang ada di pondok pesantren tersebut dan
kegiatan-kegiatan yang sangat terkait dengan pondok pesantren.
F.
Mengelola Stakeholder
Sekolah/Madrasah
Satuan pendidikan (sekolah) yang tumbuh dan
berkembang dalam suatu masyarakat akan selalu menghadapi tekanan, baik yang
berasal dari luar institusi sekolah maupun dari dalam. Namun demikian,
unsur-unsur tersebut tidak selalu menekan sekolah, adakalanya unsur-unsur
tersebut malah memberikan peluang yang justru akan meningkatkan mutu sekolah.
Tugas sekolah membina hubungan yang baik dengan pihak-pihak tersebut melalui
suatu proses komunikasi. Pihak-pihak tersebut adalah khalayak sasaran kegiatan
sekolah yang disebut stakeholder yaitu setiap kelompok yang berada di dalam
maupun diluar institusi sekolah yang mempunyai peran menentukan peningkatan
mutu sekolah. Stakeholder terdiri atas berbagai kelompok penekan (pressure
group) yang mesti dipertimbangkan oleh sekolah. Dalam kerangka yang lebih luas,
kepuasan kelompok-kelompok dalam stakeholder dapat dipakai sebagai indikator
keberhasilan sekolah.
Secara umum stakeholder sekolah dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian yakni stakeholder internal dan eksternal.
Stakeholder internal relatif mudah untuk dikendalikan dan pekerjaan untuk
komunikasi interen bisa diserahkan pada bagian lain seperti wakil kepala
sekolah atau dirangkap langsung oleh kepala sekolah. Ketika iklim demokrasi dan
pemberdayaan tumbuh dengan baik di Indonesia, muncullah persaingan antar
sekolah sejenis tidak hanya mengangkat calon-calon peserta didik terbaik atau
mempertahankannya, tetapi juga mencari dan mempertahankan manajer sekolah,
guru, dan tenaga kependidikan serta karyawannya yang sudah teruji mampu
mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas sekolah.
Sedangkan stakeholder eksternal adalah
unsur-unsur yang berada di luar kendali sekolah (uncontrollable). Peserta didik
dan orang tua peserta didik sebagai konsumen sekolah adalah raja yang mempunyai
hak untuk memilih layanan belajarnya sendiri. Peserta didik dan orang tua
peserta didik banyak diperebutkan oleh sekolah, sedikit sekali sekolah yang
bisa membujuk pemerintah untuk menerbitkan peraturan yang menguntungkan sekolah.
Para pimpinan sekolah umumnya dibekali dengan
teknik untuk mendesain organisasinya sesuai dengan keadaan lingkungan
eksternalnya. Unsur dalam lingkungan eksternal itu dapat dilihat dari (1)
kompleksitas lingkungannya, yaitu diukur dari banyaknya pihak luar institusi
sekolah yang perlu mendapat perhatian sekolah karena pengaruhnya. Semakin
banyak aktor yang perlu diperhatikan, maka semakin kompleks hal-hal yang
dihadapi, tetapi jika semakin sedikit aktor yang perlu diperhatikan, maka
urusannya semakin sederhana; (2) stabilitas lingkungan, yaitu diukur dari
perubahan, bila terlalu sering terjadi perubahan peraturan pemerintah dan
kebijakan pemerintah terhadap sekolah, perubahan selera konsumen, perubahan
peran aktor dalam lingkungan lainnya, maka lingkungan dikatakan tidak stabil
(labil), keadaan sebaliknya disebut stabil.
G.
Peran Stakeholder
Pendidikan
Dalam setiap komponen pendidikan memiliki peran
yang berbeda untuk melaksanakan proses pendidikan mulai dari penentuan
kebijakan pendidikan, implementasi kebijakan dan pengguan lulusan.
1. Orang tua
Peranan orang tua antara lain:
a.
Mendukung pelaksanaan belajar mengajar di sekolah.
b.
Berpartisipasi aktif dalam mensosialisasikan kegiatan sekolah di berbagai
komunitas.
c.
Bersedia menjadi narasumber sesuai keahlian dan profesi yang dimiliki.
d.
Menginformasikan nilai-nilai positif dari pelaksanaan kegiatan di sekolah
kepada masyarakat secara luas.
e.
Bekerjasama dengan anggota komite sekolah atau atau pihak lain dalam
pengadaan sumber belajar.
f.
Aktif bekerja sama dengan guru dalam proses pembelajaran untuk anak yang
berkebutuhan khusus.
g.
Aktif dalam memberikan ide/gagasan dalam rangka peningkatan kualitas
pembelajaran.
2. Guru
Peranan guru antara lain:
a.
Berkomunikasi secara berkala dengan keluarga, yaitu: orang tua atau wali
tentang kemajuan anak mereka dalam belajar dan berprestasi.
b.
Bekerjasama dengan masyarakat untuk menjaring anak yang tidak bersekolah,
mengajak dan memasukkannya ke sekolah.
c.
Menjelaskan manfaat dan tujuan sekolah kepada orang tua peserta didik.
d.
Mempersiapkan anak agar berani berinteraksi dengan masyarakat sebagai
bagian dari kurikulum, seperti mengujungi museum, memperingati hari-haribesar
keagamaan dan Nasional.
e.
Mengajak orang tua dan anggota masyarakat terlibat di kelas.
3. Komite sekolah
Komite Sekolah merupakan nama baru pengganti
Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Komite Sekolah adalah badan
mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu,
pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik
pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikandi
luar sekolah (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).
Secara kontekstual, peran Komite Sekolah sebagai:
a.
Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanan
kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
b.
Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran,
maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
c.
Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
d.
Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan
pendidikan (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).
Depdiknas
dalam bukunya Partisipasi Masyarakat, menguraikan tujuh peranan Komite Sekolah
terhadap penyelenggaraan sekolah, yakni:
a.
Membantu meningkatkan kelancaran penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar di sekolah baik sarana, prasarana maupun teknis pendidikan.
b.
Melakukan pembinaan sikap dan perilaku siswa. Membantu usaha pemantapan
sekolah dalam mewujudkan pembinaan dan pengembangan ketakwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, pendidikan demokrasi sejak dini (kehidupan berbangsa dan
bernegara, pendidikan pendahuluan bela negara, kewarganegaraan, berorganisasi,
dan kepemimpinan), keterampilan dan kewirausahaan, kesegaran jasmani dan
berolah raga, daya kreasi dan cipta, serta apresiasi seni dan budaya.
c.
Mencari sumber pendanaan untuk membantu siswa yang tidak mampu.
d.
Melakukan penilaian sekolah untuk pengembangan pelaksanaan kurikulum,
baik intra maupun ekstrakurikuler dan pelaksanaan manajemen sekolah,
kepala/wakil kepala sekolah, guru, siswa, dan karyawan.
e.
Memberikan penghargaan atas keberhasilan manajemen sekolah.
f.
Melakukan pembahasan tentang usulan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Sekolah (RAPBS).
g.
Meminta sekolah agar mengadakan pertemuan untuk kepentingan tertentu
(Depdiknas, 2001:17).
4. Kepala sekolah
Peranan kepala sekolah antara lain:
a.
Mengatur hubungan sekolah dengan orang tua siswa.
b.
Memelihara hubungan baik dengan BP3.
c.
Memelihara dan mengembangkan hubungan sekolah dengan lembaga-lembaga
lain, baik pemerintah maupun swasta.
d.
Memberi pengertian kepada masyarakat tentang fungsi sekolah melalui
bermacam-macam media komunikasi.
e.
Mencari dukungan dari masyarakat. Dukungan yang diperlukan meliputi (1)
Personil, seperti : tenaga ahli, konsultan, guru, orang tua, pengawas dan
sebagainya, (2) Dana yang diperlukan untuk mendukung tersedianya fasilitas,
perlengkapan dan bahan-bahan pengajaran yang lain. (3) Dukungan berupa
informasi, lembaga dan sikap politis.
f.
Memanfaatkan sumber-sumber daya yang diperoleh secara tepat, sehingga
mampu meningkatkan proses mengajar dan belajar.
5. Peran Pemerintah
Peran negara dalam dunia pendidikan dilaksanakan
oleh pemerintah didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD). Dalam UUD 1945
hasil amandemen Pasal 31 ayat 1-4 disebutkan bahwa:
a.
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
b.
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
c.
Pemerintah wajib menguasahakan dan menyelanggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
d.
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja
negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Isi dari pasal ini adalah pengembangan dari UUD
1945 awal yang hanya terdiri dari dua pasal. Hasil amandemen mengamanatkan
untuk pemerintah agar menyelenggarakan pendidikan yang berkarakter (akhlak
mulia) lengkap dengan pembiayaannya, yaitu 20 APBN dan 20 APBD (I dan II).
Nampaknya, pasal tentang pendidikan ini muncul terkait dengan kejadian pada
masa penjajahan yang mengalami diskriminasi dalam pendidkan. Anak-anak pribumi
saat itu sangat sulit mengakses pendidikan sebagaimana kaum priyayi dan warga
Belanda. Kemudian direspon dengan bunyi pasal tentang hak warga negara yang
tanpa diskriminasi. Pemerintah juga mengucurkan bantuan Operasional Sekolah
(BOS) untuk SD, SMP, dan mulai tahun (2013) kepada SMA. BOS ini diberikan
kepada semua lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta. Untuk kasus di
pesantren, pemerintah memberikan BOS di pesantren yang menyelenggarakan
wajardikdas ula, wustho, paket C. Bantuan di luar itu masih bersifat
insidental. Bisa jadi dikarenakan standardisasi pesantren yang dianggap sulit
oleh pemerintah. Pada wilayah sertifikasi, antrian giliran guru di bawah
kemenag untuk mendapatkan tunjangan sertifkasi relatif lebih cepat dibanding
dengan guru di bawah kemendikbud. Ini disebabkan ‘antrian’ di masing-masing
kementerian yang tidak sama. Antrian di kemenag lebih pendek dibanding di
kemendikbud.
6. Masyarakat usaha
Selain masyarakat sukarela, banyak juga
masyarakat yang mempunyai tujuan mengambil manfaat dari dunia pendidikan. Para
penerbit buku, usaha kursus, penyedia alat pendidikan, dan pengusaha-pengusaha
lainnya. Kelompok ini juga perlu difasilitasi, bahkan jika perlu dibangkitkan
kesadarannya, bahwa selain sebagai lahan penghidupan, dunia pendidikan juga
memerlukan kesetiakawanan yang dapat memperbaiki kualitas maupun kuantitas
pelayanan pendidikan. Untuk itu, pendekatan usaha terhadap dunia pendidikan
adalah bersifat mendukung, tidak hanya sekedar memeras dan menjadikannya
layaknya komoditas.
H.
Pengertian Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS)
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu
pendekatan yang bertujuan untuk meracang kembali pengelolaan sekolah dengan
memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa,
kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.
Berikut ini terdapat beberapa definisi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
menurut beberapa ahli diantaranya:
1.
BPPN dan Bank Dunia (1999) dalam Mulyasa, memberi pengertian bahwa MBS
merupakan bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi di bidang
pendidikan, yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi
masyarakat, dan dalam kerangka kebijakan nasional.
2.
Depdikbud dalam Mulyasa (2002), mengemukakan MBS adalah suatu penawaran
bagi sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai
bagi para peserta didik.
3.
Mulyasa (2002) mengemukakan Manajemen Berbasis Sekolah adalah pradigma
baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan
masyarakat) dalam rangka kebijakan pendidikan nasional.
4.
Menurut Wikipedia (2009) mengemukakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
merupakan model aplikasi manajemen institusional yang mengintegrasikan seluruh sumber internal dan eksternal dengan lebih menekankan pada pentingnya
menetapkan kebijakan melalui perluasan
otonomi sekolah. Sasarannya adalah
mengarahkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan dalam rangka
mencapai tujuan. Spesifikasinya berkenaan dengan visi, misi, dan tujuan yang
dikemas dalam pengembangan kebijakan dan perencanaan.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah kebijakan pemerintah yang
diberikan masing-masing sekolah untuk mengelola dan mengoptimalkan pendidikan
di daerahnya sesuai dengan karakteristik di daerahnya masing-masing dan
keikutsertaan masyarakat dalam mewujudkan tujuan pendidikan.
I.
Tujuan MBS
MBS bertujuan untuk meningkatkan kinerja sekolah
melalui pemberian kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar kepada sekolah
yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola sekolah yang baik
yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Peningkatan kinerja sekolah
yang dimaksud meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi,
produktivitas, dan inovasi pendidikan.
Dengan MBS, sekolah diharapkan makin mampu dan
berdaya dalam mengurus dan mengatur sekolahnya dengan tetap berpegang pada
koridor-koridor kebijakan pendidikan nasional. Perlu digarisbawahi bahwa
pencapaian tujuan MBS harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola
yang baik (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan sebagainya)
J.
Pola Baru Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS)
Bukti-bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional dan
digulirkannya otonomi daerah, telah mendorong dilakukannya penyesuaikan diri
dari pola lama manjemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan masa
depan yang lebih bernuangsa otonomi dan yang
lebih demokratis. Tabel I. berikut menunjukkan dimensi- dimensi
perubahan pola manajemen, dari yang lama menuju yang baru.
Tabel 1 : Dimensi-dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan
POLA LAMA |
MENUJU |
POLA BARU |
Subordinasi |
===è |
Otonomi |
Pengambilan keputusan terpusat |
===è |
Pengambilan keputusan partisipasif |
Ruang gerak kaku |
===è |
Ruang gerak luwes |
Pendekatan birokratik |
===è |
Pendekatan profesional |
Sentralistik |
===è |
Disentralistik |
Diatur |
===è |
Motivasi |
Overegulasi |
===è |
Deregulasi |
Mengontrol |
===è |
Mempengaruhi |
Mengarahkan |
===è |
Memfasilitasi |
Menghindari resiko |
===è |
Mengelola resiko |
Gunakan uang semuanya |
===è |
Gunakan uang seefesien |
Individual yang cerdas |
===è |
Teamwork yang cerdas |
Informasi terpribadi |
===è |
Informasi terbagi |
Pendelegasian |
===è |
Pemberdayaan |
Organisasi herakis |
===è |
Organisasi datar |
Pada pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program
dari pada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan
mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah.
Sedangkan pada Pola Baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam
pengelolan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipasif dan
partisipasi masyarakt makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya,
pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan birokrasi,
pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah didorong oleh
motivasi diri sekolah dari pada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan
lebih sederhana peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan
dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi
mengolah resiko, pengunaan uang lebih
efesien karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun
depan (Effesiensi-based budgeting), lebih mengutamakan teamwork, informasi
terbagi ke semua warga sekolah, lebih
mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebih
efesien.
K.
Prinsip – prinsip
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1.
Otonomi
Otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian yaitu
kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, kemandirian dalam
program dan pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada
gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin
kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi
juga sama dengan istilah swa, misalnya swasembada, swakelola, swadana,
swakarya, dan swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk
mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus
didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang
terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan
memobilisasi sumberdaya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik,
kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan
sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan
berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri. Dengan otonomi yang
lebih besar, sekolah memiliki kewenangan dan tanggungjawab yang lebih besar
dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan
kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang
tentu saja lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan/potensi yang dimiliki.
2.
Fleksibilitas
Dengan fleksibilitas/keluwesan-keluwesannya,
sekolah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya sekolah
secara optimal. Fleksibilitas
dapat diartikan sebagai keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk
mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdaya sekolah seoptimal mungkin
untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan-keluwesan yang lebih besar
diberikan kepada sekolah, maka sekolah akan lebih lincah dan tidak harus
menunggu arahan dari atasannya untuk mengelola, memanfaatkan dan memberdayakan sumberdayanya.
Dengan cara ini, sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi
segala tantangan yang dihadapi. Namun demikian, keluwesan-keluwesan yang
dimaksud harus tetap dalam koridor kebijakan dan peraturan perundang-undangan
yang ada.
3.
Partisipasi
Peningkatan partisipasi yang dimaksud adalah
penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (guru,
siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan,
usahawan, dan sebagainya.) didorong untuk terlibat secara langsung dalam
penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan
evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Hal ini
dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam
penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan mempunyai rasa memiliki
terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan
berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar
tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki,
makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggungjawab, makin
besar pula dedikasinya. Partisipasi
masyarakat terhadap penyelenggaraan sekolah telah diatur dalam suatu kelembagaan
yang disebut dengan Komite Sekolah. Secara resmi keberadaan Komite Sekolah
ditunjukkan melalui Surat Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam hal pembentukannya, Komite Sekolah menganut prinsip transparansi,
akuntabilitas, dan demokrasi. Komite Sekolah diharapkan menjadi mitra sekolah
yang dapat mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta prakarsa masyarakat dalam
melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di sekolah. Tugas dan
fungsi Komite Sekolah antara lain mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen
masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; mendorong orangtua
dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu
dan pemerataan pendidikan; dan menggalang dana masyarakat dalam rangka
pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
Selain itu, Komite Sekolah
juga dapat memberikan masukan dan pertimbangan kepada sekolah tentang kebijakan
dan program pendidikan, rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah.
Pendeknya, Komite Sekolah diharapkan berperan sebagai pendukung, pemberi
pertimbangan, mediator dan pengontrol penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
4.
Peningkatan mutu
pelibatan warga sekolah dalam penyelenggaraan
sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas kewenangan, dan relevansinya
dengan tujuan partisipasi. Peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat
dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan, kerjasama
yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan. Keterbukaan yang dimaksud
adalah keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerjasama yang dimaksud adalah
adanya sikap dan perbuatan lahiriyah kebersamaan/kolektif untuk meningkatkan
mutu sekolah.
Kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh hubungan
antar warga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat, dan adanya
kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil kolektif teamwork yang
kompak, cerdas dan dinamis. Akuntabilitas sekolah adalah pertanggungjawaban
sekolah kepada warga sekolahnya, masyarakat dan pemerintah melalui pelaporan
dan pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Sedang demokrasi pendidikan adalah
kebebasan yang terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai
perbedaan, hak asasi manusia serta kewajibannya dalam rangka untuk meningkatkan
mutu pendidikan.
Dengan pengertian di atas, maka sekolah memiliki kemandirian lebih besar
dalam mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun
rencana peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan
evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan
sumberdaya sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari
kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga
hal ini, maka sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan,
sedang unit-unit di atasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan
Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) merupakan unit pendukung dan
pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Tidak hanya itu. Menurut Nurkolis (2005:52-55) Prinsip-prinsip Manajemen
Berbasis Sekolah itu terdiri dari Ekuifinalitas (equifinality), Desentralisasi
(decentralisation), Pengelolaan mandiri (self-managing system), Inisiatif
manusia (human initiative). prinsip-pinsip tersebut didasarkan sebagai pedoman
yang digunakan manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk mengelola sekolah dalam
mendukung ketercapaian tujuan. Adapun penjelasan prinsip-prinsip tersebut
yaitu:
1.
Ekuifinalitas (equifinality). Prinsip ini berasumsi bahwa terdapat
beberapa cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan
fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut
kondisi masing-masing, walaupun sekolah yang berbeda dihadapkan masalah yang
sama, cara penangannya akan berlainan antara sekolah yang satu dengan yang
lain.
2.
Desentralisasi (decentralisation). Prinsip desentralisasi adalah
efisiensi dalam pemecahan masalah, bukan menghindari masalah. Desentralisasi
pendidikan memberikan peluang yang luas kepada sekolah untuk mengelola sumber
daya sekolah menurut strategi-strategi yang unik dalam mencapai tujuan yang
ditetapkan.
3.
Pengelolaan mandiri (self-managing system). Prinsip pengelolaan mandiri
memberikan kewenangan sekolah untuk mengelola secara mandiri dengan kebijakan
yang telah ditetapkan secara kolaboratif. Dengan demikian, sekolah memiliki
otonomi untuk mengembangkan tujuan pengajaran, strategi manajemen, distribusi
sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan masalah, dan mencapai
tujuan berdasarkan kondisi masing-masing.
4.
Inisiatif manusia (human initiative). Prinsip inisiatif manusia, mengakui
bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Karena itu
potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian
dikembangkan. Lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan human resources
development, yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan
manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi untuk
terus dikembangkan.
Secara lebih operasional, Depdiknas (2001:6-7) menetapkan prinsip-prinsip
manajemen berbasis sekolah (MBS), yaitu keterbukaan, kebersamaan,
berkelanjutan, menyuluruh, pertanggungjawaban, demokratis, kemandirian,
berorientasi pada mutu, pencapaian standar pelayanan minimal, dan pendidikan
untuk semua. Prinsip-prinsip dimaksud apabila dapat dipenuhi, maka implementasi
manajemen berbasis sekolah dapat meningkatkan pelayanan dan mutu pendidikan di
sekolah dengan melibatkan sumber daya sekolah dan masyarakat.
L.
Karakteristik
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan sebuah model yang mempunyai konsep
dasar dalam pendidikan sehingga mempunyai karakteristik khas. Terdapat empat
Karakteristik, diantaranya:
1.
Adanya otonomi yang luas kepada sekolah
2.
Adanya partisipasi masyarakat dan orang tua siswa yang tinggi
3.
Kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional
4.
Adanya team work yang tinggi, dinamis dan profesional
Dengan adanya karakteristik diatas maka Manajemen Berbasis Sekolah
merupakan sebuah model dan program yang jelas.
Selain itu, disini juga terdapat beberapa karakteristik menurut beberapa
ahli diantaranya:
1. Mulyasa (2002): Karakteristik dapat diketahui dari bagaimana sekolah dapat
mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar mengajar, pengelolaan
sumber daya manusia dan pengelolaan administrasi.
2. Nurkolis (2006): MBS memiliki karakteristik yang
bertolak belakang dengan karakteristik MKE, yaitu dalam hal misi sekolah
hakikat aktifitas sekolah, strategi-strategi manajemen, penggunaan sumber-suber
daya, peran warga sekolah, hubungan interpersonal, kualitas para administrator
dan indikator-indikator evektifitas.
3. Departemen Pendidikan Nasional (2007):
karekteristik MBS memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah secara efektif,
yang dikatagorikan menjadi input, proses dan output.
4. Menurut Umaedi dalam Suryosubroto (2010:
197-198): karakteristik MBS diantaranya:
a. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib
b. Sekolah memiliki visi dan target yang ingin
dicapai
c. Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat
d. Adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah
e. Adanya pengembangan staf sesuai kemajuan iptek
f.
Adanya evaluasi yang terus menerus guna perbaikan mutupendidikan
g. Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari
orang tua murid dan masyarakat.
Tidak hanya itu, MBS memiliki karakteristik yang
perlu dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika
sekolah ingin sukses dalam menerapkan MBS, maka sejumlah karakteristik MBS
berikut perlu dimiliki. Karakteristik MBS tidak dapat dipisahkan dengan
karakteristik sekolah efektif. Jika MBS merupakan wadah/kerangka, maka sekolah
efektif merupakan isinya. Oleh karena itu, karakteristik MBS berikut memuat
secara inklusif elemen-elemen sekolah efektif, yang dikategorikan menjadi
input, proses dan output.
1.
Output yang diharapkan
Sekolah harus memiliki output yang diharapkan.
Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses pembelajaran
dan manajemen di sekolah. Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu output berupa prestasi akademik (academic, achivement) dan ouput
berupa prestasi non-akademik (non-academic achivement). Output prestasi akademi
misanya, NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa Inggris, Matematika,
Fisika), cara-cara berfikir (kritis, kreatif/divergen, nalar, rasional,
induktif, deduktf, dan ilmiah). Output non-akademik, misalnya keingintahuan
yang tinggi, harga diri kejujuran, kerjasama yang baik, rasa kasih sayang yang
tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi, kedipsiplinan,
kerajinan prestasi oleh raga, kesenian, dan keptamukaan.
2.
Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya memiliki
sejumlah karakteristik proses sebagai
berikut :
a. Proses Belajar Mengajar yang Efektivitasnya
Tinggi
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki efektivitas
proses belajar mengajar (PBM) yang tinggi. Ini ditujukkan oleh sifat PBM yang
menekankan pada pemberdayaan peserta didik PBM bukan sekadar memorisasi dan
recall, bukan sekadar penekanan pada
penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos) akan tetapi lebih
menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan
berfungsi sebagai muatan nurani dan hayati (ethos) serta dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari oleh peserta didik (pathos). PBM yang efektif juga lebih
menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja
(learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan
belajar menjadi diri sendiri (learnig to be)
b. Kepemimpinan Sekolah yang Kuat
Pada sekolah yang menerapkan MBS, kepala sekolah
memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan
menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersdia. Kepemimpinan Kepala
Sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat
mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program
yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala
sekolah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimipinan yang tangguh
agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu
sekolah. Secara umum, kepala sekolah tangguh memiliki kemampuan memobilisasi
sumberdaya sekolah, terutama sumberdaya manusia, untuk mencapai tujuan sekolah.
c. Lingkungan Sekolah yang Aman dan Tertib
Sekolah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang
aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung
dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, sekolah yang efektif selalu
menciptakan iklim sekolah yang aman, nyaman tertib melalui pengupayaan
faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan
kepala sekolah sangat penting sekali.
d. Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang efektif
Tenaga kependidikan, terutama guru, merupakan
jiwa dari sekolah. Sekolah hanyalah merupakan wadah. Sekolah yang menerapkan
MBS menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga
kependidikan, mulai dari kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi
kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan
penting bagi seorang kepala sekolah. Terlebih-lebih pada pengembangan tenaga kependidikan, ini harus dilakukan
secara terus-menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
sedemikian pesat. Pendeknya tenaga kependidikan yang diperlukan untuk
menyukseskan MBS adalah tenaga kependidikan yang mempunyai komitmen tinggi,
selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.
e. Sekolah memiliki Budaya Mutu
Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga
sekolah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya
mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut: (a) informasi kualitas harus
digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b)
kewenangan harus sebatas tanggung jawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan
(rewards) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan
kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjsama; (e) warga sekolah merasa aman
terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g)
imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaan; dan (h) warga sekolah merasa
memiliki sekolah.
f.
Sekolah memiliki “Teamwork” yang kompak, Cerdas, dan Dinamis
Kebersaman (teamwork) merupakan karateristik yang
dituntut oleh MBS, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga
sekolah, bukan hasil individual. Karena itu budaya kerjasama antar fungsi dalam
sekolah, antar individu dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup
sehari-hari warga sekolah.
g. Sekolah memiliki Kewenangan (kemandirian)
Sekolah memiliki
kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga
dituntut untuk memiliki kemampuan dan
kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk
menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan
tugasnya.
h. Partisipasi yang Tinggi dari Warga dan Masyarakat
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki
karakteristik bahwa partisipasi warga sekolah dan masyarakat merupakan bagian
kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat
prestasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa-memiliki, makin besar
pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula
tingkat dedikasinya.
i.
Sekolah memiliki Keterbukaan (Transparansi) Manajemen
Keterbukaan/transparansi dalam pengelolan sekolah
merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan MBS, Keterbukaan/transparansi
ini ditunjukan dalam pengambilan keputusan,
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagai alat
kontrol.
j.
Sekolah memiliki Kemauan untuk Berubah (psikologis dan pisik)
Perubahan harus merupakan sesuatu yang
menyenangkan bagi semua warga sekolah. Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh
sekolah. Tentu saja yang dimaksud
perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis.
Artinya, setiap dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari
sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik.
k. Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara
Berkelanjutan.
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya
ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik,
tetapi yang terpenting adalah bagaimana
memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan
meyempurnakan proses belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, fungsi
evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik
dan mutu sekolah secara keseluruhan dan secara terus-menerus merupakan kebiasan
warga sekolah. Tiada hari
tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan
harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi,
tanggung jawab, prosedur, proses dan sumberdaya untuk menerapkan manajemen
mutu.
l.
Sekolah Responsi dan antisipatif terhadap Kebutuhan
Sekolah selalu tanggap /responsif terhadap
berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu
membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, sekolah
tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/ tuntutan, akan tetapi juga
mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola, adalah
padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.
m. Memiliki Komunikasi yang baik
Sekolah yang efektif umumnya memiliki komunikasi
yang baik terutama antar warga sekolah, dan juga sekolah-masyarakat sehingga
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga sekolah dapat
diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan sekolah dapat
diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran sekolah yang telah di patok.
Selain itu komunikasi yang baik juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak
dan cerdas, sehingga berbagai kegitan sekolah dapat dilakukan secara merata
oleh warga sekolah.
n. Sekolah memiliki Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggung jawaban
yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah
dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk
laporan prestasi yang dicapaikan dan dilaporkan kepada pemerintah, orang
tua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah
dapat menilai apakah program MBS telah mencapai tujuan yang di kehendaki atau
tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu membersihkan maka pemerintah perlu
memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi
faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerjanya di masa yang akan datang.
Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan
teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat.
Demikian pula, para orang tua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan
penilaian apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara
individual dan kinerja sekolah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orang tua peserta didik perlu
memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang.
Jika kurang berhasil, maka orang tua siswa dan masyarakat berhak meminta
pertanggungjawaban dan penjelasan sekolah atas kegagalan program MBS yang telah
dilakukan. Dengan cara ini, maka sekolah tidak akan main-main dalam
melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang.
o. Sekolah memiliki Kemampuan Manajemen
Sustainabilitas
Sekolah yang efektif juga memiliki kemampuan
untuk menjaga kelangsungan hidupnya (sustainabilitasnya) baik dalam program
maupun pendanaannya. Sustainabilitas program dapat dilihat dari keberlanjutan
program-program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi
program-program baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainabilitas pendanan dapat ditunjukan oleh
kemampuan sekolah dalam mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan
makin besar jumlahnya. Sekolah memiliki kemampuan menggali sumberdana dari
masyarakat, dan tidak sepenuhnya menggantungkan subsidi dari pemerintah bagi
sekolah-sekolah negeri.
3. Input Pendidikan
a. Memiliki Kebijakan, Tujuan dan Sasaran Mutu yang jelas
Secara formal, sekolah menyatakan dengan jelas
tentang keseluruhan kebijakan, tujuan, dan sasaran mutu. Kebijakan, tujuan, dan
sasaran mutu tersebut dinyatakan oleh kepala sekolah dan disosialisasikan
kepada semua warga sekolah, sehingga
tertanam pemikiran, tindakan, kebiasaan, hingga sampai pada kepemilikan
karakter mutu oleh warga sekolah.
b. Sumberdaya Tersedia dan Siap
Sumberdaya merupakan input penting yang
diperlukan untuk berlangsungnya proses pendidikan di sekolah. Tanpa sumberdaya
yang memadai, proses pendidikan di sekolah tidak akan berlangsung secara
memadai, dan pada gilirannya sasaran sekolah tidak akan tercapai. Sumberdaya
dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan sumberdaya
selebihnya (uang peralatan, perlengkapan, bahan, dsb) dengan penegasan bahwa
sumberdaya selebihnya tidak mempunyai arti apapun bagi perwujudan sasaran
sekolah, tanpa campur tangan sumberdaya manusia.
Secara umum, sekolah yang menerapkan MBS harus
memiliki tingkat kesiapan sumberdaya yang memadai untuk menjalanlan proses
pendidikan. Artinya, segala sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan proses
pendidikan harus tersedia dan dalam keadaan siap. Ini bukan berarti bahwa
sumberdaya yang ada harus mahal, akan tetapi sekolah yang bersangkutan dapat
memanfaatkan keberadaan sumberdaya yang ada dilingkungan sekolahnya. Karena
itu, diperlukan kepala sekolah yang mampu memobilisasi sumberdaya yang ada
disekitarnya.
c. Staf yang Kompeten dan Berdedikasi Tinggi
Meskipun pada butir (b) telah disinggung tentang
ketersedian dan kesiapan sumberdaya manusia (staf), namun pada butir ini perlu
ditekankan lagi karena staf merupakan jiwa sekolah. Sekolah yang efektif pada
umumnya memiliki staf yang mampu (kompeten) dan berdedikasi tinggi terhadap
sekolahnya. Implikasinya jelas, yaitu, bagi sekolah yang ingin efektifitasnya
tinggi, maka kepemilikan staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi merupakan
keharusan.
d. Memiliki Harapan Prestasi yang tinggi
Sekolah yang menerapkan MBS mempunyai dorongan
dan harapan yang tinggi untuk meningkatkan prestasi peserta didik dan
sekolahnya. Kepala sekolah memiliki komitmen dan motivasi yang kuat untuk
meningkatkan mutu sekolah secara optimal. Guru memiliki komitmen dan harapan
yang tinggi bahwa anak didiknya dapat mencapai tingkat yang maksimal, walaupun
dengan segala keterbatasan sumberdaya pendidikan yang ada disekolah.
Sedang peserta didik juga mempunyai motivasi
untuk selalu meningkatkan diri untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan
kemampuaannya. Harapan tinggi dari ketiga unsur sekolah ini merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan sekolah selalu dinamis untuk selalu menjadi lebih
baik dari keadaan sebelumnya.
e. Fokus pada
Pelanggan (khususnya Siswa)
Pelanggan , terutama siswa, harus merupakan fokus
dari semua kegiatan sekolah. Artinya, semua input dan proses yang dikerahkan di
sekolah tertuju utamanya untuk meningkatkan mutu dan kepuasan peserta didik.
Konsekuensi logis dari ini semua adalah bahwa penyiapan input dan proses
belajar mengajar harus benar-benar mewujudkan sosok utuh mutu dan kepuasan yang
diharapkan dari siswa.
f.
Input manajemen
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki input
manajemen yang memadai untuk menjalankan roda sekolah. Kepala sekolah dalam
mengatur dan mengurus sekolahnya menggunakan sejumlah input manajemen.
Kelengkapan dan kejelasan input manajemen akan membantu kepala sekolah
mengelola sekolanya dengan efektif. Input manajemen yang dimaksud meliputi;
tugas yang jelas, rencana yang rinci dan sitematis, program yang mendukung bagi
pelaksanaan rencana, ketentuan-ketentuan (aturan main) yang jelas sebagai
panutan bagi warga sekolahnya untuk bertindak, dan adanya sistem pengendalian
mutu yang efektif dan efisien untuk meyakinkan agar sasaran yang telah
disepakati dapat dicapai.
M.
Perbedaan Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) Dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS).
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu
pendekatan yang bertujuan untuk meracang kembali pengelolaan sekolah dengan
memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa,
kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS) merupakan Model MBS yang ada di Indonesia. MPMBS dapat diartikan
sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah,
fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga
sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
MPMBS merupakan bagian dari manajemen bebasis sekolah (MBS). Jika MBS
bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah (efektivitas, kualitas/mutu,
efesiensi, inovasi, relevansi, dan pemeratan serta akses pendidikan), maka
MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu. Hal ini didasari oleh kenyataan
bahwa mutu pendidikan nasional kita saat ini sangat memprihatinkan sehingga
memerlukan perhatian yang lebih serius. Itulah sebabnya MPMBS lebih ditekankan
dari pada MBS untuk saat ini. Pada saatnya nanti MPMBS akan menjadi MBS.
MPMBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui
pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang
lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong
partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Lebih rincinya, MPMBS bertujuan untuk :
1.
Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian,
fleksibelitas, partisipasi, keterbukaan, kerjasama, akuntabilitas,
sustainbilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan
memberdayakan sumberdaya yang tersedia.
2.
Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.
3.
Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan
pemerintah tentang mutu sekolahnya
4.
Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan
yang akan dicapai.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Melalui beberapa uraian yang telah dijelaskan di
atas, maka penulis menyimpulkan beberapa dari uraian tersebut:
Stakeholder
adalah pemegang atau pemangku kepentingan. orang atau kelompok tertentu
yang mempunyai kepentingan apa pun terhadap sebuah obyek disebut Stakeholder.
Sedangkan Stakeholder pendidikan dapat diartikan sebagai orang yang
menjadi pemegang dan sekaligus pemberi support terhadap pendidikan atau lembaga
pendidikan.
Lembaga pendidikan memiliki berbagai macam
Stakeholder, maka dalam pemetaan atau pembagiannya akan dikenal
Stakeholder primer, sekunder, dan
tersier. Ketiga stakeholder pendidikan harus bersinergi dan mendukung satu sama
lain.
Dalam dunia pendidikan Stakeholder berperan
ditinjau dari berbagai aspek yaitu dalam peran orang tua, guru, komite sekolah,
kepala sekolah, pemerintah dan masyarakat usaha.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu
pendekatan yang bertujuan untuk meracang kembali pengelolaan sekolah dengan
memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa,
kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.
Pola Baru dalam Manajemen Berbasis Sekolah yaitu
sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolan lembaganya, sekolah
lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih
diutamakan dari pada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih
desentralistik, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser
dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi,
dari menghindari resiko menjadi mengolah
resiko dan lain sebagainya.
Prinsip – prinsip Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) meliputi:
1.
Otonomi
2.
Fleksibilitas
3.
Partisipasi
4.
Peningkatan mutu
Departemen Pendidikan Nasional (2007):
karekteristik MBS memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah secara efektif,
yang dikatagorikan menjadi input, proses dan output.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu
pendekatan yang bertujuan untuk meracang kembali pengelolaan sekolah dengan
memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa,
kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat. Sedangkan, Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS) merupakan Model MBS yang ada di Indonesia. MPMBS dapat diartikan
sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah,
fleksibilitas kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga
sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
MPMBS merupakan bagian dari manajemen bebasis
sekolah (MBS). Jika MBS bertujuan untuk meningkatkan semua kinerja sekolah
(efektivitas, kualitas/mutu, efesiensi, inovasi, relevansi, dan pemeratan serta
akses pendidikan), maka MPMBS lebih difokuskan pada peningkatan mutu.
DAFTAR PUSTAKA
-Muhaimin. 2010. Manajemen Pendidikan, Aplikasinya dalam Penyusunan Pengembangan
Sekolah/Madrasah. Jakarta: Prenada Media Group.
-Nanang Fatah. 2009. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
-Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep Strategi dan
Implementasi, Bandung: Remaja Rosda
Karya.
-Kompri. 2014. Manajemen Sekolah: Teori dan Praktik. Bandung: Alfabeta.
-Muhaimin. 2010. Manajemen Pendidikan. Jakarta: Kencana.
-Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana.
-Syaiful. 2003. Manajemen Strategi Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan.
Bandung: Alfabeta.
-http://icheytrezna.blogspot.com/2013/12/manajemen-berbasis-sekolah-mbs_14.html