Dalam kitabnya,
Maqâshid al-Shaum, Sulthân al-Ulamâ’, Imam Izzuddin bin Abdissalam
al-Sulami (w. 660 H) mengatakan paling tidak ada tujuh faedah puasa di
bulan Ramadan yang satu sama lainnya saling terkait. Faedah yang
dibicarakan di sini adalah soal “pembangunan diri”, baik dari sisi agama
(pahala) maupun individu. Tujuh faedah tersebut adalah:
1. Raf’u al-Darajât (Meninggikan Derajat)
Pandangannya ini didasari oleh beberapa hadits Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, salah satunya yang mengatakan:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانَ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ
أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنَ
“Ketika Ramadhan tiba, dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah
pintu-pintu neraka dan setan pun dibelenggu.” (HR Imam Muslim)
Imam Izzuddin memandang taftîh abwâb al-jannah (dibukanya pintu surga)
sebagai simbol atau tanda untuk memperbanyak ketaatan (taktsîr
al-thâ’ât), terutama yang diwajibkan. (Imam Izzuddin bin Abdissalam
al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, Damaskus: Darul Fikr, 1992, hlm 12).
Logika sederhananya begini, meskipun pintu surga telah dibuka
lebar-lebar, apakah semua orang berhak melintasinya tanpa memperbanyak
ketaatan selama bulan Ramadhan dan bulan-bulan setelahnya? Artinya,
dibukanya pintu surga merupakan dorongan untuk memperbanyak ibadah. Apa
artinya pintu yang terbuka tanpa ada seorang pun yang berkeinginan untuk
memasukinya.
Tentang ditutupnya pintu neraka (taghlîq abwâb al-nâr), Imam Izzuddin
menganggapnya sebagai simbol, “qillah al-ma’âshî,” untuk menyedikitkan
maksiat. (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm
12). Penggunaan kata “qillah—sedikit” ini menarik, seakan-akan Imam
Izzuddin memahami betul manusia yang tidak mungkin sempurna dalam
menghindari kesalahan. Manusia pasti membawa dosanya ketika menghadap
Tuhannya di akhirat kelak, yang membedakan adalah kadarnya, banyak atau
sedikit. Karena itu, “qillah al-ma’âshî”, oleh Imam Izuddin al-Sulami
dijadikan penjelasan dari simbol ditutupnya pintu neraka.
Simbol berikutnya adalah dibelenggunya setan (tashfîd al-syayâthîn).
Menurutnya, simbol ini adalah tanda terputusnya kewaswasan (bisikan
lembut setan) bagi orang-orang yang berpuasa. (Imam Izzuddin bin
Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 12). Artinya, baik buruknya
orang yang berpuasa murni tergantung pada dirinya sendiri. Karena itu,
akan sangat tidak etis jika manusia dengan berbagai peluang kemuliaan
derajat yang diberikan Allah di bulan Ramadhan ini masih enggan berbuat
baik dan malah berbuat jahat.
2. Takfîr al-Khathî’ât (Penghapus Kesalahan/Dosa)
Dasar dari faedah yang kedua ini adalah hadits Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam yang mengatakan:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ
مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala
maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (H.R. Imam Bukhari dan Imam
Muslim)
Yang dimaksud “îmânan—karena iman” dalam hadits di atas adalah meyakini
kewajiban puasa dan melaksanakannya (bi wujûbihi). Dan maksud dari
“ihtisâban—mengharapkan pahala” adalah, “li ajrihi ‘inda
rabbihi—merendahkan diri memohon upah/pahala dari Tuhannya”. (Imam
Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 15). Meminta
imbalan (pamrih) kepada Allah merupakan bentuk penyerahan diri,
pernyataan keimanan dan menyatakan kelemahan di hadapan-Nya. Berbeda
halnya dengan pamrih antar sesama manusia yang seakan-akan menunjukkan
ketidak-tulusan. Di samping itu, manusia memiliki masalahnya
sendiri-sendiri, sekuat dan setegar apa pun dia, sekaya dan semampu apa
pun dia, manusia tidak mungkin lepas dari persoalan hidup, sehingga
meminta imbalan kepada mereka, sama saja dengan menambahi beban hidup
mereka.
3. Kasr al-Syahawât (Memalingkan/Mengalahkan Syahwat)
Faedah puasa berikut ini didasari oleh hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam yang mengatakan:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ,
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ, فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka
menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih bisa menundukan pandangan dan
lebih mudah menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka
berpuasalah, sesungguhnya puasa itu adalah penekan syahwatnya.” (HR
Imam Ahmad dan Imam Bukhari)
Hadits di atas yang membuat Imam Izzuddin al-Sulami berpendapat bahwa
lapar dan haus dapat mengalahkan atau memalingkan syahwat. Beliau
mengatakan:
فإنّ الجوع والظمأ يكسران شهوات المعاصي
“Sesungguhnya lapar dan haus dapat mengalahkan syahwat bermaksiat.”
(Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 15).
Perlu dipahami sebelumnya, bahwa lapar dan haus di sini bukan kelaparan
dan kehausan yang disebabkan oleh keadaan yang sering menimbulkan
problem sosial seperti pencurian, perampokan, dan lain sebagainya. Lapar
dan haus di sini adalah puasa, yaitu lapar dan haus yang disengaja dan
didasari oleh niat ibadah. Niat ibadah inilah yang membuat lapar dan
haus memiliki arti, yaitu menjadi ajang melatih diri, mengendalikan hawa
nafsu dan meminimalisasi syahwat bermaksiat.
4. Taktsîr al-Shadaqât (Memperbanyak Sedekah)
Dalam pandangan Imam Izzuddin al-Sulami, puasa dapat membuat manusia
memperbanyak sedekah. Beliau mengatakan:
لأنّ الصّائم إذا جاع تذكّر مَا عنده من الجوع فحثّه ذلك علي إطعام الجائع
“Karena sesungguhnya orang berpuasa ketika dia merasakan lapar, dia
mengingat rasa lapar itu. Hal itulah yang memberikan dorongan kepadanya
untuk memberi makan pada orang yang lapar.” (Imam Izzuddin bin
Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 16).
Merasakan penderitaan bisa mengarahkan manusia pada dua hal, menjadi
egois dan menjadi dermawan. Menjadi egois karena dia ingin memiliki
semuanya sendiri agar tidak merasakan penderitaan itu lagi. Menjadi
dermawan karena dia pernah merasakan susahnya menderita sehingga ketika
melihat orang lain menderita, dia ikut merasakannya. Dalam hal ini,
puasa merupakan sarana pelebur kemungkinan pertama (menjadi egois).
Orang yang berpuasa telah menyengajakan dirinya untuk melalui peleburan
tersebut, dan melatih dirinya sendiri untuk menjadi lebih perasa.
Di paragaraf berikutnya, Imam Izzudin bercerita tentang Nabi Sulaiman
atau Nabi Yusuf yang tidak makan hingga semua orang yang memiliki
hubungan dengannya (keluarga atau rakyatnya) makan. Seseorang bertanya,
“kenapa melakukan hal semacam itu?” Nabi Sulaiman atau Nabi Yusuf
menjawab, “akhâfu an asyba’a fa ansâ al-jâi’—aku takut ketika kenyang,
aku melupakan orang-orang yang lapar.” (Imam Izzuddin bin Abdissalam
al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 16). Sebab, diakui atau tidak, orang
yang terlalu kenyang, memiliki kecenderungan lalai yang lebih besar.
Mungkin, ini salah satu alasan dari anjuran, “berhenti makan sebelum
kenyang.”
5. Taufîr al-Thâ’ât (Memperbanyak/Menyempurnakan Ketaatan)
Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami memandang bahwa orang yang
berpuasa mengingatkan mereka pada lapar dan hausnya ahli neraka. Beliau
mengatakan:
لأنّه تذكّر جوع أهل النار والظمأهم فحثّه ذلك علي تكثير الطاعات لينجو بها
من النّار
“Karena puasa mengingatkan kelaparan dan hausnya ahli neraka. Hal itulah
yang mendorong orang berpuasa memperbanyak ketaatan kepada Allah agar
terselamatkan dari api neraka.” (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami,
Maqâshid al-Shaum, hlm 17).
Di sinilah pentingnya pengetahuan, karena pengetahuan bisa membuat
manusia memperbaharui atau mengarahkan niat ibadahnya. Perkataan Imam
Izuddin al-Sulami di atas, belum tentu terpikirkan oleh orang yang
menjalankan ibadah puasa, tapi dengan membaca perkataannya, manusia bisa
memahami kelaparan dan kehausan puasa dari sudut pandang lain, yaitu
mengingatkan mereka pada kelaparan dan kehausan ahli neraka, sehingga
mendorong mereka memperbanyakan ketaatan mereka kepada Allah agar tidak
sampai mengalami kejadiaan itu selama-lamanya di neraka.
6. Syukr ‘Âlim al-Khafiyyât (Bersyukur Mengetahui Kenikmatan
Tersembunyi)
Manusia sering lalai atas nikmat Tuhan yang mengelilinginya sehari-hari
seperti udara, nafas, gerak dan lain sebagainya. Menurut Imam Izzuddin
al-Sulami, puasa dapat mengembalikan ingatan itu dan membuat mereka
mensyukurinya. Beliau berkata:
إذا صام عرف نعمة الله عليه في الشِّبَع والرِّيّ فشكرها لذلك, فإنّ
النِّعَم لا يُعرف مقدارُها إلّا بفقدها
“Ketika berpuasa, manusa menjadi tahu nikmat Allah kepadanya berupa
kenyang dan terpenuhinya rasa haus. Karena itu mereka bersyukur. Sebab,
kenikmatan tidak diketahui kadar/nilainya tanpa melalui hilangnya rasa
nikmat itu (terlebih dahulu).” (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami,
Maqâshid al-Shaum, hlm 17).
Kelalaian akan segala nikmat Allah harus diuji agar kembali dikenali.
Ujian itu bisa dihadirkan “tanpa disengaja” dan “dengan disengaja”.
Ujian “tanpa disengaja” adalah ujian yang langsung dari Allah, contohnya
sakit gigi (langsung dari Allah), sehingga penderitanya mengetahui
nikmatnya sehat. Ujian “dengan disengaja” adalah ujian yang sengaja oleh
pelakunya sebagai bentuk riyadlah (olah diri), contohnya berpuasa,
sehingga pelakunya semakin mengenali nikmatnya kenyang dan hilangnya
rasa haus.
7. Al-Inzijâr ‘an Khawâthir al-Ma’âshî wa al-Mukhâlafât (Mencegah
Keinginan Bermaksiat dan Berlawanan)
Dalam pandangan Imam Izzuddin, orang yang kenyang memiliki kecenderungan
lebih untuk bermaksiat (thamahat ilâ al-ma’âshî), tapi di saat lapar
dan haus, fokusnya lebih pada, “tasyawwafat ilâ al-math’ûmât wa
al-masyrûbât—mencari makanan dan minuman (Imam Izzuddin bin Abdissalam
al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 17), sehingga mengurangi keinginannya
berbuat jahat. Tapi sekali lagi perlu diingat, lapar dan haus di sini
adalah puasa, bukan kelaparan yang disebabkan oleh keadaan tertentu
(untuk lebih jelasnya baca nomor 3).
Mudahnya begini, puasa merupakan ibadah yang memiliki cakupan waktu yang
cukup panjang, dari mulai fajar hingga terbenamnya matahari. Dengan
demikian, puasa bisa menjadi pencegah efektif untuk manusia dari
melakukan perbuatan jahat. Ketika dia hendak melakukan sesuatu, dia
teringat bahwa dirinya sedang berpuasa, atau puasanya telah mengingatkan
dirinya agar tidak melakukannya. Jika dia tetap melakukannya, dia telah
menghilangkan keberkahan puasanya sekaligus melanggar janjinya kepada
Tuhan setelah mengikrarkan niatnya untuk berpuasa.
Inilah tujuh faedah puasa menurut sultannya para ulama, Imam Izzuddin
bin Abdissalam al-Sulami. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab.
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan,
Kebumen.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/105818/tujuh-faedah-puasa-ramadhan
Tujuh Faedah Puasa RamadhanSumber: https://islam.nu.or.id/post/read/105818/tujuh-faedah-puasa-ramadhan
Dalam kitabnya, Maqâshid al-Shaum, Sulthân al-Ulamâ’, Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami (w. 660 H) mengatakan paling tidak ada tujuh faedah puasa di bulan Ramadan yang satu sama lainnya saling terkait. Faedah yang dibicarakan di sini adalah soal “pembangunan diri”, baik dari sisi agama (pahala) maupun individu. Tujuh faedah tersebut adalah:
1. Raf’u al-Darajât (Meninggikan Derajat) Pandangannya ini didasari oleh beberapa hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, salah satunya yang mengatakan: إِذَا جَاءَ رَمَضَانَ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنَ “Ketika Ramadhan tiba, dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka dan setan pun dibelenggu.” (HR Imam Muslim) Imam Izzuddin memandang taftîh abwâb al-jannah (dibukanya pintu surga) sebagai simbol atau tanda untuk memperbanyak ketaatan (taktsîr al-thâ’ât), terutama yang diwajibkan. (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, Damaskus: Darul Fikr, 1992, hlm 12). Logika sederhananya begini, meskipun pintu surga telah dibuka lebar-lebar, apakah semua orang berhak melintasinya tanpa memperbanyak ketaatan selama bulan Ramadhan dan bulan-bulan setelahnya? Artinya, dibukanya pintu surga merupakan dorongan untuk memperbanyak ibadah. Apa artinya pintu yang terbuka tanpa ada seorang pun yang berkeinginan untuk memasukinya. Tentang ditutupnya pintu neraka (taghlîq abwâb al-nâr), Imam Izzuddin menganggapnya sebagai simbol, “qillah al-ma’âshî,” untuk menyedikitkan maksiat. (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 12). Penggunaan kata “qillah—sedikit” ini menarik, seakan-akan Imam Izzuddin memahami betul manusia yang tidak mungkin sempurna dalam menghindari kesalahan. Manusia pasti membawa dosanya ketika menghadap Tuhannya di akhirat kelak, yang membedakan adalah kadarnya, banyak atau sedikit. Karena itu, “qillah al-ma’âshî”, oleh Imam Izuddin al-Sulami dijadikan penjelasan dari simbol ditutupnya pintu neraka. Simbol berikutnya adalah dibelenggunya setan (tashfîd al-syayâthîn). Menurutnya, simbol ini adalah tanda terputusnya kewaswasan (bisikan lembut setan) bagi orang-orang yang berpuasa. (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 12). Artinya, baik buruknya orang yang berpuasa murni tergantung pada dirinya sendiri. Karena itu, akan sangat tidak etis jika manusia dengan berbagai peluang kemuliaan derajat yang diberikan Allah di bulan Ramadhan ini masih enggan berbuat baik dan malah berbuat jahat.
2. Takfîr al-Khathî’ât (Penghapus Kesalahan/Dosa) Dasar dari faedah yang kedua ini adalah hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan: مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim) Yang dimaksud “îmânan—karena iman” dalam hadits di atas adalah meyakini kewajiban puasa dan melaksanakannya (bi wujûbihi). Dan maksud dari “ihtisâban—mengharapkan pahala” adalah, “li ajrihi ‘inda rabbihi—merendahkan diri memohon upah/pahala dari Tuhannya”. (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 15). Meminta imbalan (pamrih) kepada Allah merupakan bentuk penyerahan diri, pernyataan keimanan dan menyatakan kelemahan di hadapan-Nya. Berbeda halnya dengan pamrih antar sesama manusia yang seakan-akan menunjukkan ketidak-tulusan. Di samping itu, manusia memiliki masalahnya sendiri-sendiri, sekuat dan setegar apa pun dia, sekaya dan semampu apa pun dia, manusia tidak mungkin lepas dari persoalan hidup, sehingga meminta imbalan kepada mereka, sama saja dengan menambahi beban hidup mereka.
3. Kasr al-Syahawât (Memalingkan/Mengalahkan Syahwat) Faedah puasa berikut ini didasari oleh hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ, فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih bisa menundukan pandangan dan lebih mudah menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu adalah penekan syahwatnya.” (HR Imam Ahmad dan Imam Bukhari) Hadits di atas yang membuat Imam Izzuddin al-Sulami berpendapat bahwa lapar dan haus dapat mengalahkan atau memalingkan syahwat. Beliau mengatakan: فإنّ الجوع والظمأ يكسران شهوات المعاصي “Sesungguhnya lapar dan haus dapat mengalahkan syahwat bermaksiat.” (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 15). Perlu dipahami sebelumnya, bahwa lapar dan haus di sini bukan kelaparan dan kehausan yang disebabkan oleh keadaan yang sering menimbulkan problem sosial seperti pencurian, perampokan, dan lain sebagainya. Lapar dan haus di sini adalah puasa, yaitu lapar dan haus yang disengaja dan didasari oleh niat ibadah. Niat ibadah inilah yang membuat lapar dan haus memiliki arti, yaitu menjadi ajang melatih diri, mengendalikan hawa nafsu dan meminimalisasi syahwat bermaksiat.
4. Taktsîr al-Shadaqât (Memperbanyak Sedekah) Dalam pandangan Imam Izzuddin al-Sulami, puasa dapat membuat manusia memperbanyak sedekah. Beliau mengatakan: لأنّ الصّائم إذا جاع تذكّر مَا عنده من الجوع فحثّه ذلك علي إطعام الجائع “Karena sesungguhnya orang berpuasa ketika dia merasakan lapar, dia mengingat rasa lapar itu. Hal itulah yang memberikan dorongan kepadanya untuk memberi makan pada orang yang lapar.” (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 16). Merasakan penderitaan bisa mengarahkan manusia pada dua hal, menjadi egois dan menjadi dermawan. Menjadi egois karena dia ingin memiliki semuanya sendiri agar tidak merasakan penderitaan itu lagi. Menjadi dermawan karena dia pernah merasakan susahnya menderita sehingga ketika melihat orang lain menderita, dia ikut merasakannya. Dalam hal ini, puasa merupakan sarana pelebur kemungkinan pertama (menjadi egois). Orang yang berpuasa telah menyengajakan dirinya untuk melalui peleburan tersebut, dan melatih dirinya sendiri untuk menjadi lebih perasa. Di paragaraf berikutnya, Imam Izzudin bercerita tentang Nabi Sulaiman atau Nabi Yusuf yang tidak makan hingga semua orang yang memiliki hubungan dengannya (keluarga atau rakyatnya) makan. Seseorang bertanya, “kenapa melakukan hal semacam itu?” Nabi Sulaiman atau Nabi Yusuf menjawab, “akhâfu an asyba’a fa ansâ al-jâi’—aku takut ketika kenyang, aku melupakan orang-orang yang lapar.” (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 16). Sebab, diakui atau tidak, orang yang terlalu kenyang, memiliki kecenderungan lalai yang lebih besar. Mungkin, ini salah satu alasan dari anjuran, “berhenti makan sebelum kenyang.”
5. Taufîr al-Thâ’ât (Memperbanyak/Menyempurnakan Ketaatan) Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami memandang bahwa orang yang berpuasa mengingatkan mereka pada lapar dan hausnya ahli neraka. Beliau mengatakan: لأنّه تذكّر جوع أهل النار والظمأهم فحثّه ذلك علي تكثير الطاعات لينجو بها من النّار “Karena puasa mengingatkan kelaparan dan hausnya ahli neraka. Hal itulah yang mendorong orang berpuasa memperbanyak ketaatan kepada Allah agar terselamatkan dari api neraka.” (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 17). Di sinilah pentingnya pengetahuan, karena pengetahuan bisa membuat manusia memperbaharui atau mengarahkan niat ibadahnya. Perkataan Imam Izuddin al-Sulami di atas, belum tentu terpikirkan oleh orang yang menjalankan ibadah puasa, tapi dengan membaca perkataannya, manusia bisa memahami kelaparan dan kehausan puasa dari sudut pandang lain, yaitu mengingatkan mereka pada kelaparan dan kehausan ahli neraka, sehingga mendorong mereka memperbanyakan ketaatan mereka kepada Allah agar tidak sampai mengalami kejadiaan itu selama-lamanya di neraka.
6. Syukr ‘Âlim al-Khafiyyât (Bersyukur Mengetahui Kenikmatan Tersembunyi) Manusia sering lalai atas nikmat Tuhan yang mengelilinginya sehari-hari seperti udara, nafas, gerak dan lain sebagainya. Menurut Imam Izzuddin al-Sulami, puasa dapat mengembalikan ingatan itu dan membuat mereka mensyukurinya. Beliau berkata: إذا صام عرف نعمة الله عليه في الشِّبَع والرِّيّ فشكرها لذلك, فإنّ النِّعَم لا يُعرف مقدارُها إلّا بفقدها “Ketika berpuasa, manusa menjadi tahu nikmat Allah kepadanya berupa kenyang dan terpenuhinya rasa haus. Karena itu mereka bersyukur. Sebab, kenikmatan tidak diketahui kadar/nilainya tanpa melalui hilangnya rasa nikmat itu (terlebih dahulu).” (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 17). Kelalaian akan segala nikmat Allah harus diuji agar kembali dikenali. Ujian itu bisa dihadirkan “tanpa disengaja” dan “dengan disengaja”. Ujian “tanpa disengaja” adalah ujian yang langsung dari Allah, contohnya sakit gigi (langsung dari Allah), sehingga penderitanya mengetahui nikmatnya sehat. Ujian “dengan disengaja” adalah ujian yang sengaja oleh pelakunya sebagai bentuk riyadlah (olah diri), contohnya berpuasa, sehingga pelakunya semakin mengenali nikmatnya kenyang dan hilangnya rasa haus.
7. Al-Inzijâr ‘an Khawâthir al-Ma’âshî wa al-Mukhâlafât (Mencegah Keinginan Bermaksiat dan Berlawanan) Dalam pandangan Imam Izzuddin, orang yang kenyang memiliki kecenderungan lebih untuk bermaksiat (thamahat ilâ al-ma’âshî), tapi di saat lapar dan haus, fokusnya lebih pada, “tasyawwafat ilâ al-math’ûmât wa al-masyrûbât—mencari makanan dan minuman (Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami, Maqâshid al-Shaum, hlm 17), sehingga mengurangi keinginannya berbuat jahat. Tapi sekali lagi perlu diingat, lapar dan haus di sini adalah puasa, bukan kelaparan yang disebabkan oleh keadaan tertentu (untuk lebih jelasnya baca nomor 3). Mudahnya begini, puasa merupakan ibadah yang memiliki cakupan waktu yang cukup panjang, dari mulai fajar hingga terbenamnya matahari. Dengan demikian, puasa bisa menjadi pencegah efektif untuk manusia dari melakukan perbuatan jahat. Ketika dia hendak melakukan sesuatu, dia teringat bahwa dirinya sedang berpuasa, atau puasanya telah mengingatkan dirinya agar tidak melakukannya. Jika dia tetap melakukannya, dia telah menghilangkan keberkahan puasanya sekaligus melanggar janjinya kepada Tuhan setelah mengikrarkan niatnya untuk berpuasa. Inilah tujuh faedah puasa menurut sultannya para ulama, Imam Izzuddin bin Abdissalam al-Sulami. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bish shawab. Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/105818/tujuh-faedah-puasa-ramadhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar