Minggu, 22 Agustus 2021

Rabu, 28 Juli 2021

Modul PPKn Kelas 7,8,9 Semester Ganjil

 Modul PKn Kelas 7,8,9 semester ganjil ini terdiri dari beberapa bab. Tiap bab ada beberapa materi dan soal latihan untuk siswa. Silakan pilih salah satu materi sesuai instruksi guru mata pelajaran masing-masing.

Modul PPKn kelas 7

Modul PPKn kelas 8

Modul PPKn kelas 9

Rabu, 30 Juni 2021

CONTOH JADWAL PELAJARAN KOMBINASI DARING DAN LURING

Assalaamualaikum wr.wb

Temen-temen Bapak Ibu Guru hebat berikut kami share contoh jadwal pelajaran untuk moda kombinasi daring dan luring.

Silahkan di download file nya ya :


Contoh jadwal pelajaran moda kombinasi daring dan luring







RPP SILABUS dan PERANGKAT PEMBELAJARAN LAINNNYA PPKn SMP KELAS 7,8,9

 Assalamualaikum wr wb.


Selamat pagi,  Bapak / Ibu guru PPKn hebat seluruh Indonesia semuanya. Selamat bertemu kembali. 

Kali ini saya akan  berbagi perangkat pembelajaran khususnya mata pelajaran PPKn tingkat SMP yang bisa bapak ibu gunakan atau sekedar sebagai referensi. 

Perangkat Pembelajaran PPKn kelas 7

Perangkat Pembelajaran PPKn kelas 8 

Perangkat Pembelajaran PPKn kelas 9 

Silahkan bisa langsung diunduh dan kemudian diprint atau bisa juga sekedar dibaca langsung terlebih dahulu secara online via Google Drive

Sekian terima kasih. 

Wassalamualaikum wr wb

Sumber : https://www.ppknsmpn2saronggi.my.id/2021/04/rpp-ppkn-smp-1-lembar.html

Selasa, 29 Juni 2021

CONTOH KALENDER PENDIDIKAN (KALPENDIK) TAHUN PELAJARAN 2021/2022 SEMESTER GENAP

 


CONTOH KALENDER PENDIDIKAN (KALPENDIK )KALENDER PENDIDIKAN SEMESTER GASAL

 




MAKALAH SEJARAH INDONESIA : PEMBERONTAKAN PRRI/PERMESTA DAN DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959

 

 

 

 

 

BAB I PENDAHULUAN

 

A.       Latar Belakang

Setelah bangsa Indonesia kembali ke dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kondisi stabilitas negara belum juga pulih karena munculnya persoalan atau pemberontakan di dalam negeri dan timbulnya ketidakpuasaan terhadap pemerintah pusat di daerah-daerah. Selepas RIS dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia menerapkan demokrasi liberal yang condong ke arah blok Barat. Pada masa ini, gejolak politik begitu banyak mewarnai. Misalnya saja, pergantian kabinet sebanyak tujuh kali pada masa 1950-1959 menunjukkan ketidakstabilan politik NKRI. Selanjutnya, pelaksanaan pemilu pertama tahun 1955 yang diharapkan mampu menciptakan stabilitas politik pada masa itu tampaknya belum bisa terwujud. Gejolak di berbagai daerah sebagai wujud ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat semakin menjadi.

Menurut Marwati (2011: 368), beberapa daerah di Provinsi Sumatera dan Sulawesi merasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat. Ketidakpuasaan dengan alokasi anggaran pembangunan yang diterima dari pusat. Karena upaya untuk mengubah kebijakan pemerintah pusat dengan jalan parlementer tidak dapat dilakukan maka daerah-daerah tersebut menempuh jalan ekstraparlementer. Gerakan-gerakan daerah tersebut mendapatkan dukungan dari beberapa panglima militer di Sumatera dan Sulawesi sehingga terbentuklah dewan-dewan daerah. Dewan-dewan daerah memproklamasikan gerakan-gerakan melawan pemerintah pusat dan pada akhirnya mengganggu kestabilan negara. Gerakan tersebut antara lain Gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berkedudukan di Sumatera dan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang berkedudukan di Sulawesi.


 

 

Dalam menyikapi kondisi ketidakstabilan negara pada saat itu baik dilihat dalam jalannya pemerintahan, konstitusi, maupun pergolakan-pergolakan yang terjadi di daerah maka presiden Soekarno mengeluarkan pemikirannya yang dikenal sebagai Konsepsi Presiden 21 Februari 1957. Konsepi yang diungkapkan oleh Presiden Soekarno ini menghendaki adanya perubahan dari demokrasi liberal menjadi demokrasi terpimpin. Kegagalan merumuskan konstitusi baru dan ketidakmampuan bekerja secara parlementer untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui Konstituante serta rentetan peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959, akhirnya mendorong Presiden Soekarno mengambil langkah-langkah politik untuk mengatasi keadaan darurat tersebut. Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 dalam upacara resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam kerangka sebuah sistem demokrasi, yakni Demokrasi Terpimpin.

Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis akan membahas lebih dalam lagi mengenai materi tersebut dalam makalah yang berjudul “Pemberontakan PRRI/Permesta dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959”.

 

B.        Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:

1.      Bagaimana pemberontakan PRRI/Permesta?

2.      Bagaimana Dekrit Presiden 5 Juli 1959?

 

 

C.       Tujuan Penulisan

Sejalan dengan  rumusan masalah di atas, maka penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1.      Menjelaskan pemberontakan PRRI/Permesta

2.      Menjelaskan Dekrit Presiden 5 Juli 1959

3.      Memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Indonesia.


 

 

BAB II KAJIAN TEORI

 

Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) merupakan bentuk konflik sosial. Hal ini terlihat dari adanya suatu proses sosial dimana suatu kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan (pemerintah) dengan disertai ancaman dan kekerasan. Adapun secara teori pemberontakan PRRI dan Permesta dapat dikaji dengan pendekatan teori konflik Ralf Dahrendorf. Adapun Dekrit Presiden 5 Juli 2021 merupakan bentuk perubahan sosial dalam hal ini tepatnya perubahan politik.

A.       Konflik Sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah konflik berasal dari bahasa Latin, yang berarti bertabrakan, bertubrukan, terbentur, bentrokan, bertanding, berjuang, berselisih, atau berperang. Adapun menurut Soerjono Soekanto, konflik sosial itu sendiri merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan dengan disertai ancaman dan kekerasan. Sedangkan Lewis A Coser mengemukakan konflik sosial sebagai perselisihan mengenai nilai- nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya terbatas. Pihak-pihak yang sedang berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh sumber-sumber yang diinginkan, tetapi juga memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka.

Kesimpulannya, konflik sosial adalah sebuah proses sosial yang ditandai adanya pertentangan atau perselisihan antar individu atau kelompok untuk memenuhi tujuan yang diinginkan dengan jalan menantang pihak lawan dengan disertai ancaman dan kekerasan.


 

 

B.        Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Menurut Ralf Dahrendorf, konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Maka itu, konflik tidak mungkin melibatkan individu ataupun kelompok yang tidak terhubung dalam sistem. Dalam teori Dahrendorf, relasi- relasi di struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan. Adapun kekuasaan yang dimaksud oleh Dahrendorf adalah kekuasaan atas kontrol dan sanksi yang memungkinkan pemilik kekuasaan memberikan perintah dan meraih keuntungan dari mereka yang tidak berkuasa. Konflik terjadi ketika kewenangan tidak merata atau merugikan. Selanjutnya, Dahrendorf membedakan tiga tipe utama kelompok. Pertama adalah kelompok semu (quasi group) atau “sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama”. Kelompok semu ini adalah calon anggota tipe kedua, yakni kelompok kepentingan. Dari berbagai jenis kelompok kepentingan itulah muncul kelompok konflik atau kelompok yang terlibat dalam konflik kelompok aktual.

Dalam pandangan Dahrendorf, konflik kepentingan menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan dari relasi antara pemilik kekuasaan dan mereka yang tidak berkuasa. Pada awalnya, Dahrendorf merumuskan teori konflik sebagai teori parsial yang digunakan untuk menganalisis fenomena sosial. Lantas, Dahrendorf melihat masyarakat memiliki dua sisi berbeda, yaitu konflik dan kerja sama (konsesus). Berdasarkan pemikiran itu, Dahrendorf menganalisis konflik sosial dengan perspektif dari sosiologi fungsionalisme struktural, untuk menyempurnakan teorinya. Dehrendorf mengaitkan pemikiran fungsional mengenai struktur dan fungsi masyarakat dengan teori konflik antarkelas sosial. Selain itu, Dehrendorf tidak memandang masyarakat sebagai suatu hal yang statis, melainkan bisa berubah oleh adanya konflik sosial.

Singkatnya Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba.


 

 

Dalam hal pemberontakan PRRI/Permesta yang menjadi penyebab pemberontakan adalah rasa ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat karena alokasi dana yang dirasa kurang adil. Pemberontakan ini terjadi karena kewenangan tidak merata dan dirasa merugikan bagi masyarakat di luar Pulau Jawa.

 

C.     Teori Perubahan Sosial

Perubahan sosial merupakan suatu gejala yang akan selalu terjadi dalam kehidupan sosial. Perubahan sosial akan terus berlangsung dan perkembangannya tidak akan berhenti. Dalam hal Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka perubahan sosial dalam hal ini tepatnya perubahan politik terjadi secara cepat dan dilatarbelakangi oleh situasi konflik atau instabilitas dalam negara. Dengan demikian teori perubahan sosial yang dapat dipakai adalah teori konflik dengan bentuk perubahan cepat atau revolusi.

Teori konflik akan menjelaskan bahwa perubahan sosial terbentuk karena adanya konflik dan ketegangan dalam masyarakat. Konflik ini biasanya berupa pertentangan antar kelas penguasa dengan masyarakat yang tertindas.Sehingga, masyarakat dalam kelas yang lebih rendah menginginkan adanya perubahan dengan mengatasnamakan keadilan. Berdasarkan teori ini, jika memang perubahan yang dikehendaki berhasil tercapai, maka pada akhirnya masyarakat yang terbentuk akan hidup tanpa pembagian kelas.

Bentuk perubahan revolusi merupakan bentuk perubahan sosial yang terjadi secara cepat, misalnya revolusi politik. Perubahan sosial ini yang berlangsung cepat karena menyangkut unsur-unsur kehidupan atau lembaga- lembaga kemasyarakatan. Dalam revolusi perubahan dapat direncanakan atau tidak direncanakan, dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Namun, revolusi seringkali diawali ketegangan atau konflik dalam tubuh masyarakat bersangkutan.


 

 

BAB III PEMBAHASAN

 

A.       Pemberontakan PRRI/Permesta

1.         Latar Belakang Pemberontakan PRRI/Permesta

Yamin (2009:1) mengemukakan bahwa munculnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) adalah sebagai akumulasi dari kekecewaan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat di Jakarta. Kekecewaan yang diakibatkan oleh sentralisasi kekuasaan dan memunculkan kesenjangan pembangunan di segala bidang antara pusat dan daerah, pembangunan di daerah terutama di Sumatera Tengah. Kecilnya alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pusat kepada daerah menyebabkan pembangunan di daerah terhambat. Hal yang sama juga dirasakan oleh pejabat-pejabat militer di daerah yang menyebabkan antara lain mereka tidak mampu membangun asrama yang laik bagi pasukannya. Gerakan-gerakan daerah ini didukung oleh beberapa panglima militer dengan membentuk dewan-dewan daerah.

Walaupun kemudian oleh pemerintah RI perjuangan PRRI dianggap sebagai pemberontakan yang berhasil ditumpas oleh pemerintah, namun kalau dipahami latar belakang timbulnya PRRI adalah karena kekecewaan terhadap sentralisasi kekuasaan dan pembangunan yang tidak merata. Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada mulanya bukan suatu gerakan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gerakan ini mengambil wilayah Sumatera Tengah sebagai basis kekuatannya.

Lebih lengkapnya, faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan ini adalah karena:

a.         Terjadinya penciutan kesatuan militer Sumatera Tengah dari tingkat Divisi menjadi Brigade

b.        Pengangkatan Ruslan Muljoharjo, seorang birokrat Jawa sebagai Pejabat Gubernur,


 

 

c.         Sedikitnya anggaran pembangunan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah,

d.        Semakin    besarnya    pengaruh    Partai    Komunis    Indonesia   (PKI)   dalam pemerintahan Republik Indonesia

e.         Diberhentikannya beberapa komandan militer daerah dan,

f.          Pecahnya dwitunggal Soekarno-Hatta.

 

 

2.         Pendirian PRRI/Permesta

Tanggal 2 Maret 1957 Letkol Ventje Sumual memproklamasikan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Wilayahnya meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Gerakan ini dikenal dengan nama gerakan Permesta yang berpusat di Sulawesi. Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia bagian Timur yang berasal dari Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku.

Disusul tanggal 15 Februari 1958, ketua Dewan Banteng Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Dibentuknya PRRI oleh tokoh-tokoh Dewan Banteng tersebut menandai meletusnya pemberontakan PRRI di Sumatera.

Pembentukan PRRI di Sumatera segera mendapat sambutan di Indonesia bagian timur. Pada tanggal 17 Februari 1958, Letkol D.J. Somba, komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah mulai memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan menyatakan mendukung sepenuhnya gerakan PRRI.

 

3.         Jalannya Pemberontakan PRRI/Permesta

Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi. Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi


 

 

perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang dibentuk antara lain:

a)       Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kolonel Simbolon di Sumatera Utara.

b)      Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein

c)       Dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.

d)      Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.

Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kolonel Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung. Melalui dewan gajah tersebut, Kolonel Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan pernyataan:

a.      Melepaskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat

b.      Mulai tanggal 22 Desember 1956 tidak lagi mengakui Kabinet Djuanda.

c.      Mulai tanggal 22 Desember 1956 mengambil alih pemerintahan di wilayah tertera dan tetorium I.

Melalui pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara. Pada tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan melalui Keputusan Presiden No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan Sumatera Timur dan Tapanuli, serta semua perairan yang mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB).

Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol Ventje Sumual mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan para Staffnya. Pertemuan tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera dapat dimulai.


 

 

Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur Makasar yang dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957. Pertemuan tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta [Permesta] yang ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur. Wilayah gerakan tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku. Untuk melancarkan program kerja Permesta, maka Kolonel Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah Indonesia Timuur dalam keadaan bahaya. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita- cita Piagam Perjuangan Permesta.

Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling berhubungan. Para pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan di Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah dilakukan pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk mematangkan rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat dan pembentukan negara secara terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi ultimatum tersebut antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar pemerintah memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang pembangunan menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di segala bidang, sedangkan di bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya dibentuk komandan utama di Sumatera Utara.

 

4.         Penumpasan Pemberontakan PRRI/Permesta

Dengan diproklamasikannya gerakan PRRI/Permesta maka pemerintah pusat memutuskan segera menyelesaikannya melalui upaya diplomasi dan upaya operasi militer atau kekuatan militer.


 

 

a.         Upaya Diplomasi

Melihat realita yang terjadi, Pemerintah Pusat melakukan berbagai cara untuk menyelesaikannya. Langkah pertama yang dilakukan oleh KSAD A.H. Nasution terhadap timbulnya awal gejolak pada bulan Desember 1956 adalah dengan mengeluarkan surat perintah tanggal 2 januari 1957 untuk Kolonel Gatot Subroto, Kol. Ahmad Yani, Letkol. Sjoeib, Mayor Alwin Nurdin, Ayor Sahala Hutabarat, dan Mayor Ali Hasan untuk menemui Kolonel Simbolon dan para komandan resimennya untuk mengusahakan agar tidak terjadi bentrok secara fisik. Namun usaha ini tidak berhasil karena cenderung kontroversif dengan keadaan.

Usaha Pemerintah Pusat untuk memenuhi tuntutan daerah yaitu dengan mengirim sejumlah misi, seperti misi Kol. Dahlan Djambel, menteri pertanian Eny Karim, Dr .J Leimena/ Sanusi, Prof. Zairin Zein/ Nazir Pamuntjak, dan Kol. Mokoginto. Misi-misi tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah di Sumatera Tengah. Misi tersebut kemudian disusul dengan pembentukan Panitia Tujuh dan penyelenggaraan Munas serta Musyawarah pembangunan. Namun semua usaha diplomasi yang dilakukan Pemerintah Pusat tidak berhasil.

 

b.        Upaya Operasi Militer

Usaha melalui diplomasi atau musyawarah tidak berhasil, untuk memulihkan keamanan negara, pemerintah dan KSAD memutuskan untuk melancarkan operasi militer. Operasi militer ini menggabungkan kekuatan TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Di daerah Sumatera Barat yang merupakan pusat kedudukan PRRI, diancarkan operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani. Selain untuk menghancurkan kekuatan pemberontak, operasi ini juga bertujuan untuk mencegah luasnya daerah gerakan serta turut campurnya kekuatan asing yang akan mengadakan intervensi dengan dalih melindungi kepentingan modal dan warga negaranya, karena di Sumatera Timur dan Riau terdapat kepentingan modal asing.

Sebelum Operasi 17 Agustus dilancarkan, terlebih dahulu dilakukan usaha untuk menguasai daerah Riau yang merupakan pusat instalasi-instalasi minyak


 

 

asing sehingga pihak asing (Amerika Serikat) tidak mempunyai alasan untuk turut campur. Untuk itu, dilancarkan Operasi Tegas di bawah pimpinan Letkol Kaharudin Nasution. Pada tanggal 12 Maret Pekanbaru dapat dikuasai.

Operasi lain yang dilancarkan ke Sumatera adalah Operasi Saptamarga di Sumatera Utara dan Operasi Sadar di Sumatera Selatan. Operasi Saptamarga ditujukan untuk menghadapi pasukan Boyke Nainggolan di Sumatera Timur dan Tapanuli, sedangkan Operasi Sadar untuk menghadapi pasukan Mayor Namawi. Berbeda dengan operasi lainnya, Operasi Sadar lebih merupakan operasi intelijen. Selanjutnya, Operasi 17 Agustus dilanjutkan untuk menguasai pusat basis pemberontakan di Bukittinggi dan pada tanggal 4 Mei 1958 daerah Bukittinggi berhasil dikuasai pasukan TNI.

Dengan semakin gencarnya operasi-operasi militer maka ruang gerak PRRI semakin sempit. Banyak tokoh-tokoh PRRI akhirnya menyerahkan diri, seperti Achmad Hussein dan pasukannya pada tanggal 29 Mei 1961 serta disusul tokoh-tokoh PRRI lainnya.

Pemberontakan Permesta yang terjadi di Sulawesi juga dapat ditumpas oleh operasi militer. Untuk menumpas pemberontakan Permesta ini, operasi militer yang dilakukan TNI dinamakan Operasi Merdeka yang terdiri dari Operasi Saptamarga I, II, III, IV dan Operasi Mena I dan II yang dipimpin oleh Letkol Rukmito.

Sebelum operasi pokok dilancarkan, terlebih dahulu digerakkan Operasi Insyaf di daerah Sulawesi Tengah yang dipimpin oleh Letkol Jonosewojo. Operasi ini berhasil menguasai Kota Palu pada tanggal 18 April 1958. Untuk mengamankan seluruh wilayah Sulawesi Tengah, dilancarkan Operasi Saptamarga I yang berhasil menguasai seluruh Sulawesi Tengah.

Operasi Saptamarga II di bawah pimpinan Mayor Agus Prasmono ditujukan untuk menguasai daerah Gorontalo. Operasi Saptamarga III di bawah pimpinan Letkol Magenda berhasil menguasai Kepulauan Talaud. Sedangkan Operasi Saptamarga IV yang dipimpin langsung Letkol Rukmito berhasil menguasai Manado.


 

 

Operasi Mena I di bawah pimpinan Letkol H. Pieters ditujukan untuk menguasai Jailolo, sedangkan Operasi Mena II di bawah pimpinan Letkol (KKO) Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai.

Dibandingkan dengan PRRI, pemberontakan Permesta mempunyai kelebihan, yakni memiliki pesawat terbang. Selain itu, dalam pemberontakan Permesta telah ditemukan bukti adanya keterlibatan pihak asing dalam gerakan tersebut. Hal tersebut terbukti dengan berhasil ditembak jatuhnya pesawat udara pengebom milik AUREV Permesta yang dipiloti oleh Allan Pope, seorang penerbang asing Amerika pada tanggal 18 Mei 1958 di atas perairan Ambon.

Dengan dikuasainya kota-kota yang berada di Sumatera dan Sulawesi secara praktis membuat kekuatan PRRI/Permesta lumpuh. Namun untuk beberapa waktu lamanya mereka masih melakukan perlawanan secara gerilya. Secara keseluruhan, perlawanan ini berakhir pada tahun 1961 dengan menyerahnya para pemimpin PRRI/Permesta dan dibantu oleh bantuan kekuatan anti-PRRI/Permesta seperti Satuan Kepolisian Sumatera Tengah dan Pasukan Brimob Sulawesi Tengah.

 

5.         Dampak Pemberontakan PRRI/Permesta

Terjadinya PRRI/Permesta membawa luka luar dalam bagi masyarakat di dalamnya. Di Minang, korban yang jatuh dari pihak PRRI kurang lebih berjumlah

22.174 jiwa, 4.360 luka-luka, dan 8.072 ditahan. Dari pihak APRI pusat jumlah yang meninggal adalah 10.150 jiwa, terdiri dari 2.499 tentara, 956 anggota OPR, 274 Polisi, dan 5.592 orang sipil. Pembangunan fisik yang selama ini dibangun menjadi hancur. Masyarakat Minang menjadi rendah diri lalu merantau.

Perubahan kebijakan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah. Dekrit presiden 5 juli 1959 yang menetapkan kembalinya pemerintahan sesuai dengan UUD 1945. Dengan berhasil ditumpasnya PRRI/Permesta maka PKI justru berkembang sebagai kekuatan yang semakin kuat di tubuh TNI AD dan semakin berpengaruh terhadap Soekarno dalam kaitannya dengan perpolitikan Indonesia yaitu diakuinya Nasakom (nasionalisme, sosialisme, dan agama).


 

 

Dampak selanjutnya adalah menimbulkan kesadaran di kalangan pimpinan negara bahwa wilayah NKRI terdiri dari kepulauan yang luas dan beraneka ragam masalah di setiap daerah. Semboyan Binneka tunggal Ika harus dihayati makna dan hakekatnya. Hak otonomi yang luas memang perlu diberikan kepada setiap daerah agar setiap kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masing- masing daerah.

Peristiwa gerakan separatis tersebut menyebabkan jatuhnya kabinet Ali II pada tanggal 14 Maret 1957 yang ditandai dengan penyerahan mandat dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo kepada Presiden. Kabinet tersebut digantikan oleh kabinet Djuanda yang secara resmi di bentuk pada tanggal 9 April 1957.

 

B.       Dekrit Presiden 5 Juli 1959

1.         Latar Belakang Dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dalam masa demokrasi parlementer kabinet jatuh bangun dalam tenggang waktu relatif singkat dan ini berakibat pada instabilitas pemerintahan. Keadaan ini mencerminkan “kekurangmampuan” pelaku-pelaku utama demokrasi dalam mengalola pemerintahan negara yang barangkali karena miskinnya pengalaman dan terpolarisasinya masyarakat dalam kelompok-kelompok ideologis politis yang kuat. Tidak ada satu kabinet pun dalam masa demokrasi parlementer ini mampu memberi jaminan untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan dan pembangunan masyarakat secara memadai, serta fungsi memelihara persatuan bangsa.

Barangkali pertimbangan-pertimbangan praktikal dan moral dan kenyataan berlarutnya sidang konstituante untuk menetapkan UUD, menjadi alasan bagi Presiden Soekarno untuk mengusulkan rencana tentang pelaksanaan “demokrasi terpimpin” dalam rangka kembali ke UUD 1945. Serta mengajukan “konsepsi Presiden” tanggal 22 Februari 1957, yang kemudian berturut turut diikuti langkah Presiden menyatakan “keadaan darurat nasional” tanggal 14 maret 1957, membentuk kabinet “Gotong Royong” tanggal 9 April 1957, mengajukan usul kepada konstituante untuk kembali ke UUD 1945 tanggal 22 April 1957 dan akhirnya mengeluarkan dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.


 

 

Selain itu adanya keinginan Soekarno untuk mempunyai kekuasaan yang lebih besar. Undang-Undang Dasar yang berlaku di Indonesia secara langsung telah membatasi kekuasaan Presiden Soekarno. Pada tanggal 5 Juli 1959. Soekarno membubarkan Majelis Konstituante dan memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar yang lama.Pada tanggal 9 Juli 1959 diumumkan suatu “Kabinet Kerja” dengan Soekarno sebagai Perdana Menteri dan Djuanda sebagai menteri utama. Pada bulan Juli itu juga lembaga-lembaga demokrasi terpimpin pun diumumkan, Dewan Nasional dibubarkan dan dibentuk dewan Pertimbangan Agung.

Faktor lain yang melatar belakangi munculnya dekrit Presiden adalah kegagalan konstituante dalam menetapkan UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950. Konstituante merupakan badan yang bertugas untuk membuat UUD (konstituante). Di dalam konstituante terdapat tiga kelompok yang berbeda prinsip, yaitu :

Ø  Golongan islam yang menghendaki dasar negara Islam

Ø  Golongan nasionalis yang menghendaki dasar negara pancasila

Ø  Golongan komunis yang menghendaki dasar negara komunis (Suprapto, 1985:200)

Prinsip ketiga kelompok ini sulit untuk dikompromikan, sehingga sidang konstituante untuk menetapkan UUD mengalami jalan buntu. Dalam amanatnya tanggal 22 April 1959 di depan sidang konstituante, Presiden Soekarno mengharapkan agar kembali kepada UUD 1945. Tentu saja anjuran Presiden ini ada yang setuju dan ada pula yang tidak menyetujuinya.Untuk itu harus diadakan permusyawaratan dalam konstituante guna mendapatkan suatu mufakat.Tetapi hal ini berkali kali dijalankan tanpa hasil yang memuaskan.

Satu satunya jalan ialah pemungutan suara untuk mengetahui anggota yang setuju dan anggota yang tidak setuju. Pada tanggal 30 Mei 1959 diadakan pemungutan suara (voting). Dari 468 anggota yang hadir, yang setuju kembali ke UUD 1945 adalah 269 orang dan yang tidak setuju ada 199 orang, hasil ini belum memenuhi syarat. Pemungutan suara seperti ini diadakan sampai tiga kali,


 

 

meskipun angkanya tidak sama namun hasilnya tetap tidak memenuhi persyaratan dalam menentukan keputusan.

Keadaan bertambah sulit, karena anggota konstituante sudah menjalani masa reses, dan sulit untuk dikumpulkan.Ditambah lagi sudah banyak anggota konstituante yang malas untuk datang menghadiri sidang. Keadaan seperti ini akan membawa kepada situasi dan kondisi yang tidak menentu. Sebagai akhir kemelut ini Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang terkenal dengan nama “dekrit presiden”. Yang isinya menetapkan :

Ø  Pembubaran konstituante

Ø  Tidak berlakunya UUDS 1950 dan Berlakunya kembali UUD 1945

Ø  Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang singkat.

Namun demikian, dekrit presiden ini sudah memenuhi syarat-syarat suatu dekrit, karena :

Ø  Dikeluarkan oleh penguasa tertinggi yaitu Presiden Soekarno

Ø  Secara sepihak yaitu menurut kehendak dari Presiden sendiri tanpa ada suatu musyawarah atau persetujuan terlebih dulu dari lembaga legislatif

Ø  Demi keselamatan bangsa dan negara.

 

 

2.         Alasan dan Pengaruh Dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959

a.         Alasan Dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959

1)        Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.

2)        Situasi politik yang kacau dan semakin buruk

3)        Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional

4)        Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat

5)        Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai

6)        Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950)


 

 

dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia

7)        Terjadinya    sejumlah    pemberontakan    di   dalam    negeri    yang    semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan separatisme.

 

b.      Pengaruh Dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959

Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka negara kita memiliki kekuatan hukum untuk menyelamatkan negara dan bangsa Indonesia dan ancaman perpecahan. Sebagai tindak lanjut dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka dibentuklah beberapa lembaga negara yakni: Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR – GR). Dalam pidato Presiden Soekarno berpidato pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato yang terkenal dengan sebutan “Manifesto Politik Republik Indonesia” (MANIPOL) ini oleh DPAS dan MPRS dijadikan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Menurut Presiden Soekarno bahwa inti dan Manipol ini adalah Undang- Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Kelima inti manipol ini sering disingkat USDEK. Dengan demikian sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan bemegara ini baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya.

Dalam bidang politik, semua lembaga negara harus berintikan Nasakom yakni ada unsur Nasionalis, Agama, dan Komunis. Dalam bidang ekonomi pemerintah menerapkan ekonomi terpimpin, yakni kegiatan ekonomi terutama dalam bidang impor hanya dikuasai orang- orang yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah. Sedangkan dalam bidang sosial budaya, pemerintah melarang budaya-budaya yang berbau Barat dan dianggap sebagai bentuk penjajahan baru atau Neo Kolonialis dan imperalisme (Nekolim) sebab dalam hal ini pemerintah lebih condong ke Blok Timur.


 

 

3.      Dampak Dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959

a.      Dampak Positif

Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959:

Ø  Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.

Ø  Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.

Ø  Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.

 

b.        Dampak Negatif

Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959:

Ø  Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD

45 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.

Ø  Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR, dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.

Ø  Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.


 

 

BAB IV PENUTUP

 

A.       Kesimpulan

Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berkedudukan di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang berkedudukan di Sulawesi merupakan bentuk pemberontakan yang disebabkan oleh adanya ketidakpuasaan terhadap pemerintah pusat. Pemberontakan ini dapat menyebabkan disintegrasi bangsa karena berniat memisahkan diri dari NKRI. Pemberontakan ini dapat ditumpas oleh operasi militer yang dilakukan oleh TNI.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan dekrit yang dikeluarkan presiden dengan dasar hukum yaitu hukum darurat Negara mengingat keadaan negara yang sedang dilanda berbagai pemberontakan yang membahayakan persatuan dan keselamatan bangsa. Adapun isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 antara lain:

1)        Membubarkan Dewan Konstituante

2)        Memberlakukan kembali UUD 1945 dan membekukan berlakunya UUDS 1950

3)        Segera membentuk MPRS dan DPAS.

 

 

B.        Saran

Berdasarkan pembahasan di atas penulis membuat sejumlah saran sebagai berikut.

1.         Rasa persatuan dan kesatuan, cinta tanah air, dan nasionalisme harus senantiasa ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pemberontakan- pemberontakan yang mengancam disintegrasi bangsa.

2.         Kebijakan pemerintah dan pembangunan harus menjamin keadilan dan kesejahteraan di semua lapisan masyarakat dan daerah.

3.         Untuk pembuatan makalah selanjutnya sebaiknya menjelaskan lebih detail lagi mengenai keterkaitan pemberotakan-pemberontakan dengan perubahan sosial dan politik suatu negara.


 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Alian.2004. Sejarah Nasional Indonesia IV. Palembang : Modul.

Audrey Kahin. 2008. Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Budiarjo, Miriam. 2008. Edisi Revisi; Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Leo, Agung dan Aris Listiyani Dwi. 2009. Mandiri Sejarah. Jakarta: Erlangga. May, Eni. 2008. Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dan Gagalnya

Penerapan Sistem Otonomi Daerah Di Sumatera Barat 1956-1961. Laporan Penelitian Jurusan Sejarah Universitas Andalas: tidak diterbitkan.

M.C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada Press. Poesponegoro, Marwati Djoened. 2011. Sejarah Nasional VI. Jakarta: Balai

Pustaka.

Rahmaniah, Aniek. 2010. Modul Teori Konflik: Ralf Dahrendorf. Surabaya: Tidak diterbitkan.

https://www.quipper.com/id/blog/mapel/sosiologi/teori-perubahan-sosial/

Aksi nyata modul 1.2

Berikut adalah link aksi nyata modul 1.2 program guru penggerak angkatan 9 Link aksi nyata modul 2.1