Modul PKn Kelas 7,8,9 semester ganjil ini terdiri dari beberapa bab. Tiap bab ada beberapa materi dan soal latihan untuk siswa. Silakan pilih salah satu materi sesuai instruksi guru mata pelajaran masing-masing.
Rabu, 28 Juli 2021
Rabu, 30 Juni 2021
CONTOH JADWAL PELAJARAN KOMBINASI DARING DAN LURING
Assalaamualaikum wr.wb
Temen-temen Bapak Ibu Guru hebat berikut kami share contoh jadwal pelajaran untuk moda kombinasi daring dan luring.
Silahkan di download file nya ya :
RPP SILABUS dan PERANGKAT PEMBELAJARAN LAINNNYA PPKn SMP KELAS 7,8,9
Assalamualaikum wr wb.
Selasa, 29 Juni 2021
MAKALAH SEJARAH INDONESIA : PEMBERONTAKAN PRRI/PERMESTA DAN DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959
A.
Latar Belakang
Setelah
bangsa Indonesia kembali
ke dalam bentuk Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), kondisi stabilitas negara belum juga pulih
karena munculnya persoalan
atau pemberontakan di dalam negeri dan timbulnya
ketidakpuasaan terhadap pemerintah pusat di daerah-daerah. Selepas RIS dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia menerapkan demokrasi liberal yang
condong ke arah blok Barat. Pada masa ini, gejolak politik begitu banyak mewarnai. Misalnya saja, pergantian
kabinet sebanyak tujuh kali pada masa 1950-1959
menunjukkan ketidakstabilan politik
NKRI. Selanjutnya, pelaksanaan pemilu pertama tahun 1955 yang
diharapkan mampu menciptakan stabilitas politik
pada masa itu tampaknya belum bisa terwujud.
Gejolak di berbagai daerah sebagai wujud
ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat semakin menjadi.
Menurut Marwati (2011: 368), beberapa
daerah di Provinsi Sumatera dan Sulawesi
merasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat. Ketidakpuasaan dengan alokasi anggaran pembangunan yang
diterima dari pusat. Karena upaya untuk
mengubah kebijakan pemerintah pusat dengan jalan parlementer tidak dapat dilakukan maka daerah-daerah tersebut
menempuh jalan ekstraparlementer. Gerakan-gerakan daerah tersebut mendapatkan dukungan dari
beberapa panglima militer di Sumatera
dan Sulawesi sehingga terbentuklah dewan-dewan daerah. Dewan-dewan daerah memproklamasikan gerakan-gerakan melawan
pemerintah pusat dan pada akhirnya
mengganggu kestabilan negara. Gerakan tersebut antara lain Gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) yang berkedudukan di Sumatera dan Piagam
Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang berkedudukan di Sulawesi.
Dalam menyikapi kondisi ketidakstabilan
negara pada saat itu baik dilihat dalam jalannya
pemerintahan, konstitusi, maupun pergolakan-pergolakan yang terjadi di daerah maka presiden Soekarno
mengeluarkan pemikirannya yang dikenal
sebagai Konsepsi Presiden 21 Februari 1957. Konsepi yang diungkapkan oleh Presiden Soekarno ini menghendaki
adanya perubahan dari demokrasi liberal menjadi demokrasi
terpimpin. Kegagalan merumuskan konstitusi baru dan ketidakmampuan
bekerja secara parlementer untuk kembali ke UUD 1945 dengan melalui
Konstituante serta rentetan
peristiwa-peristiwa politik yang mencapai klimaksnya dalam bulan Juni 1959, akhirnya
mendorong Presiden Soekarno
mengambil langkah-langkah politik untuk mengatasi keadaan darurat
tersebut. Presiden Soekarno
pada tanggal 5 Juli 1959 dalam upacara
resmi di Istana Merdeka, mengumumkan Dekrit Presiden mengenai
pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 dalam
kerangka sebuah sistem demokrasi, yakni Demokrasi Terpimpin.
Berdasarkan pemaparan di atas maka
penulis akan membahas lebih dalam lagi mengenai
materi tersebut dalam makalah yang berjudul “Pemberontakan PRRI/Permesta dan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka dapat dibuat
rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana pemberontakan PRRI/Permesta?
2. Bagaimana Dekrit
Presiden 5 Juli 1959?
C. Tujuan Penulisan
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka penulisan makalah
ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan pemberontakan PRRI/Permesta
2. Menjelaskan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959
3. Memenuhi salah
satu tugas mata kuliah
Sejarah Indonesia.
BAB II KAJIAN TEORI
Pemberontakan Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) dan Piagam
Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) merupakan bentuk konflik sosial. Hal ini terlihat dari adanya suatu proses
sosial dimana suatu kelompok berusaha untuk
memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan (pemerintah) dengan disertai ancaman
dan kekerasan. Adapun secara teori pemberontakan PRRI dan Permesta dapat dikaji dengan
pendekatan teori konflik Ralf Dahrendorf. Adapun
Dekrit Presiden 5 Juli 2021 merupakan bentuk perubahan sosial dalam hal ini tepatnya perubahan politik.
A. Konflik Sosial
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah
konflik berasal dari bahasa Latin, yang berarti
bertabrakan, bertubrukan, terbentur, bentrokan, bertanding, berjuang,
berselisih, atau berperang. Adapun menurut Soerjono
Soekanto, konflik sosial itu sendiri
merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha
untuk memenuhi tujuannya
dengan jalan menantang
pihak lawan dengan disertai ancaman
dan kekerasan. Sedangkan
Lewis A Coser mengemukakan konflik sosial sebagai perselisihan mengenai
nilai- nilai atau tuntutan-tuntutan
berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya terbatas. Pihak-pihak yang sedang
berselisih tidak hanya bermaksud
untuk memperoleh sumber-sumber yang diinginkan, tetapi juga memojokkan, merugikan atau
menghancurkan lawan mereka.
Kesimpulannya, konflik sosial adalah
sebuah proses sosial yang ditandai adanya pertentangan atau perselisihan antar individu atau kelompok untuk memenuhi
tujuan yang diinginkan dengan jalan menantang pihak lawan dengan disertai
ancaman dan kekerasan.
B.
Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Menurut
Ralf Dahrendorf, konflik
hanya muncul melalui
relasi-relasi sosial dalam
sistem. Maka itu, konflik tidak mungkin melibatkan individu ataupun kelompok yang tidak terhubung dalam
sistem. Dalam teori Dahrendorf, relasi- relasi di struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan. Adapun kekuasaan yang dimaksud oleh Dahrendorf adalah kekuasaan atas kontrol dan sanksi yang memungkinkan
pemilik kekuasaan memberikan perintah dan meraih keuntungan dari mereka yang tidak berkuasa. Konflik
terjadi ketika kewenangan tidak merata atau
merugikan. Selanjutnya, Dahrendorf membedakan tiga tipe utama kelompok. Pertama adalah kelompok semu (quasi group) atau “sejumlah pemegang
posisi dengan kepentingan yang sama”.
Kelompok semu ini adalah calon anggota tipe kedua,
yakni kelompok kepentingan. Dari
berbagai jenis kelompok kepentingan itulah muncul kelompok konflik atau
kelompok yang terlibat
dalam konflik kelompok
aktual.
Dalam pandangan Dahrendorf, konflik
kepentingan menjadi sesuatu yang tidak
terhindarkan dari relasi antara pemilik kekuasaan dan mereka yang tidak berkuasa.
Pada awalnya, Dahrendorf merumuskan teori konflik
sebagai teori parsial yang digunakan untuk menganalisis
fenomena sosial. Lantas, Dahrendorf melihat masyarakat memiliki dua sisi berbeda, yaitu konflik dan kerja sama (konsesus).
Berdasarkan pemikiran itu, Dahrendorf menganalisis konflik sosial dengan perspektif dari sosiologi fungsionalisme struktural, untuk menyempurnakan teorinya. Dehrendorf mengaitkan pemikiran fungsional mengenai struktur dan fungsi masyarakat
dengan teori konflik antarkelas sosial. Selain
itu, Dehrendorf tidak memandang masyarakat sebagai suatu hal yang statis, melainkan bisa berubah oleh adanya konflik sosial.
Singkatnya Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah
kelompok konflik muncul,
kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial.
Bila konflik itu hebat, perubahan
yang terjadi adalah radikal.
Bila konflik disertai tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba.
Dalam
hal pemberontakan PRRI/Permesta yang menjadi penyebab
pemberontakan adalah rasa ketidakpuasan terhadap
pemerintah pusat karena alokasi dana yang dirasa kurang adil. Pemberontakan ini terjadi karena kewenangan
tidak merata dan dirasa merugikan bagi masyarakat di luar Pulau Jawa.
C. Teori Perubahan Sosial
Perubahan sosial merupakan suatu gejala
yang akan selalu terjadi dalam kehidupan
sosial. Perubahan sosial akan terus berlangsung dan perkembangannya tidak akan berhenti. Dalam hal Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 maka perubahan sosial dalam
hal ini tepatnya perubahan politik terjadi secara cepat dan dilatarbelakangi oleh situasi konflik
atau instabilitas dalam negara. Dengan demikian teori perubahan sosial yang dapat dipakai adalah teori konflik
dengan bentuk perubahan
cepat atau revolusi.
Teori konflik akan menjelaskan bahwa
perubahan sosial terbentuk karena adanya
konflik dan ketegangan dalam masyarakat. Konflik ini biasanya berupa pertentangan antar kelas penguasa dengan
masyarakat yang tertindas.Sehingga, masyarakat dalam kelas yang lebih rendah menginginkan adanya perubahan dengan mengatasnamakan keadilan.
Berdasarkan teori ini, jika memang
perubahan yang dikehendaki berhasil tercapai, maka pada akhirnya
masyarakat yang terbentuk akan hidup tanpa pembagian kelas.
Bentuk
perubahan revolusi merupakan
bentuk perubahan sosial yang terjadi
secara cepat, misalnya
revolusi politik. Perubahan
sosial ini yang berlangsung cepat karena menyangkut unsur-unsur kehidupan atau lembaga- lembaga
kemasyarakatan. Dalam revolusi
perubahan dapat direncanakan atau tidak
direncanakan, dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Namun, revolusi
seringkali diawali ketegangan atau konflik dalam tubuh masyarakat bersangkutan.
BAB III PEMBAHASAN
A. Pemberontakan PRRI/Permesta
1.
Latar Belakang
Pemberontakan PRRI/Permesta
Yamin
(2009:1) mengemukakan bahwa munculnya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) adalah sebagai
akumulasi dari kekecewaan rakyat di daerah terhadap
pemerintah pusat di Jakarta. Kekecewaan yang diakibatkan oleh sentralisasi kekuasaan
dan memunculkan kesenjangan pembangunan di segala bidang antara pusat dan daerah,
pembangunan di daerah terutama di Sumatera Tengah.
Kecilnya alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pusat kepada daerah menyebabkan pembangunan di daerah terhambat.
Hal yang sama juga dirasakan oleh pejabat-pejabat militer di daerah yang menyebabkan antara lain mereka tidak mampu membangun
asrama yang laik bagi pasukannya. Gerakan-gerakan daerah ini didukung oleh beberapa panglima
militer dengan membentuk dewan-dewan daerah.
Walaupun kemudian oleh pemerintah RI perjuangan PRRI dianggap sebagai pemberontakan yang berhasil
ditumpas oleh pemerintah, namun kalau dipahami latar belakang timbulnya
PRRI adalah karena kekecewaan terhadap sentralisasi kekuasaan
dan pembangunan yang tidak merata.
Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) pada mulanya bukan suatu gerakan
pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gerakan
ini mengambil wilayah Sumatera Tengah
sebagai basis kekuatannya.
Lebih
lengkapnya, faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya gerakan ini adalah
karena:
a.
Terjadinya penciutan kesatuan
militer Sumatera Tengah dari tingkat Divisi menjadi Brigade
b.
Pengangkatan Ruslan Muljoharjo, seorang
birokrat Jawa sebagai
Pejabat Gubernur,
c.
Sedikitnya anggaran pembangunan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah,
d.
Semakin besarnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam pemerintahan Republik Indonesia
e.
Diberhentikannya
beberapa komandan militer daerah
dan,
f.
Pecahnya dwitunggal Soekarno-Hatta.
2.
Pendirian PRRI/Permesta
Tanggal 2 Maret 1957 Letkol Ventje
Sumual memproklamasikan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Wilayahnya meliputi Sulawesi,
Nusa Tenggara, dan Maluku.
Gerakan ini dikenal dengan nama gerakan Permesta yang berpusat di Sulawesi. Piagam
Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) tersebut ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia bagian Timur yang
berasal dari Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku.
Disusul tanggal 15 Februari 1958, ketua
Dewan Banteng Achmad Hussein memproklamasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Dibentuknya PRRI oleh tokoh-tokoh Dewan Banteng tersebut
menandai meletusnya pemberontakan PRRI di Sumatera.
Pembentukan PRRI di Sumatera segera mendapat
sambutan di Indonesia bagian timur. Pada tanggal
17 Februari 1958, Letkol D.J. Somba, komandan
Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah mulai memutuskan hubungan
dengan pemerintah pusat
dan menyatakan mendukung sepenuhnya gerakan PRRI.
3.
Jalannya Pemberontakan PRRI/Permesta
Sebelum
lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus
antara pusat dengan daerah.
Pada Bulan November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan
tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan
perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi. Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi
situasi
perpolitikan Indonesia yang semakin mengarah
pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan tersebut juga
ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam
rangka memajukan pembangunan daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah.
Dewan-dewan yang dibentuk antara lain:
a) Dewan Gajah yang dipimpin
oleh Kolonel Simbolon
di Sumatera Utara.
b) Dewan Banteng
di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein
c) Dewan garuda
di Sumatera selatan
dipimpin oleh dhlan
Djambek.
d) Dewan Manguni
di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje
Sumual.
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan
antara pusat dan daerah,
terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab seperti yang
telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya
bersifat agresif dan bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut
terkait pula dengan pemberhentian Kolonel
Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya
dalam peristiwa penyelundupan di Teluk Nibung.
Melalui dewan gajah tersebut, Kolonel Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu
dengan pernyataan:
a.
Melepaskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat
b. Mulai tanggal
22 Desember 1956 tidak lagi mengakui Kabinet
Djuanda.
c.
Mulai tanggal 22 Desember 1956
mengambil alih pemerintahan di wilayah tertera dan tetorium I.
Melalui
pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera
Utara. Pada tanggal
24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan
melalui Keputusan Presiden No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan Sumatera
Timur dan Tapanuli,
serta semua perairan
yang mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB).
Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada
akhir Februari 1957, Panglima TT-VII
Letkol Ventje Sumual mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan para Staffnya. Pertemuan tersebut
melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa penyelesaian keamanan
harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta
segera dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan
pertemuan di kantor Gubernur Makasar
yang dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957. Pertemuan
tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta
[Permesta] yang ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia
Timur. Wilayah gerakan
tersebut meliputi kepulauan
Nusa Tenggara dan Maluku. Untuk melancarkan program kerja Permesta, maka Kolonel
Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah Indonesia
Timuur dalam keadaan bahaya. Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer untuk menjaga
ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita- cita Piagam Perjuangan Permesta.
Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama
dan saling berhubungan. Para pemimpin pemberontakan
di Sumatra mengadakan pertemuan di
Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut,
telah dilakukan pertemuan yang dihadiri Letkol
Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro
Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan forum perwira pembangkang ini untuk
aktif mencari senjata di luar negeri dan untuk
mematangkan rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah
pusat dan pembentukan negara secara terpisah
dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi ultimatum tersebut antara lain: di bidang
pemerintahan dituntut agar pemerintah memberikan Otonomi
yang luas kepada daerah. Pada bidang pembangunan menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan radikal
di segala bidang,
sedangkan di bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya dibentuk
komandan utama di Sumatera Utara.
4.
Penumpasan Pemberontakan PRRI/Permesta
Dengan
diproklamasikannya gerakan PRRI/Permesta maka pemerintah pusat memutuskan segera menyelesaikannya
melalui upaya diplomasi dan upaya operasi militer atau kekuatan militer.
a.
Upaya Diplomasi
Melihat realita yang terjadi, Pemerintah
Pusat melakukan berbagai cara untuk menyelesaikannya. Langkah pertama yang dilakukan oleh KSAD A.H. Nasution
terhadap timbulnya awal gejolak pada bulan Desember 1956 adalah dengan mengeluarkan surat perintah tanggal
2 januari 1957 untuk Kolonel Gatot Subroto,
Kol. Ahmad Yani, Letkol. Sjoeib, Mayor Alwin Nurdin, Ayor Sahala Hutabarat, dan Mayor Ali Hasan untuk
menemui Kolonel Simbolon dan para komandan resimennya untuk mengusahakan agar tidak terjadi
bentrok secara fisik. Namun usaha ini tidak berhasil karena cenderung kontroversif dengan keadaan.
Usaha Pemerintah Pusat untuk memenuhi
tuntutan daerah yaitu dengan mengirim sejumlah misi, seperti misi Kol. Dahlan Djambel, menteri pertanian Eny Karim, Dr .J Leimena/ Sanusi, Prof. Zairin Zein/ Nazir
Pamuntjak, dan Kol. Mokoginto. Misi-misi
tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah
di Sumatera Tengah. Misi
tersebut kemudian disusul dengan pembentukan Panitia Tujuh dan penyelenggaraan Munas serta Musyawarah pembangunan. Namun semua usaha diplomasi
yang dilakukan Pemerintah Pusat tidak berhasil.
b.
Upaya Operasi Militer
Usaha
melalui diplomasi atau musyawarah tidak berhasil, untuk memulihkan keamanan
negara, pemerintah dan KSAD memutuskan untuk melancarkan
operasi militer. Operasi militer ini menggabungkan kekuatan TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Di daerah Sumatera
Barat yang merupakan pusat kedudukan
PRRI, diancarkan operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani. Selain untuk menghancurkan
kekuatan pemberontak, operasi ini juga bertujuan untuk mencegah luasnya
daerah gerakan serta turut campurnya kekuatan asing yang akan mengadakan intervensi dengan dalih melindungi kepentingan modal dan warga negaranya, karena di Sumatera Timur
dan Riau terdapat kepentingan modal asing.
Sebelum Operasi 17 Agustus dilancarkan,
terlebih dahulu dilakukan usaha untuk menguasai daerah Riau yang merupakan pusat instalasi-instalasi minyak
asing sehingga pihak asing (Amerika Serikat) tidak
mempunyai alasan untuk turut campur. Untuk itu, dilancarkan Operasi Tegas di bawah pimpinan
Letkol Kaharudin Nasution. Pada tanggal 12 Maret
Pekanbaru dapat dikuasai.
Operasi lain yang dilancarkan ke Sumatera
adalah Operasi Saptamarga di Sumatera Utara dan Operasi
Sadar di Sumatera
Selatan. Operasi Saptamarga ditujukan untuk menghadapi pasukan Boyke Nainggolan di
Sumatera Timur dan Tapanuli,
sedangkan Operasi Sadar untuk menghadapi pasukan Mayor Namawi. Berbeda dengan operasi lainnya, Operasi
Sadar lebih merupakan operasi intelijen. Selanjutnya, Operasi
17 Agustus dilanjutkan untuk menguasai pusat basis pemberontakan di Bukittinggi dan pada
tanggal 4 Mei 1958 daerah Bukittinggi berhasil dikuasai pasukan TNI.
Dengan
semakin gencarnya operasi-operasi militer maka ruang gerak PRRI semakin sempit. Banyak tokoh-tokoh PRRI akhirnya menyerahkan diri, seperti
Achmad Hussein dan pasukannya pada tanggal 29 Mei 1961 serta disusul tokoh-tokoh PRRI lainnya.
Pemberontakan Permesta yang terjadi di Sulawesi juga dapat
ditumpas oleh operasi militer. Untuk menumpas pemberontakan Permesta ini, operasi
militer yang dilakukan TNI dinamakan Operasi Merdeka yang terdiri dari
Operasi Saptamarga I, II, III, IV dan
Operasi Mena I dan II yang dipimpin oleh Letkol Rukmito.
Sebelum operasi pokok dilancarkan,
terlebih dahulu digerakkan Operasi Insyaf
di daerah Sulawesi Tengah yang dipimpin oleh Letkol Jonosewojo. Operasi ini berhasil menguasai
Kota Palu pada tanggal 18 April 1958. Untuk mengamankan seluruh wilayah Sulawesi
Tengah, dilancarkan Operasi Saptamarga I
yang berhasil menguasai seluruh
Sulawesi Tengah.
Operasi
Saptamarga II di bawah pimpinan
Mayor Agus Prasmono
ditujukan untuk menguasai daerah Gorontalo. Operasi Saptamarga III di
bawah pimpinan Letkol Magenda berhasil
menguasai Kepulauan Talaud.
Sedangkan Operasi Saptamarga IV yang dipimpin
langsung Letkol Rukmito
berhasil menguasai Manado.
Operasi Mena I di bawah pimpinan Letkol H. Pieters ditujukan untuk menguasai Jailolo, sedangkan Operasi Mena
II di bawah pimpinan Letkol (KKO) Hunholz
untuk merebut lapangan udara Morotai.
Dibandingkan dengan PRRI, pemberontakan Permesta mempunyai kelebihan, yakni memiliki pesawat
terbang. Selain itu, dalam pemberontakan Permesta telah ditemukan bukti adanya keterlibatan pihak asing
dalam gerakan tersebut. Hal tersebut
terbukti dengan berhasil ditembak jatuhnya pesawat udara pengebom milik AUREV Permesta yang dipiloti oleh Allan Pope, seorang penerbang
asing Amerika pada tanggal
18 Mei 1958 di atas perairan Ambon.
Dengan
dikuasainya kota-kota yang berada di Sumatera dan Sulawesi secara praktis membuat kekuatan
PRRI/Permesta lumpuh. Namun untuk beberapa
waktu lamanya mereka masih melakukan
perlawanan secara gerilya.
Secara keseluruhan, perlawanan
ini berakhir pada tahun 1961 dengan menyerahnya para pemimpin PRRI/Permesta dan dibantu oleh bantuan kekuatan
anti-PRRI/Permesta seperti Satuan Kepolisian Sumatera
Tengah dan Pasukan
Brimob Sulawesi Tengah.
5.
Dampak Pemberontakan PRRI/Permesta
Terjadinya PRRI/Permesta membawa luka
luar dalam bagi masyarakat di dalamnya. Di Minang, korban yang jatuh dari pihak PRRI kurang lebih berjumlah
22.174 jiwa, 4.360 luka-luka, dan 8.072 ditahan. Dari pihak
APRI pusat jumlah yang meninggal
adalah 10.150 jiwa, terdiri dari 2.499 tentara, 956 anggota OPR, 274 Polisi, dan 5.592 orang sipil.
Pembangunan fisik yang selama ini dibangun menjadi hancur. Masyarakat Minang menjadi rendah diri lalu merantau.
Perubahan kebijakan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah.
Dekrit presiden 5 juli 1959
yang menetapkan kembalinya pemerintahan sesuai dengan UUD 1945. Dengan berhasil ditumpasnya PRRI/Permesta maka PKI justru berkembang sebagai kekuatan yang semakin
kuat di tubuh TNI AD dan semakin berpengaruh
terhadap Soekarno dalam kaitannya dengan perpolitikan Indonesia yaitu diakuinya Nasakom
(nasionalisme, sosialisme, dan agama).
Dampak selanjutnya adalah menimbulkan
kesadaran di kalangan pimpinan negara
bahwa wilayah NKRI terdiri dari kepulauan yang luas dan beraneka ragam masalah di setiap daerah. Semboyan
Binneka tunggal Ika harus dihayati makna dan
hakekatnya. Hak otonomi yang luas memang perlu diberikan kepada setiap daerah agar setiap kebijakan sesuai dengan
kebutuhan dan kepentingan masing- masing daerah.
Peristiwa gerakan separatis tersebut
menyebabkan jatuhnya kabinet Ali II pada tanggal
14 Maret 1957 yang ditandai
dengan penyerahan mandat dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo kepada
Presiden. Kabinet tersebut digantikan oleh kabinet Djuanda yang secara resmi di
bentuk pada tanggal
9 April 1957.
B. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
1.
Latar Belakang
Dikeluarkan Dekrit Presiden
5 Juli 1959
Dalam masa demokrasi parlementer kabinet
jatuh bangun dalam tenggang waktu
relatif singkat dan ini berakibat pada instabilitas pemerintahan. Keadaan ini mencerminkan “kekurangmampuan” pelaku-pelaku utama demokrasi dalam
mengalola pemerintahan negara yang barangkali karena miskinnya
pengalaman dan terpolarisasinya
masyarakat dalam kelompok-kelompok ideologis politis yang kuat. Tidak ada satu kabinet pun dalam
masa demokrasi parlementer ini mampu memberi jaminan
untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan dan pembangunan masyarakat secara memadai, serta fungsi memelihara persatuan bangsa.
Barangkali pertimbangan-pertimbangan
praktikal dan moral dan kenyataan berlarutnya sidang konstituante untuk menetapkan UUD, menjadi alasan bagi Presiden Soekarno untuk mengusulkan
rencana tentang pelaksanaan “demokrasi terpimpin”
dalam rangka kembali ke UUD 1945. Serta mengajukan “konsepsi Presiden” tanggal 22 Februari 1957, yang
kemudian berturut turut diikuti langkah Presiden menyatakan “keadaan darurat nasional”
tanggal 14 maret 1957, membentuk kabinet “Gotong Royong”
tanggal 9 April 1957, mengajukan usul kepada
konstituante untuk kembali ke UUD 1945 tanggal 22 April 1957 dan akhirnya mengeluarkan dekrit Presiden
tanggal 5 Juli 1959.
Selain itu adanya keinginan Soekarno
untuk mempunyai kekuasaan yang lebih
besar. Undang-Undang Dasar yang berlaku di Indonesia secara langsung telah membatasi kekuasaan
Presiden Soekarno. Pada tanggal 5 Juli 1959. Soekarno membubarkan Majelis Konstituante dan memberlakukan kembali
Undang-Undang Dasar yang lama.Pada tanggal 9 Juli 1959 diumumkan suatu “Kabinet Kerja” dengan Soekarno sebagai
Perdana Menteri dan Djuanda sebagai menteri utama. Pada
bulan Juli itu juga
lembaga-lembaga demokrasi terpimpin pun diumumkan, Dewan Nasional dibubarkan
dan dibentuk dewan Pertimbangan Agung.
Faktor
lain yang melatar
belakangi munculnya dekrit Presiden adalah kegagalan
konstituante dalam menetapkan UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950. Konstituante merupakan
badan yang bertugas
untuk membuat UUD (konstituante). Di dalam konstituante terdapat tiga kelompok
yang berbeda prinsip,
yaitu :
Ø
Golongan islam yang menghendaki dasar negara Islam
Ø
Golongan nasionalis yang menghendaki dasar negara pancasila
Ø Golongan komunis
yang menghendaki dasar negara komunis
(Suprapto, 1985:200)
Prinsip ketiga kelompok ini sulit untuk
dikompromikan, sehingga sidang konstituante
untuk menetapkan UUD mengalami jalan buntu. Dalam amanatnya tanggal
22 April 1959 di depan sidang konstituante, Presiden Soekarno mengharapkan agar kembali kepada UUD
1945. Tentu saja anjuran Presiden ini ada
yang setuju dan ada pula yang tidak menyetujuinya.Untuk itu harus diadakan permusyawaratan dalam konstituante guna
mendapatkan suatu mufakat.Tetapi hal ini berkali kali dijalankan tanpa hasil yang memuaskan.
Satu satunya jalan ialah pemungutan suara untuk mengetahui anggota yang setuju
dan anggota yang tidak setuju. Pada tanggal 30 Mei 1959 diadakan pemungutan suara (voting). Dari 468 anggota yang hadir, yang setuju kembali
ke UUD 1945 adalah 269 orang dan yang
tidak setuju ada 199 orang, hasil ini belum memenuhi syarat.
Pemungutan suara seperti
ini diadakan sampai
tiga kali,
meskipun angkanya tidak sama namun hasilnya tetap tidak
memenuhi persyaratan dalam menentukan keputusan.
Keadaan bertambah sulit, karena anggota konstituante sudah menjalani masa reses, dan sulit untuk
dikumpulkan.Ditambah lagi sudah banyak anggota
konstituante yang malas untuk datang
menghadiri sidang. Keadaan
seperti ini akan membawa kepada situasi dan kondisi
yang tidak menentu. Sebagai akhir kemelut
ini Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang terkenal
dengan nama “dekrit presiden”. Yang isinya
menetapkan :
Ø Pembubaran konstituante
Ø
Tidak berlakunya
UUDS 1950 dan Berlakunya kembali
UUD 1945
Ø Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang singkat.
Namun demikian, dekrit presiden ini sudah memenuhi
syarat-syarat suatu dekrit,
karena :
Ø
Dikeluarkan oleh penguasa
tertinggi yaitu Presiden
Soekarno
Ø Secara sepihak
yaitu menurut kehendak
dari Presiden sendiri
tanpa ada suatu
musyawarah atau persetujuan terlebih dulu dari lembaga legislatif
Ø
Demi keselamatan bangsa
dan negara.
2.
Alasan dan Pengaruh Dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959
a.
Alasan Dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959
1)
Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran
sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.
2)
Situasi politik yang kacau dan semakin buruk
3)
Konflik antar partai
politik yang mengganggu stabilitas nasional
4)
Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda
pendapat
5)
Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar
tujuan partainya tercapai
6)
Undang-undang Dasar yang menjadi
pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan
Undang-undang Dasar Sementara
(UUDS 1950)
dengan sistem pemerintahan demokrasi
liberal dianggap tidak sesuai dengan
kondisi kehidupan masyarakat Indonesia
7)
Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan separatisme.
b.
Pengaruh Dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959
Dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden
5 Juli 1959 maka negara kita memiliki kekuatan hukum untuk menyelamatkan negara
dan bangsa Indonesia
dan ancaman perpecahan. Sebagai tindak lanjut dan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 maka dibentuklah beberapa lembaga
negara yakni: Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS), Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) maupun
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR – GR). Dalam pidato Presiden
Soekarno berpidato pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul
“Penemuan Kembali Revolusi
Kita”. Pidato yang terkenal dengan sebutan “Manifesto Politik Republik Indonesia”
(MANIPOL) ini oleh DPAS dan MPRS dijadikan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Menurut Presiden Soekarno bahwa inti dan
Manipol ini adalah Undang- Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan
Kepribadian Indonesia. Kelima inti manipol ini sering disingkat USDEK. Dengan demikian
sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memiliki pengaruh
yang besar dalam kehidupan bemegara ini baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Dalam bidang politik, semua lembaga
negara harus berintikan Nasakom yakni ada unsur Nasionalis, Agama, dan Komunis.
Dalam bidang ekonomi
pemerintah menerapkan ekonomi terpimpin, yakni kegiatan ekonomi terutama dalam bidang impor hanya dikuasai orang-
orang yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah. Sedangkan dalam
bidang sosial budaya, pemerintah melarang budaya-budaya yang berbau Barat dan dianggap
sebagai bentuk penjajahan baru atau Neo Kolonialis dan imperalisme
(Nekolim) sebab dalam hal ini pemerintah lebih condong ke Blok
Timur.
3.
Dampak Dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959
a. Dampak Positif
Dampak positif
diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli
1959:
Ø
Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik
berkepanjangan.
Ø Memberikan pedoman
yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.
Ø Merintis
pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen
tertertunda pembentukannya.
b.
Dampak Negatif
Dampak negatif
diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959:
Ø
Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD
45 yang harusnya
menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi
slogan-slogan kosong belaka.
Ø Memberi
kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR, dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa
Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde
Baru.
Ø Memberi peluang
bagi militer untuk terjun dalam bidang politik.
Sejak Dekrit, militer
terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan
politik yang disegani.
Hal itu semakin terlihat pada masa
Orde Baru dan tetap terasa
sampai sekarang.
BAB IV PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemberontakan Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) yang berkedudukan di Sumatera dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang berkedudukan di
Sulawesi merupakan bentuk pemberontakan yang disebabkan oleh adanya ketidakpuasaan terhadap pemerintah pusat.
Pemberontakan ini dapat menyebabkan disintegrasi bangsa karena berniat
memisahkan diri dari NKRI. Pemberontakan ini dapat ditumpas oleh operasi militer yang dilakukan oleh TNI.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 merupakan
dekrit yang dikeluarkan presiden dengan
dasar hukum yaitu hukum darurat Negara mengingat keadaan negara yang sedang
dilanda berbagai pemberontakan yang membahayakan persatuan
dan keselamatan bangsa. Adapun isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 antara lain:
1)
Membubarkan Dewan
Konstituante
2)
Memberlakukan kembali UUD 1945 dan
membekukan berlakunya UUDS 1950
3)
Segera membentuk MPRS dan DPAS.
B.
Saran
Berdasarkan pembahasan di atas penulis
membuat sejumlah saran sebagai berikut.
1.
Rasa persatuan dan kesatuan,
cinta tanah air, dan nasionalisme harus senantiasa ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pemberontakan- pemberontakan yang mengancam
disintegrasi bangsa.
2.
Kebijakan pemerintah dan pembangunan harus menjamin keadilan
dan kesejahteraan di semua lapisan masyarakat dan daerah.
3.
Untuk pembuatan makalah selanjutnya
sebaiknya menjelaskan lebih detail lagi mengenai keterkaitan
pemberotakan-pemberontakan dengan perubahan sosial dan politik suatu negara.
DAFTAR PUSTAKA
Alian.2004.
Sejarah Nasional Indonesia IV. Palembang :
Modul.
Audrey Kahin. 2008. Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Budiarjo, Miriam. 2008. Edisi Revisi; Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Leo, Agung
dan Aris Listiyani Dwi. 2009. Mandiri
Sejarah. Jakarta: Erlangga. May, Eni. 2008. Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dan Gagalnya
Penerapan Sistem Otonomi Daerah Di Sumatera
Barat 1956-1961. Laporan
Penelitian Jurusan Sejarah
Universitas Andalas: tidak
diterbitkan.
M.C.
Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gajah Mada Press. Poesponegoro, Marwati
Djoened. 2011. Sejarah Nasional
VI. Jakarta: Balai
Pustaka.
Rahmaniah, Aniek. 2010.
Modul Teori Konflik:
Ralf Dahrendorf. Surabaya: Tidak
diterbitkan.
https://www.quipper.com/id/blog/mapel/sosiologi/teori-perubahan-sosial/
Aksi nyata modul 1.2
Berikut adalah link aksi nyata modul 1.2 program guru penggerak angkatan 9 Link aksi nyata modul 2.1
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar seba...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penilaian merupakan salah satu komponen utama dalam sebuah kurikulum. Melalui p...