BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sesudah menyelesaikan langkah-langkah pertama dan
kedua berupa heuristik dan kritik sumber, sejarawan memasuki langkah
selanjutnya yaitu penafsiran dan
pengelompokkan fakta-fakta dalam berbagai hubungan mereka dan formulasi serta
presentasu hasil-hasilnya. Langkah ketiga yang merupakan gabungan kedua proses
ini menurut Langlois dan Seignobos ini menggambarkan operasi-operasi sintesi
yang menuntun dan kritik dokumen-dokumen pada akhirnya menghasilkan penulisan
teks yang sesungguhnya sehingga pada akhirnya menghasilkan sebuah karya
histiorigrafi. Tahap penulisan mencakup interpretasi sejarah, eksplanasi
sejarah sampai pemaparan sejarah sebenarnya bukan merupakan tiga kegiatan
terpisah melainkan bersamaan. Hanya untuk analisis disini dipisahkan agar lebih
mudah dipahami.
Menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual
dan ini suatu cara yang utama untuk memahami sejarah. Ketika sejarawan memasuki
tahap menulis, maka ia mengerhakan seluruh daya pemikirannya, bukan saja
keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan
dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran
kritis dan analisisnya karena ia pada akhirnya harus menghasilkan suatu
sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya dalam suatu
peunlisan sejarah yang disebut historigrafi.
Historiografi mulai dikenal oleh manusia
sejak manusia mengenal tulisan yaitu saat manusia memasuki zaman sejarah.
Kesadaran untuk menulis mengenai jati dirinya sebagai manusia dalam keluarga
atau perjalanan hidupnya sudah dimulai sejak manusia mengenal tulisan.
Fakta-fakta sejarah adalah kepingan-kepingan peristiwa yang masih berserakan
dimana-mana. Oleh karena itu sejarawan menyusun kepingan-kepingan tersebut
menjadi bentuk aslinya. Dalam penyusunan fakta-fakta tersebut, sejarawan
tuangkan dalam bentuk tuliasan atau cerita yang sering disebut dengan
historigrafi (penuliasan sejarah).
Histiorigrafi atau penulisan sejarah
merupakan suatu proses pengisahan atas peristiwa-peristiwa penting manusia yang
terjadi di masa lampau. Pengisahan peristiwa-peristiwa yang terjaid di masa
lampau sendiri kerap terjadi perbedaan padangan, yang pada dasarnya bersifat
objektif dan absolut, pada gilirannya akan berubah menjadi relatif.
Di Indonesia sendiri penulisan sejarah
mulai tidak dihitrauka oleh masyarakat atau generasi muda karena mereka lebih
mementingkan kesejahteraan daripada sejarah. Padahal jika sejarah Indonesia
kita selidiki lebih dalam lagi, masyarakat akan mengetahui sejarah berdirinya
negara Indoneia dimana Indonesia merupakan negara yang kaya dan memiliki
kekuatan maritim besar di masa lampau. Ir. Soekarno sendiri pernah berkata “JAS
MERAH” (Jangan sekali-kali melupakan sejarah), namun hal tersebut kurang
dipahami oleh mayoritas masyarakat atau bahkan tidak peduli dengan bangsanya
sendiri.
Oleh karena itu, kami memtuskan untuk
membahas lebih dalam mengenai penulisan sejarah atau historiografi sejara dari
berbagai sumber.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan historigrafi
sejarah?
2. Bagaiamana
objektivitas dan subjektivitas dalam Penulisan Sejarah?
3. Apa saja jenis-jenis historiografi
sejarah?
4. Bagaimana fungsi historiografi sejarah?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui historiografi sejarah
2. Untuk mengetahui objektivitas dan
subjektivitas dalam historiografi sejarah
3. Untuk mengetahui jenis-jenis historigrafi
sejarah
4. Untuk mengetahui fungsi historiografi
sejarah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Historiografi
Perkataan sejarah mempunyai dua arti yang dapat membedakan sejarah dengan
penulisan sejarah, sejarah dalam arti objektif
adalah kejadian sejarah yang sebenarnya, terjadi hanya sekali dan
bersifat unik ( instory of actuality ). Adapun sejarah dalam arti subjektif
adalah gambaran atau cerita serta tulisan tentang kejadian ( instory as written
atau historiografi ). Historiografi adalah proses penyusunan fakta sejarah dan
berbagai sumber yang telah diseleksi dalam bentuk penulisan sejarah. Setelah
melakukan penafsiran terhadap data – data yang ada, sejarawan harus
mempertimbangkan struktur dan gaya bahasa penulisannya. Sejarawan harus
menyadari dan berusaha agar orang lain dapat memahami pokok – pokok pemikiran
yang diajukan.
Dari
sudut etimologis, historiografi berasal dari bahasa yunani yaitu historia dan
grafein. Historia berarti penyelidikan tentang gejala alam fisik ( physical
research ). Sedangkan grafein berarti gambaran lukisan, tulisan atau uraian (
description ) dengan demikian. Secara harfiah historiografi dapat diartikan
sebagai uraian atau tulisan tentang hasil penelitian mengenai gejala alam,
dalam perkembangannya historiografi juga mengalami perubahan karena sejarawan
mengacu pada pengertian historia.
Historiografi terbentuk dari
dua akar kata yaitu history dan grafi. Histori artinya sejarah dan grafi
artinya tulisan. Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah, baik itu
yang bersifat ilmiah (problem oriented) maupun yang tidak bersifat ilmiah (no
problem oriented). Problem oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat
ilmiah dan berorientasi kepada pemecahan masalah (problem solving), yang tentu
saja penulisannya menggunakan seperangkat metode penelitian. Sedangkan yang
dimaksud dengan no problem oriented adalah karya tulis sejarah yang ditulis
tidak berorientasi kepada pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, juga
tidak menggunakan metode penelitian.
Historiografi merupakan tahap terakhir dalam penyusunan sejarah. Disini
diperlukan kemahiran mengarang oleh seorang sejarawan. Ada cara-cara tertentu
yang perlu sekali diperhatikan oleh sejarawan dalam menyusun sejarah. Dengan
kata lain, penulisan atau penyusunan sejarah memerlukan kemampuan-kemampuan
tertentu untuk menjaga standart mutu dari sejarah tersebut. Seperti misalnya
prinsip serialisasi (cara-cara membuat urutan-urutan peristiwa), yang mana
memerlukan prinsip-prinsip seperti kronologi (urutan-urutan
wakutnya), prinsip kausasi (hubungan dengan sebab akibat) dan
bahkan juga kemampuan imajinasi: kemampuan untuk menghubungkan
peristiwa-peristiwa yang terpisah-pisah menjadi suatu rangkaian yang masuk akal
dengan bantuan pengalaman, jadi membuat semacam analogi antara peristiwa
diwaktu yang lampau dengan yang telah kita saksikan dengan mata kepala sendiri
diwaktu sekarang, terutama bagi peristiwa-peristiwa yang sulit dicarikan dasar
kronologi dan kausalisasi dalam perhubungannya (G.J. renier,dalam karya IG
widya. Ibid: 24-25).
B.
Objektivitas dan Subjektivitas dalam Penulisan Sejarah
1. Objektifitas dalam Penulisan
Sejarah
Objektivitas adalah hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar
persepsi manusia. Jika seseorang bersikap objektif, maka tidak akan dipengaruhi
oleh pihak lain. Dalam konteks sejarah, seseorang harus menggunakan bukti-bukti
dalam menulis sejarah. Selain itu, dalam menulis sejarah, seseorang harus tidak
memihak satu hal sehingga harus obyektif 100%. Arti sederhana dari objektivitas
adalah sejarah dalam kenyataan, jadi semua kejadian harus terlepas dari subjek.
Pada umumnya sesuatu di katakan
objektif jika benda atau peristiwa yang menjadi kajian tersebut dapat dilihat,
dirasakan, dikecap dan lain sebagainya secara langsung oleh pancaindra kita.
Ibarat sebuah botol, kita dapat merasakan langsung bentuk, warna, bau, atau
mungkin rasanya jika kita mengecapnya. Karena itu dari sisi manapun kita
melihatnya akan tergambar bentuk semula dari hasil rekonstruksi melalui ide dan
pengalaman empiris pada beberapa aspek dari botol yang kita lihat. Karananya
kalau kita mengikuti logika ilmu alam maka unsur yang harus ada dalam kata
objektif adalah:
- Kebenaran
mutlak
- Sesuai
dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyi.
- Netralitas
mutlak, tidak memihak dan tidak terikat
- Kondisi
– kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa
Senada dengan itu, ada penelitian
yang menyimpulkan, bahwa berpikir (dalam menjabarkan gejala alam yang objektif)
bukan mengharuskan pemikir (peneliti) memiliki inisiatif, tetapi adalah
membiarkan sesuatu menjadi tanpak sebagaimana adanya, tanpa
memasukkan katagori-katagori kita
sendiri pada sesuatu tersebut. Kenyataanlah yang menjadi pemegang inisiatif.
Bukan kita yang menunjuk kanyataan, tetapi kenyataan-kenyataan itu sendiri yang
menunjukkan dirinya pada kita (Poespoprodjo, 1999:7).
Bertolak dari arti objektif dari
penjelasan di atas, umumnya pada ilmu pengetahuan sosial, terlebih-lebih ilmu
sejarah, kalu kita mengambil keobjektivan sama seperti ilmu alam tentu sulit
akan bisa dikatakan akan dapat menghasilkan keilmuan yang ilmiah tersebut.
Karena pada dasarnya mereka tidak lepas dari penafsiran atau pemaknaan dari
data tentang phenomena, gejala dan peristiwa yang mereka dapatkan dari sebuah
penelitian. Namun sebenarnya kita tidak perlu terlalu memusingkan antara
keduanya, karena walaupun ilmu sosial tidak seobjektif ilmu alam, itu
dikarenakan perbedaan objek yang di kaji. Jika ilmu alam mengkaji peristiwa
alam yang menuntut untuk memiliki kriteria keobjektivan seperi di sebutkan di
atas. Sebaliknya ilmu sosial akan mengkaji manusia yang di dalamnya terdapat
nilai-nilai, budaya dan lain sebagainya yang mengitari kehidupan manusia itu
sendiri, karena itu tentu penjelasan tingkat keobjektivan dari alam yang
merupakan benda mati dengan manusia yang di dalam hidupnya terkandung sejuta
makna akan berbeda, walaupun memiliki tujuan yang sama yaitu di satu pihak
menemukan kaidah alam, dan yang kedua menemukan kaidah kemanusiaan. Terkait
dengan itu, jika berbicara masalah objektivitas dalam ilmu sosial. Pada
dasarnya sifat objektif hanya mengharuskan si peneliti tetap tidak terikat
secara emosional dengan objek, mendekati objek tetapi pada jarak-jarak yang
tertentu, lalu menilai berdasarkan pada alat ukur yang disediakan oleh istitusi
hingga lahirlah kesimpulan tanpa benar-benar memahami objek secara individual,
maka peneitian ilmiah selalu bersifat kesimpulan umum.
Lalu bagaimana seorang peneliti atau
penulis menjaga netralitas dan kecendrungan pribadi yang di latar belakangi
oleh nilai politis dan etis yang dimiliki penulis? Untuk menjaga nilai objektif
dari data yang dikumpulkan maka dalam setiap kegiatan penelitian harus
berpedoman pada metode ilmiah yang ketentuan-ketentuannya mencakup hal-hal
sebagai berikut:
- Prosedur
pengkajian/penelitian harus terbuka untuk umum dan dapat diperiksa oleh
peneliti lainnya;
- Definisi-definisi
yang dibuat dan digunakan adalah tepat dan berdasarkan atas konsep-konsep
dan teori-teori yang sudah ada
- Pengumpulan
data dilakukan secara objektif;
- Penemuan-penemuannya
akan ditemukan ulang oleh peneliti lain; yaitu untuk sasaran atau masalah
penelitian yang sama dan dengan menggunakan pendekatan dan prosedur
penelitian yang sama;
- Di
luar bidang sains, tujuan kegiatan pengkajian/penelitian adalah untuk
pembuatan teori-teori penjelasan, interpretasi, mengenai gejala- gejala yang
dikaji.
Beberapa hal untuk mendapatkan
objektivitas dalam arti ilmu sosial di atas terus diusahakan untuk mendapatkan
kriteria tersebut. Namun perlu juga diperhatikan bahwa walaupun Ilmu Sejarah di
masukkan juga pada rumpun Ilmu Sosial, terdapat perbedaan di dalamnya. Dalam
hal yang sama memang ilmu soial menjadikan manusia sebagai objek kajiannya,
akan tetapi yang membedakannya adalah ruang lingkup dari aspek hidup manusia.
Adapun ilmu sejarah selalu terikat oleh ruang dan waktu manusia masa lampaunya.
Kuntowijoyo (2008) mengibaratkan
ilmu sosial sebagai sebuah pohon. Jika ilmu sosial lain mengkaji peristiwa
seperti penampang lintangnya, maka sejarah menjalaskan peristiwa manusia dalam
penampang bujurnya. Ilmu sosial pada umumnya jika harus menjalaskan ranting,
maka akan terpokus pada rantingnya. Hal ini berbeda dengan sejarah yang harus
mengurai peristiwa dari bawah ke atas secara kronologis. Dengan kata lain ilmu
sosial lain pada umumnya secara langsung dapat merasakan dengan pancaindranya
pristiwa yang dikaji, sedangkan sejarah terpisah jarak kelampauan yang
memanjang dan membujur dalam waktu. Objek dalam ilmu sejarah tidak mungkin
hadir seperi peristiwa yang sebenarnya, peristiwa sejarah objektif hanya sekali
terjadi dan tidak mungkin terulang lagi, dan yang tersisa adalah bagian dari
peristiwa tersebut.
Peninggalan sejarah yang objektif
inilah yang tersebar melalui subjek (manusia) yang menyebabkan pula peristiwa
tersebut menjadi subjektif (tidak selengkap peristiwa yang sebenarnya). Sebagai
pelengkap pembahasan ini perlu kita renungkan bahwa bukan karena adanya
subjektivitas sejarah sehingga tidak bisa di katakan memiliki kebenaran, justru
karena adanya subjektifitas tersebut yang akan menghadirkan objektivitas. Dalam
hal ini apa yang di katakana Garraghan sangat perlu untuk kita pahami.
Garraghan (Zaki, 2007) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan objektivitas
sejarah adalah:
a. Objektivitas tidak berarti menuntut
agar sejarawan bebas sepenuhnya dari kecurigaan-kecurigaan awal yang bersifat
sosial, politis, agama, atau lainnya.
- Objektivitas
tidak berarti menuntut agar sejarawan mendekati tugasnya terlepas dari
semua perinsip, teori dan falsafah hidupnya.
- Obyektifitas
tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas dari simpati terhadap obyeknya.
- Objektivitas
tidak berarti menuntut agar pembaca mengekang diri dari penilaian atau
penarikan konklusi.
- Objektivitas
sejarawan tidak berarti bahwa semua situasi yang menimbulkan peristiwa
historis dicatat sesuai dengan kejadiannya.
2. Subjektivitas dalam
penulisan Sejarah
Subjektivitas dalam penulisan
sejarah merupakan penulisan sejarah yang kesaksian atau tafsirannya memihak
pada pendapat pribadi atau golongan, dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang
melingkupinya. Di dalam sejarah, subjektivtitas seringkali terdapat pada proses
interpretasi Sejarah sebagai biang dari subjektivitas. Subjektivitas dalam
penulisan sejarah pada intinya sering dipengaruhi oleh individu masing-masing,
sehingga apa yang dituliskan dalam penulisan sejarah tidak sesuai dengan
kenyataan yang ada.
Adapun dalam
penyusunan historiografi mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh
kelemahan dalam penulisan sejarah (historiografi) yaitu:
1)
Sikap pemihakan sejarawan kepada mazhab-mazhab
tertentu.
2)
Sejarawan terlalu percaya kepada penukil
berita sejarah.
3)
Sejarawan gagal menangkap maksud-maksud apa
yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas dasar persangkaan
keliru.
4)
Sejarawan memberikan asumsi yang tak beralasan
terhadap sumber berita.
5)
Ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan
keadaan dengan kejadian yang sebenarnya.
6)
Kecenderungan sejarawan untuk mendekatkan diri
kepada penguasa atau orang berpengaruh.
7)
Sejarawan tidak mngetahui watak berbagai kondisi
yang muncul dalam peradaban
Sejalan
dengan itu, subjektivitas dalam penulisan sejarah selalu hadir, karena penulis
sejarah (sejarawan) tidak akan mampu mengungkapkan peristiwa sejarah yang
begitu komleks yang pernah terjadi pada masa lampau, hanyalah bagian kecil dari
peristiwa yang dilakukan oleh manusia tersebut dapat teridentifikasi oleh
penulisan sejarah. Walaupun pada dasarnya perasangka dalam arti subjektif
individu tidak pernah lepas namun yang tidak diinginkan adalah adalanya
perasangka yang ekstrim, dalam artian perasaan suka-tidak suka, senang-tidak
senang harus di hindari, kesimpulan atau penjelasan ilmiah harus mengacu hanya
pada fakta yang ada, sehingga setiap orang dapat melihatnya secara sama pula
tanpa melibatkan perasaan peribadi yang ada pada saat itu (Uhar Suharsaputra,
2004: 49).
Adanya
subjektivitas sejarawan bisa di katakana sudah bermula ketika seorang sejarawan
dihadapkan dalam pemilihan topik penulisan sejarah, mereka harus mengadakan
seleksi. Seleksi-seleksi tersebut tidak didasarkan atas prasangka atau pemihakan
mengenai informasi isi sumber, seleksi ini memiliki 2 pengertian :
1. Meskipun perhatian sejarawan sangat
luas, namun mereka harus menseleksi topik tertentu daru masa lalu yang menarik
perhatiannya untuk diteliti.
2. Tidak seorangpun sejarawan dapat menceritakan
kejadian dari masa lalu dengan lengkap dalam ruang lingkup yang dipilihnya. Ia
harus menseleksi fakta-fakta karena tekanan penting dan relevansinya dengan
pokok atau masalah kajiannya dan oleh karena itu ia terpaksa mengabaikan
fakta-fakta lain yang dianggap tidak penting. Bagaimanapun juga para sejarawan
yang baik sepakat untuk menulis karya-karya sejarah dengan tidak memihak dan
tidak bersifat pribadi.
Sejalan dengan itu, jika berbicara
tentang sikap atau pendangan suatu bangsa sudah barang tentu hal itu
dihubungkan dengan konteks kebudayaan masyarakatnya, yaitu ikatan kulturalnya.
Umum mengetahui bahwa individu dijadikan anggota masyarakat lewat proses
sosialisasi atau enkulturasi, suatu proses yang membudidayakan pada diri individu
serta membentuk seluruh pikiran. Perasaan, dan kemauannya dengan menolaknya
menurut struktur ideasional, estetis, dan etis yang berlaku dalam masyarakat.
Kesemuanya perlu melembaga dalam diri individu, sehingga tidak berlebihan
apabila dia ada dalam keterikatan pada kebudayaannya.
akibatnya ialah bahwa ada padanya
subjektivitas kultural yang sangat mempengaruhi pandangannya terhadap sejarah
(Kartodirdjo, 1992: 63-64).
Subjektivitas kultural telah
mencakup subjektivitas waktu atau zaman oleh karena kebudayaan bereksistensi
dalam waktu tertentu. Dalam banyak karya sejarah subjektivitas zaman disebut
tersendiri, bahkan sering dipakai pula istilah jiwa zaman atau Zeitgeist.
Pengertian yang sangat abstrak ini menunjuk pada suasana atau iklim mentral
yang dominan pada suatu waktu dan berpengaruh pada segala macam manifestasi
gaya hidup masyarakat, antara lain materialistis atau idealistis,
tredisionalistis atau moderinistis, religious atau sekuler, dan lain sebagainya
(Sartono Kartodirdjo, 1992: 64).
Subjektivitas waktu akan terasa amat
sulit untuk diatasi, terutama dalam usaha menggarap sejarah kontemporer (masa
kini). Jarak waktu yang amat dekat membuat perspektif sejarah kurang jelas dan
kabur, terutama karena orang belum dapat membuat distansi dengan peristiwa yang
hendak ditulis. Keterlibatan penulis sendiri secara langsung masih besar.
Masih banyak pelaku yang masih hidup atau sanak saudaranya, dan lain
sebagainya. Lagi pula, banyhak dokumen belum terbuka untuk di teliti. Penafsiran
mudah tercampur dengan pandangan partisan yang mengakibatkan kesepihakan.
Sering pula pandangan serta interpretasi bertentangan dengan versi pihak yang
sedang berkuasa (establishment). Secara mudah subjektivitas memasuki
penulisan sejarah (Kartodirdjo, 1992: 64-65). Bukan hanya itu, ada juga
kesalahan sejarawan yang menganggap pendapat pribadi sebagai fakta. Sejarawan
yang melihat pendapat dan kesenangan pribadi berlaku umum dan sebagai fakta
sejarah. Misalnya pada tahun 1910-an di Surakarta ada wanita yang pandai
memainkan musik barat, prestasi pribadi semacam itu tidaklah dapat dianggap
sebagai bukti bahwa pada zaman itu sudah pandai memainkan musik. Inilah contoh
Subjektivitas pembenaran oleh pandangan pribadi (Kuntowijoyo, 2005: 172-173).
Adanya etnosentrisme misalnya sebagai bentuk subjektifitas yang sangat tinggi
(memihak) dalam penulisan sejarah dapat dilihat juga pada salah satu
perkembangan penting dalam penulisan sejarah di Indonesia yang mengarah pada
bentuk historiografi yang modern adalah penulisan sejarah yang ditulis oleh
orang Belanda. Dimana sebuah tim yang terdiri dari para sarjana ahli sejarah
yang di ketuai Dr, FW. Stapel, dengan buku yang berjudul Geschidenis van
Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda) (Agus Mulyana & Darmiasti,
2009: 3). Buku yang ditulis oleh Stapel tersebut lebih banyak menceritakan
peran penjajah Belanda di Indonesia. penjajah
belanda merupakan subjek atau
pemeran utama dalam cerita sejarah. Sedangkan bangsa Indonesia hanyalah
merupakan pelengkap dari cerita sejarah. Bangsa Belanda merupakan pemilik
daerah jajahan, orang yang harus di petuan, sedangkan bangsa Indonesia hanya
merupakan “abdi” bangsa belanda. Tindakan-tindakan bangsa Indonesia yang
bertentangan dengan penjajah Belanda dianggap sebagai pemberontak (Agus
Mulyana, 2009: 3).
Keberadaan sejarah yang sangat
subjektif di atas, memang tidak lepas dari unsur komunikasi antara fakta dan
manusia sebagai subjek yang terus semakin berkembang. Karenanya dapatlah
dikatakan bahwa sejarah atau fakta yang dikomunikasikan akan menjadi
intersubjektif. Komunikasi secara lebih luas membuat fakta semakin
intersubjektif, artinya semakin dimiliki oleh banyak subjek. Akhirnya pada
suatu waktu fakta menjadi intersubjektivitas di kalangan yang sangat luas,
menjadi umum sekali atau dengan istilah tepat menjadi fakta keras (Sartono
Kartodirdjo, 1992: 65). Karena inilah yang membuat sejarah kadang-kadang
dimasukkan juga ke dalam ilmu-ilmu sosial dan merupakan kontroversi yang
berkepanjangan apakah sejarah itu ilmu ataukan humaniora.
Namun kalau kita lihat bagaimana
cara seorang sejarawan mendapatkan data mungkin penafsiran orang akan berubah
karena dalam sejarah terdapat kritik terhada data (hal ini akan dibicarakan
dalam pembahasan yang berbeda). Salah satu cara untuk menghindari subjektivitas
ekstrim dan untuk menghindari kesepihakan atau pendangan deterministis perlu
dipergunakan pendekatan multidimensional, yaitu melihat berbagai segi, atau
aspeknya. Dengan demikian, dapat diungkapkan pelbagai dimensi suatu peristiwa,
ialah segi ekonomis, sosial, politik, dan kultural. Multidimensional itu
inheren pada gejala sejarah yang kompleks. Pendekatan ini juga selaras dengan
konsep sistem. Kait-mengkaitnya aspek-aspek itu baru dapat di ungkapkan apabila
konsep sistem dipergunakan dalam pengkajiannya (Kartodirdjo, 1992: 66). Namun
bagaimana pun perlu di pertegas bahwa subjektivitas dalam historiografi
sesungguhnya justru merupakan dasar bagi obyektivitas sejarah. Meskipun
demikian ilmu sejarah, harus tetap mengikuti prosedur-prosedur ilmuah yang
dapat membedakannya dari hikayat maupun dongeng. Hal ini di lakukan agar
sejarawan tidak jatuh ke dalam apa yang disebut historian’s fallacies,
atau Thoma S. Khun menyebutnya sebagai “ kekeliruan atau Tahayyul” (Zaki,
2007:7-8). Oleh karena itu karena dalam sejarah menggunakan metode ilmiah dalam
penulisannya maka yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita menggunakan
metode tersebut
dalam menulis sejarah. Kapabilitas
dan kredibilitas dari seorang sejarawan sangat di butuhkan supaya tidak terjadi
apa yang di sebut anakronisme ataupun historians fallacies seperti yang
di sebut di atas.
Untuk meminimalisasi timbulnya
subjektivitas dalam penulisan sejarah, sejarawan haruslah mampu melakukan
distansiasi (penjarakan) terhadap objek yang ditulisnya. Untuk dapat mendekati
seoptimal mungkin objektivitas sejarah, ilmu sejarah memiliki metodologi yang
di dalamnya memberi ruang bagi digunakannya konsep, teori, dan pendekatan dari
ilmu-ilmu lainnya. Untuk itu, rekonstruksi sejarah bisa didekati dari sosial,
politik, ekonomi, budaya, seni rupa dan desain, teknologi informasi, dan
sebagainya. Pendekatan tersebut bisa bersifat monodisiplin atau multidisiplin.
Selain peninggalan benda dan situs-situs sejarah, kadang-kadang faktor sejarah
di peroleh dari kesaksian yang sering bermakna subjektif.
Untuk dapat dipelajari secara
objektif dalam arti tidak memihak dan bebas dari reaksi pribadi harus punya
eksistensi yang merdeka di luar pikiran manusia. Akan tetapi, kenangan (memori)
semata tidak mempunyai keberadaan di luar pikiran manusia, sedangkan banyak
sejarah didasarkan kenangan yakni kesaksian tertulis atau lisan. Dengan kata
lain, pengayaan subjektivitas dilakukan demi semakin meminimalkan subjektivisme
dalam mengonstruksi dan merekon-struksi karya historiografi. Pengayaan
subjektivitas terutama oleh para penyusun historiografi teramat penting sebagai
landasan untuk menghasilkan produk yang mendekati sisi objektivitas dari
penulisan sejarah itu sendiri. Hal yang tak kalah pentingnya juga adalah karya
historigorafi tak bisa diberangus. Ia hanya bisa dilengkapi, dikritisi, dan
diperbaiki lewat produk historiografi lainnya.
Poespoprodjo
(1987:39) mengungkapkan ada tiga hal yang dapat mempengaruhi subjektivitas
peneliti sejarah yang akan membantu menuju objektivitas yakni :
a. Peranan Human Richness
Keberhasilan sebuah karya sejarah sangat bergantung pada seluruh disposisi
intelektual sejarawan atau peneliti sejarah tersebut. Oleh karena itu merupakan
sebuah syarat bahwa seorang peneliti sejarah atau sejarawan mempunyai suatu
filsafat manusia yang sehat, terbuka terhadap nilai kemanusiaan, dan terbuka
terhadap segala koreksi
(Poespoprodjo, 1987:40).
Seorang
sejarawan atau peneliti sejarah dalam penelitiannya tidak hanya bertemu dengan
beribu fakta, a matter of indicative, tetapi juga beribu nilai, imperatif.
Untuk dapat menangkapnya dengan tepat, seorang peneliti sejarah harus mampu
mendalami permasalahan, masalah nilai, sehingga dapat diperoleh skala yang
tepat mengenai nilai-nilai moral, budaya, politik, religius, teknik, artistik,
dan sebagainya (Pospoprodjo, 1987:41).
Jika
seorang peneliti sejarah tidak peka terhadap beragam hal yang berasal dari
beragam bidang dan sektor kehidupan, maka bukan tidak mungkin ia tidak akan
bisa menangkap peristiwa sejarah tersebut sebagaimana mestinya, maka
objektivitas pun akan sulit dicapai. Maka, benarlah apa yang dikatakan
oleh Jaques Maritain bahwa semuanya berpulang pada kekayaan intelektual
yang dimiliki oleh individu peneliti sejarah atau sejarawan.
b. Titik Berdiri
Cara seseorang untuk memandang sebuah objek akan berbeda satu sama lain akibat
titik berdiri yang berbeda. Masing-masing akan melihat dan memberikan persepsi
terhadap objek sesuai dengan apa yang ia lihat dari titik di mana ia berdiri.
Dalam hal ini, masing-masing persepsi tentunya akan berbeda dan tidak akan ada
yang salah dan yang benar. Dengan mengidentifikasi titik di mana kita beridri,
kita juga akan bisa mengidentifikasi sikap dalam keadaan titik berdiri tertentu
itu. Adalah diri kita sendiri yang tahu tentang argumentasi kita mengapa
akhirnya kita bersikap seperti itu dalam titik bediri tertentu.
Hubungan
ilustrasi di atas dengan kegiatan penelitian sejarah bahwa kegiata interpretasi
bukan kegiatan yang dilakukan atas kesewenangan subjek. Ketajaman dan
kecermatan subjek dalam melakukan interpretasi harus terpenuhi agar dapat
mencapai objektivitas. Menurut Gordon Leff dalam History and Social Theory
(1969:126) yang dikutip dalam Poespoprodjo (1987:48), interpretasi yang dapat
diterima dan memenuhi obejktivitas harus memenuhi tiga syarat.
c. Mengenal Sumber Distorsi
Seorang peneliti sejarah atau sejarawan seharusnya mengenali sumber-sumber
distorsi yang dapat mengganggu subjektivitas dirinya. Sumber distorsi yang
berasal dari dalam diri sendiri dapat diketahui dengan mempertanyakan kedalaman
subjektivitas diri. Dengan mengenal diri sendiri, maka niscaya tersadarilah
bahwasanya subjektivitas merupakan simpang jalan dunia subjek dan dunia objek.
Ini merupakan kesadaran utama.
Jika kita tatap lebih lanjut, maka
kita akan memasuki kedalaman subjektivitas, yakni kedalaman kemerdekaan (untuk
mengakui atau menolak, apakah saya merdeka betul tidak
diikat oleh sesuatu sehingga bisa
mengatakan sesuatu sebagaimana mestinya dan sebagainya), kedalaman kritik diri
(apakah saya tidak membohong, memutarbalikkan kenyataan yang ada, apakah tahu
betul apa yang dihadapi, apakah reserve tidak perlu dibuat dan sebagainya),
penyesuaian pada tuntutan-tuntutan objek (objek tertentu hhanya dapat dijumpai
dengan semestinya bila menggunakan metode tertentu, objek yang eenmalig
contingent, lain dengan objek yang dapat direproduksi sewaktu-waktu, dan
sebagainya) (Poespoprodjo, 1987:56).
C.
Jenis-jenis
historiografi
Untuk
jenis-jenis historiografi ini terdapat beberapa pembagian dimana jika
didasarkan atas pembagian waktu historiografi ini terbagi atas empat bagian
yaitu Historiografi Tradisional, Historiografi Kolonial, Historiografi nasional
dan historiografi Modern. Berikut penjelasan mengenai empat jenis historiografi
yaitu:
1. Historiografi
tradisional
Historiografi tradisional adalah penulisan
sejarah yang dimulai dari zaman Hindu-Budha sampai masuk
dan berkembangnya Islam di Indonesia. Dan historiografi tradisional ini
memiliki arti penulisan sejarah yang hanya dilakukan oleh sastrawan yang
berasal dari keratin atau berasal dari bangsawan kerajaan-kerajaan tertentu.
Penulisan sejarah di zaman Hindu-Budha pada umumnya ditulis di prasasti,
naskah-naskah kuno yang bertujuan supaya generasi penerus dapat mengetahui
peristiwa di masa lalu terutama di zaman kerajaan saat seorang raja memerintah
suatu kerajaan.
Naskah
kuno tersebut dapat berbentuk seperti hikayat dan babad yang usia dari naskah
tersebut sudah lebih dari 50 tahun. Hikayat lebih dikenal di Melayu, sedangkan
babad dikenal di Mataram. Babad merupakan nama yang digunakan di buku cerita
sejarah atau kronik dalam tradisi penulisan sejarah suku bangsa. Biasanya
penulis babad merupakan seorang pujangga-pujangga keraton.Babad berisi unsur
irasional, cerita bercampur mitos yang kadang-kadang dipenuhi dengan kiasan dan
Isyarat. Naskah tersebut lebih cenderung banyak menceritakan peran orang-orang
besar atau tokoh yang terkenal, yang memiliki peranan penting dalam masanya.
Sedangkan
hikayat merupakan kesusastraan Melayu yang keseluruhan ceritanya didominasi
oleh karya-karya yang bernuansa Islam. Hikayat memiliki dua arti dalam
sastra Indonesia hikayat
berarti cerita rekaan yang berbentuk prosa cerita yang panjang. Sedangkan dalam
sastra melayu hikayat berarti sifat dari sastra lama yang sebagian besar
mengisahkan mengenai kehebatan serta kepahlawanan tokoh-tokoh besar.
Tidak
hanya hikayat dan babad saja yang ada di historiografi tradisional, namun mitos
pun juga ada pada historiografi tradisional. Seperti yang di katakan Raymond
William yaitu “the myth of concern”. Mitos (myth) merupakan suatu cerita atau
sejenisnya yang bersumber seperti halnya sejarah tetapi lebih menonjol pada
khayalan. Mitos juga selalu memuat kehidupan manusia dan biasanya mengambil
manusia super sebagai tokohnya. Mitospun dalam kehidupan manusia memiliki
manfaat. Mitos membuat masa lampau menjadi bermakna, karena dengan memusatkan
pada bagian-bagian masa lampau yang mempunyai sifat tetap dan berlaku secara
umum. Mitos tidak seperti sejarah yang memiliki babakan waktu, dalam mitos
babakan waktupun tidak ada bahkan tidak ada awal maupun akhir.
Pada
dasarnya yang ada di historiografi tradisional fakta tidak begitu penting,
karena para penulisnya lebih sering membahas tentang mitos dan sedikit yang
membahas tentang fakta yang ada. Dalam historiografi tradisional terdapat unsur
mitos di sebabkan oleh unsur mistik atau kepercayaan yang telah dipercayai baik
penulis maupun masyarakat, sehingga penulis tidak memperdulikan adanya fakta.
Mitos lebih mengedepankan subyektifitas dari pada obyektifitas. Obyektifitas
tidak cocok dengan mitos, karena obyektifitas bertanggung jawab pada kebenaran
obyek yang berwujud dalam bentuk dokumen. Selain mitos dalam historiografi
tradisional juga ada genealogis, genealogis merupakan gambaran mengenai
pertautan antara individu dengan yang lain atau suatu generasi dengan generasi
berikutnya. Silsilah sangat penting untuk melegitimasikan kedudukan mereka.
Dalam
historiografi tradisional memiliki corak penulisan yang berbeda dengan
historiografi lainnya. Untuk mengetahui bagaimana penulisan dalam historiografi
tradisional maka adapula ciri-cirinya yaitu:
a. Region–sentries
atau kedaerahan, biasanya di pengaruhi oleh ciri budaya masyarakat didaerahnya.
Seperti halnya cerita-cerita ghaib yang ada dilingkungan sekitar.
b. Cenderung
mengabaikan unsur fakta karena dipengaruhi dari sistem kepercayaan yang
dimiliki masyarakat atau dari alam pikiran penulis saat menulis suatu naskah.
Penulis naskahpun tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang
nyata.
c. Adanya
kepercayaan tentang kekuatan sakti dan unsur magis yang menjadi pangkal dari
berbagai peristiwa alam, termasuk kehidupan manusia.
d. Percaya
magis atau sihir yang dilakukan tokoh-tokoh tertentu. Seperti kesaktian yang
dimiliki para raja, dan masyarakat menganggap bahwasannya raja merupakan utusan
dari sang dewa sehingga apa yang dikatakan dan diperbuat oleh sang raja
semuanya dianggap benar.
e. Religio
sentris gambaran dari tokoh-tokoh yang ditonjolkan dalam cerita naskah. Segala
sesuatu dipusatkan pada raja atau keluarga raja (keluarga istana), maka sering
juga disebut istana sentries.
Salah satu mitos yang berkembang di
Indonesia dan terkenal di masyarakat sekitar adalah Mitos Nyi Roro Kidul Dalam
Kehidupan Masyarakat Cianjur Selatan. Masyarakat Cianjur melaksanakan
upacara-upacara atau ritual rutin sebagai penghormatan masyarakat kepada Nyi
Roro Kidul dan juga sebagai ucapan terima kasih karena telah memberi
keselamatan ketika masyarakat melaut. Bentuk dari upacaranya biasanya
masyarakat
menyebut dengan upacara nyalewena, berasal
dari salawe yang memiliki arti dua puluh lima.
Upacara nyalawena biasanya dilaksanakan
setiap tanggal 25 bulan Islam di tahun Hijriyah. Pelaksanaan upacara ini pun
berkaitan dengan mata pencaharian penduduk sekitar yang berada di wilayah
pesisir pantai. Upacara ini diadakan disebabkan adanya kepercayaan masyarakat
yang berkaitan dengan keadaan laut. Masyarakat mempercayai bahwasanya Nyi Roro
Kidul berada di laut selatan, jika sesuatu terjadi di laut seperti ombak yang
besar, angin yang kencang dan suara gemuruh di laut maka itu sebagai pertanda
nyi roro kidul marah. Masyarakat pun segera mengadakan upacara nyalawena, dan
membuat sesaji untuknya. Sesaji tersebut berisi kepala kerbau, kepala sapi
jantan, perlengkapan lengkap wanita mulai dari sanggul, alat rias, pakaian
dalam, bubur merah, bubur putih dan rujak. Kemudian sesaji tersebut dilarung di
laut, jika keadaan tidak memungkinkan sesaji untuk dilarung karena suatu sebab
seperti ombak besar dan angin kencang maka sesaji tersebut hanya ditaruh di
bibir pantai. Masyarakat melakukan ritual upcara itu sebagai balas jasa
masyarkat terhadap Nyi Roro Kidul terhadap kemurahan hati penguasa laut selatan
itu.
Tak selamanya Indonesia menggunakan
historiografi tradisional dalam menulis sejarah. Karena historiografi
tradisional telah berakhir pada tahun 1913 dengan adanya
kehadiran
buku karya dari Hosein Djajadiningrat yang berjudul Cristische Beschouwing Van
Sadjarah Van Banten. Penulisan sejarah di Indonesia semakin berkembang tidak
hanya berhenti pada historiografi tradisional. Akan tetapi dilanjutkan dengan
historiografi kolonial yang mana penulisan sejarahnya identik dengan penulisan
bangsa-bangsa asing yang pernah menjajah Indonesia.
2. Historiografi
Kolonial
Historiografi
Kolonial ini memiliki makna yakni tulisan sejarah yang dibentuk atau dibuat
pada masa colonial dan historiografi
kolonial merupakan penulisan sejarah bangsa-bangsa asing di Indonesia. Historiografi
ini juga memiliki beberapa ciri diantaranya:
a. Mempunyai sifat yang diskriminatif
b. Berasal dari luar dan mengabaikan
karya yang berasal dari sumber local.
c. Selain diskriminatif historiolgi ini
juga memiliki sifat mitologis dan juga subjektif.
d. Didalam tulisan sejarahnya terdapat
pembahasan yang berkaitan dengan sejarah-sejarah orang yang terpandang atau
orang-orang besar.
Bangsa-bangsa asing tentunya yang pernah menjajah Indonesia,
seperti Portugis, Inggris, Jepang bahkan Belanda. Historiografi kolonial biasa
dikenal dengan Europa Centrisme atau Belanda Centrisme. Dikatakan Europa
Centrisme atau Belanda Centrisme dikarenakan yang diuraikan atau dibentangkan
secara panjang lebar adalah aktivitas bangsa Eropa atau Belanda, pemerintahan
kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit putih), seluk beluk
kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan,
yakni Indonesia. Memiliki sifat Europa Centrisme dikarenakan sifat ini
memusatkan perhatiannya kepada sejarah bangsa Belanda dalam perantauannya, baik
dalam pelayarannya maupun pemukimannya di benua lain. Jadi yang primer ialah
riwayat perantauan atau kolonisasi bangsa Belanda, sedangkan
peristiwa-peristiwa sekitar bangsa Indonesia sendiri menjadi sekunder.
Belanda merupakan negara yang menjajah Indonesia yang sangat
lama, tiga setengah abad Indonesia telah dijajah Belanda. Hingga banyak arsip-arsip nasional
pun menggunakan bahasa Belanda. Meskipun berbahasa Belanda penulisan sejarah
dalam bentuk arsip tersebut memiliki peranan penting dalam sejarah Indonesia.
Karena didalamnya menggambarkan hubungan politik antar daerah, diplomasi bahkan
perdagangan. Arsip Nasional yang berbahasa Belanda pun tidak hanya berada di
Indonesia, akan tetapi juga berada di negara Belanda, disimpan dalam Arsip
negara Den
Haag
sebanyak 12.050 jilid arsip Indonesia berada disana. Begitu juga sebaliknya
arsip Belanda juga berada di Indonesia.
Dalam historiografi kolonial memiliki
beberapa karakteristik yang membedakan dengan historiografi yang lainnya.
Historiografi kolonial ditulis oleh sejarawan atau orang-orang pemerintah
kolonial yang intinya bahwa yang membuat adalah orang barat. Pembuatan
historiografi ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai bahan laporan pada
pemerintah kerajaan Belanda, sebagai bahan evaluasi menentukan kebijakan pada
daerah kolonial.
Oleh karena motivasinya adalah sebagai
bahan laporan, maka yang ditulisnya pun adalah sejarah dan perkembangan
orang-orang asing di daerah kolonial khususnya Indonesia. Sangat sedikit hasil
historiografi kolonial yang menceritakan tentang kondisi rakyat jajahan, atau
bahkan mungkin tidak ada. Walaupun tercatat, orang pribumi itu sangat dekat
hubungannya dengan orang asing dan yang telah berjasa pada pemerintah kolonial.
3. Historiografi
Nasional
Historiografi
Nasional dimulai saat dinyatakannya Indonesia telah merdeka dari penjajahan,
yaitu pada tahun 1945. Sejak itu sejarawan mulai menulis sejarah Indonesia.
Peristiwa-peristiwa penting yang dialami Indonesia setelah merdeka pun juga
ditulis. Seperti proklamasi kemerdekaan Indonesia dan pembentukan pemerintahan
Republik Indonesia. Kejadian-kejadian sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia
yang meliputi sebab-sebab serta akibatnya bagi bangsa ini merupakan sorotan
utama para penulis sejarah.
Historiografi
Nasional sama halnya dengan historiografi kolonial jika historiografi tersebut
kental dengan Europa Centrisme maka di historiografi nasional pun lebih dominan
Indonesia sentries. Indonesia sentries merupakan penulisan sejarah yang
mengutamakan atau mempunyai sudut pandang dari Indonesia sendiri. Pada masa
kemerdekaan penulisan sejarah telah dilakukan oleh bangsa sendiri yang mengenal
baik akan keadaan negara ini, jadi dapat dipastikan bahwa isi dari penulisan
tersebut dapat dipercaya. Penulisan sejarah yang Indonesia sentris memang sudah
dimulai jauh pada masa kerajaan-kerajaan, tetapi kemudian ketika bangsa Barat
masuk ke Indonesia maka era penulisan sejarah yang Indonesia sentris mulai
meredup dan digantikan oleh historiografi kolonial.
Dalam
historiografi nasional seorang sejarawan harus memenuhi syarat-syarat
penyusunan jika ingin menulis sejarah nasional. Ada empat persyaratan untuk
menulisnya yaitu:
a.
Keyakinan nasional,
seorang sejarawan dalam menulis sejarah harus memiliki rasa nasionalisme yang
besar, sehingga ada rasa bangga terhadap negara sendiri. Saat sejarawan
melakukan tahapan penafsiran terhadap kejadian sejarah, maka harus sesuai
dengan peristiwa yang erjadi di Indonesia pada saat negri ini telah merdeka.
Penafsiran pun harus bersifat netral dan tidak terikat oleh apapun.
b.
Babakan waktu,
menunjukkan perkembangan jiwa kebangsaan yang memuncak dalam perjuangan
mewujudkan cita-cita kehidupan kebangsaan yang bebas, adil dan makmur.
c.
Norma-norma penguji
fakta, fakta-fakta yang di gunakan dalam menulis sejarah harus sesuai dengan
perkembangan ke arah sifat keindonesiaan dan tidak semata-mata menggambarkan
sifat kedaerahan.
d.
Cara penyusunan dan
penafsiran fakta, dalam menyusun menafsirkan fakta, seorang sejarawan
memperhatikan obyek lebih detail supaya tidak ada penafsiran yang salah.
Historiografi nasional juga memiliki
karekteristik untuk membedakan dengan historiografi yang lainnya. Historiografi
nasional ditulis oleh orang-orang Indonesia yang memahami dan menjiwai negri
ini. Penulisannya bersifat Indonesia sentries. Dengan adanya syarat dan
karakteristik dari historiografi nasional, maka lebih memudahkan penulis dan
pembaca sejarah untuk memahami sejarah nasional. Adapun sejarawan yang menulis
sejarah nasional antara lain, editor Sarotono Kartodirjo dengan judul Sejarah
Perlawanan-Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperealisme, Sejarah Nasional
Jilid I sampai VI. Kuntowijoyo dengan judul Perubahan Sosial Dalam Masyarakat
Agraris Madura 1850-1940. R. Moh Ali dengan judul Peranan Bangsa Indonesia
Dalam Sejarah Asia Tenggara.A.H Nasution juga menulis sejarah nasionaldengan
judul Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid I sampai XI. Dengan melihat banyaknya
sejarawan yang menulis mengenai sejarah nasional maka karya-karya yang
ditulisnya dapat memberi pengetahuan masyarakat dan semakin mencintai negeri
sendiri.
4. Historiografi
Modern
Historiografi modern muncul akibat tuntutan ketepatan teknik untuk
mendapatkan fakta-fakta sejarah. Fakta sejarah didapat melalui
penetapan metode penelitian, memakai ilmu-ilmu bantu, adanya teknik
pengarsipan, dan rekonstruksi melalui sejarah lisan. Masa ini dimulai dengan
munculnya studi sejarah kritis, yang menggunakan prinsip-prinsip metode
penelitian sejarah.
Historiografi modern tentunya
berkembang sesuai dengan zaman. Historiografi masa kini sudah semakin objektif
dan kritis terhadap satu peristiwa sejarah. Adapun ciri-cirinya adalah:
a. Bersifat
metodologis:
sejarawan diwajibkan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah.
b. Bersifat
kritis historis:
artinya dalam penelitian sejarah menggunakan pendekatan multidimensional.
c. Sebagai
kritik terhadap historiografi nasional: lahir sebagai kritik terhadap historiografi nasional yang
dianggap memiliki kecenderungan menghilangkan unsur asing dalam proses
pembentukan keindonesiaan.
d. Munculnya
peran-peran rakyat kecil.
Historiografi modern ada setelah
historiografi nasional, sekitar tahun 1957 yang dianggap sebagai titik tolak
kesadaran sejarah baru. Diresmikannya pada waktu terselenggaranya Seminar
Sejarah Nasional Indonesia yang pertama di Yogyakarta. Kemudian diadakannya
lagi seminar Sejarah Nasional ke dua tahun 1970 juga di Yogyakarta. Dalam
seminar pertama tersebut membahas mengenai fisafat sejarah nasional,
periodisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah. Itu semua dianggap
sangat penting dalam sejarah. Dalam periodesasi sejarah menginginkan para
penulis sejarah mengenai Indonesia berpindah aliran dari Europa centrisme
berpindah ke sejarah Asia sentries. Dengan adanya keinginan seperti itu maka
para sejarawan berusaha untuk menghilangkan aliran Europa centrisme dari bentuk
tulisannya. Tidak hanya itu, terhadap penulisan sejarah pemerintah pun mengusahakan
untuk penerbitan arsip yang dikerjakan oleh arsip nasional. Setelah
terselenggaranya seminar pertama, maka diadakannya seminar ke dua tahun 1970 di
Yogyakarta. Banyak perubahan yang terjadi pada tahun-tahun setelah 1970 tidak
saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana seharusnya sejarah ditulis, tetapi
juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan
kelembagaan, ideologi, dan substansi sejarah. Menurut Kuntowijoyo historiografi
baru (Modern) penting dalam penulisan sejarah di Indonesia. Karena Sejak
Indonesia merdeka pemikiran kesejarahan lebih didominasi oleh pemikiran
dekolonisasi dan ilmu-ilmu sosial.
Bagi Kuntowijoyo, menulis dan
merekonstruksi masa lalu digunakan untuk menjelaskan masa kini dan merancang
masa depan. Dalam historiografi modern, lebih mengedepankan metode dan teori
sejarah. Jika metode dan teori sejarah tidak dipergunakan maka akan menjadi
seperti historiografi tradisional. Metode dan teori masih belum dipergunakan
dengan baik. Unsur mitos pun di tiadakan karena lebih menonjolkan pada fakta
yang ada. Fakta memiliki peranan penting untuk mengungkap suatu peristiwa.
Penerbitan arsip nasional yang pun juga cukup membantu untuk menulis sejarah.
D. Fungsi Historiografi
1. Fungsi Genetis
Fungsi Genetis untuk mengungkapkan
bagaimana asal usul dari sebuah peristiwa. Fungsi ini terlihat pada sejumlah
penulisan sejarah seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu, dan Prasasti Kutai.
2. Fungsi Didaktis
Fungsi Didaktis merupakan fungsi
yang mendidik artinya dalam karya-karya sejarah banyak memuatpelajaran, hikmah
dan suri teladan yang penting bagi para pembacanya.
3. Fungsi Pragmatis
Fungsi yang berkaitan dengan upaya
untuk melegitimasi suatu kekuasaan agar terlihat kuat dan berwibawa.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Historiografi adalah
proses penyusunan fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam
bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap data – data
yang ada, sejarawan harus mempertimbangkan struktur dan gaya bahasa penulisannya.
Sejarawan harus menyadari dan berusaha agar orang lain dapat memahami pokok –
pokok pemikiran yang diajukan. Historiografi merupakan tahap terakhir dalam
penyusunan sejarah. Disini diperlukan kemahiran mengarang oleh seorang
sejarawan
Adapun dalam penyusunan historiografi
mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh kelemahan dalam penulisan
sejarah (historiografi) yaitu: (1). Sikap pemihakan
sejarawan kepada mazhab-mazhab tertentu. (2). Sejarawan terlalu
percaya kepada penukil berita sejarah. (3). Sejarawan gagal
menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan
atas dasar persangkaan keliru.(4). Sejarawan memberikan
asumsi yang tak beralasan terhadap sumber berita (5). Ketidaktahuan
sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya.
Untuk jenis-jenis
historiografi ini terdapat beberapa pembagian dimana jika didasarkan atas
pembagian waktu historiografi ini terbagi atas empat bagian yaitu Historiografi
Tradisional, Historiografi Kolonial, Historiografi nasional dan historiografi
Modern. Serta Fungsi Historiografi sebagai berikut Fungsi Genetis untuk mengungkapkan
bagaimana asal usul dari sebuah peristiwa.
B. SARAN
Terkait
dengan hal tersebut, kami menyarankan bahwa Historiografi Sejarah dipandang perlu tertentu agar mampu mengenal dan mempelajari
sejarah. Supaya Historiografi
Sejarah berjalan dengan lancar. Dengan begitu Historiografi Sejarah akan
membantu para Penulis
sejarah dalam mengembangkan sejarah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuddin,
H. (2012). Metodologi Penelitian. Ombak.
Kuntowijoyo, Metodologi Penelitian Sejarah
Sulasman. (2029 ). Metodologi Penelitian Sejarah.
Pustaka Setia
https://blog.ruangguru.com/memahami-3-jenis-historiografi-sejarah
http://rizkymyname.blogspot.com/2017/02/makalah-tentang-historiografi-sejarah.html