Sabtu, 12 Desember 2020

MAKALAH HISTOGRAFI SEJARAH

 

    


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sesudah menyelesaikan langkah-langkah pertama dan kedua berupa heuristik dan kritik sumber, sejarawan memasuki langkah selanjutnya yaitu  penafsiran dan pengelompokkan fakta-fakta dalam berbagai hubungan mereka dan formulasi serta presentasu hasil-hasilnya. Langkah ketiga yang merupakan gabungan kedua proses ini menurut Langlois dan Seignobos ini menggambarkan operasi-operasi sintesi yang menuntun dan kritik dokumen-dokumen pada akhirnya menghasilkan penulisan teks yang sesungguhnya sehingga pada akhirnya menghasilkan sebuah karya histiorigrafi. Tahap penulisan mencakup interpretasi sejarah, eksplanasi sejarah sampai pemaparan sejarah sebenarnya bukan merupakan tiga kegiatan terpisah melainkan bersamaan. Hanya untuk analisis disini dipisahkan agar lebih mudah dipahami. (Sjamsuddin, 2012)

Menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual dan ini suatu cara yang utama untuk memahami sejarah. Ketika sejarawan memasuki tahap menulis, maka ia mengerhakan seluruh daya pemikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan kutipan-kutipan  dan catatan-catatan, tetapi yang terutama penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisisnya karena ia pada akhirnya harus menghasilkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya dalam suatu peunlisan sejarah yang disebut historigrafi. (Sjamsuddin, 2012)

Historiografi mulai dikenal oleh manusia sejak manusia mengenal tulisan yaitu saat manusia memasuki zaman sejarah. Kesadaran untuk menulis mengenai jati dirinya sebagai manusia dalam keluarga atau perjalanan hidupnya sudah dimulai sejak manusia mengenal tulisan. Fakta-fakta sejarah adalah kepingan-kepingan peristiwa yang masih berserakan dimana-mana. Oleh karena itu sejarawan menyusun kepingan-kepingan tersebut menjadi bentuk aslinya. Dalam penyusunan fakta-fakta tersebut, sejarawan tuangkan dalam bentuk tuliasan atau cerita yang sering disebut dengan historigrafi (penuliasan sejarah). (Sjamsuddin, 2012)

Histiorigrafi atau penulisan sejarah merupakan suatu proses pengisahan atas peristiwa-peristiwa penting manusia yang terjadi di masa lampau. Pengisahan peristiwa-peristiwa yang terjaid di masa lampau sendiri kerap terjadi perbedaan padangan, yang pada dasarnya bersifat objektif dan absolut, pada gilirannya akan berubah menjadi relatif.


Di Indonesia sendiri penulisan sejarah mulai tidak dihitrauka oleh masyarakat atau generasi muda karena mereka lebih mementingkan kesejahteraan daripada sejarah. Padahal jika sejarah Indonesia kita selidiki lebih dalam lagi, masyarakat akan mengetahui sejarah berdirinya negara Indoneia dimana Indonesia merupakan negara yang kaya dan memiliki kekuatan maritim besar di masa lampau. Ir. Soekarno sendiri pernah berkata “JAS MERAH” (Jangan sekali-kali melupakan sejarah), namun hal tersebut kurang dipahami oleh mayoritas masyarakat atau bahkan tidak peduli dengan bangsanya sendiri.

Oleh karena itu, kami memtuskan untuk membahas lebih dalam mengenai penulisan sejarah atau historiografi sejara dari berbagai sumber.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan historigrafi sejarah?

2.      Bagaiamana objektivitas dan subjektivitas dalam Penulisan Sejarah?

3.      Apa saja jenis-jenis historiografi sejarah?

4.      Bagaimana fungsi historiografi sejarah?

 

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui historiografi sejarah

2.      Untuk mengetahui objektivitas dan subjektivitas dalam historiografi sejarah

3.      Untuk mengetahui jenis-jenis historigrafi sejarah

4.      Untuk mengetahui fungsi historiografi sejarah

 

 

 

 

 

 

 


BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian Historiografi

            Perkataan sejarah mempunyai dua arti yang dapat membedakan sejarah dengan penulisan sejarah, sejarah dalam arti objektif  adalah kejadian sejarah yang sebenarnya, terjadi hanya sekali dan bersifat unik ( instory of actuality ). Adapun sejarah dalam arti subjektif adalah gambaran atau cerita serta tulisan tentang kejadian ( instory as written atau historiografi ). Historiografi adalah proses penyusunan fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap data – data yang ada, sejarawan harus mempertimbangkan struktur dan gaya bahasa penulisannya. Sejarawan harus menyadari dan berusaha agar orang lain dapat memahami pokok – pokok pemikiran yang diajukan.

            Dari sudut etimologis, historiografi berasal dari bahasa yunani yaitu historia dan grafein. Historia berarti penyelidikan tentang gejala alam fisik ( physical research ). Sedangkan grafein berarti gambaran lukisan, tulisan atau uraian ( description ) dengan demikian. Secara harfiah historiografi dapat diartikan sebagai uraian atau tulisan tentang hasil penelitian mengenai gejala alam, dalam perkembangannya historiografi juga mengalami perubahan karena sejarawan mengacu pada pengertian historia.

            Historiografi terbentuk dari dua akar kata yaitu history dan grafi.  Histori artinya sejarah dan grafi artinya tulisan. Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah, baik itu yang bersifat ilmiah (problem oriented) maupun yang tidak bersifat ilmiah (no problem oriented). Problem oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah dan berorientasi kepada pemecahan masalah (problem solving), yang tentu saja penulisannya menggunakan seperangkat metode penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan no problem oriented adalah karya tulis sejarah yang ditulis tidak berorientasi kepada pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, juga tidak menggunakan metode penelitian.

            Historiografi merupakan tahap terakhir dalam penyusunan sejarah. Disini diperlukan kemahiran mengarang oleh seorang sejarawan. Ada cara-cara tertentu yang perlu sekali diperhatikan oleh sejarawan dalam menyusun sejarah. Dengan kata lain, penulisan atau penyusunan sejarah memerlukan kemampuan-kemampuan tertentu untuk menjaga standart mutu dari sejarah tersebut. Seperti misalnya prinsip serialisasi (cara-cara membuat urutan-urutan peristiwa), yang mana memerlukan prinsip-prinsip seperti kronologi (urutan-urutan


wakutnya), prinsip kausasi (hubungan dengan sebab akibat) dan bahkan juga kemampuan imajinasi: kemampuan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terpisah-pisah menjadi suatu rangkaian yang masuk akal dengan bantuan pengalaman, jadi membuat semacam analogi antara peristiwa diwaktu yang lampau dengan yang telah kita saksikan dengan mata kepala sendiri diwaktu sekarang, terutama bagi peristiwa-peristiwa yang sulit dicarikan dasar kronologi dan kausalisasi dalam perhubungannya (G.J. renier,dalam karya IG widya. Ibid: 24-25).

B.     Objektivitas dan Subjektivitas dalam Penulisan Sejarah

1. Objektifitas dalam Penulisan Sejarah

Objektivitas adalah hal-hal yang bisa diukur yang ada di luar persepsi manusia. Jika seseorang bersikap objektif, maka tidak akan dipengaruhi oleh pihak lain. Dalam konteks sejarah, seseorang harus menggunakan bukti-bukti dalam menulis sejarah. Selain itu, dalam menulis sejarah, seseorang harus tidak memihak satu hal sehingga harus obyektif 100%. Arti sederhana dari objektivitas adalah sejarah dalam kenyataan, jadi semua kejadian harus terlepas dari subjek.

Pada umumnya sesuatu di katakan objektif jika benda atau peristiwa yang menjadi kajian tersebut dapat dilihat, dirasakan, dikecap dan lain sebagainya secara langsung oleh pancaindra kita. Ibarat sebuah botol, kita dapat merasakan langsung bentuk, warna, bau, atau mungkin rasanya jika kita mengecapnya. Karena itu dari sisi manapun kita melihatnya akan tergambar bentuk semula dari hasil rekonstruksi melalui ide dan pengalaman empiris pada beberapa aspek dari botol yang kita lihat. Karananya kalau kita mengikuti logika ilmu alam maka unsur yang harus ada dalam kata objektif adalah:

  1. Kebenaran mutlak
  2. Sesuai dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyi.
  3. Netralitas mutlak, tidak memihak dan tidak terikat
  4. Kondisi – kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa

Senada dengan itu, ada penelitian yang menyimpulkan, bahwa berpikir (dalam menjabarkan gejala alam yang objektif) bukan mengharuskan pemikir (peneliti) memiliki inisiatif, tetapi adalah membiarkan sesuatu menjadi tanpak sebagaimana adanya, tanpa


memasukkan katagori-katagori kita sendiri pada sesuatu tersebut. Kenyataanlah yang menjadi pemegang inisiatif. Bukan kita yang menunjuk kanyataan, tetapi kenyataan-kenyataan itu sendiri yang menunjukkan dirinya pada kita (Poespoprodjo, 1999:7).

Bertolak dari arti objektif dari penjelasan di atas, umumnya pada ilmu pengetahuan sosial, terlebih-lebih ilmu sejarah, kalu kita mengambil keobjektivan sama seperti ilmu alam tentu sulit akan bisa dikatakan akan dapat menghasilkan keilmuan yang ilmiah tersebut. Karena pada dasarnya mereka tidak lepas dari penafsiran atau pemaknaan dari data tentang phenomena, gejala dan peristiwa yang mereka dapatkan dari sebuah penelitian. Namun sebenarnya kita tidak perlu terlalu memusingkan antara keduanya, karena walaupun ilmu sosial tidak seobjektif ilmu alam, itu dikarenakan perbedaan objek yang di kaji. Jika ilmu alam mengkaji peristiwa alam yang menuntut untuk memiliki kriteria keobjektivan seperi di sebutkan di atas. Sebaliknya ilmu sosial akan mengkaji manusia yang di dalamnya terdapat nilai-nilai, budaya dan lain sebagainya yang mengitari kehidupan manusia itu sendiri, karena itu tentu penjelasan tingkat keobjektivan dari alam yang merupakan benda mati dengan manusia yang di dalam hidupnya terkandung sejuta makna akan berbeda, walaupun memiliki tujuan yang sama yaitu di satu pihak menemukan kaidah alam, dan yang kedua menemukan kaidah kemanusiaan. Terkait dengan itu, jika berbicara masalah objektivitas dalam ilmu sosial. Pada dasarnya sifat objektif hanya mengharuskan si peneliti tetap tidak terikat secara emosional dengan objek, mendekati objek tetapi pada jarak-jarak yang tertentu, lalu menilai berdasarkan pada alat ukur yang disediakan oleh istitusi hingga lahirlah kesimpulan tanpa benar-benar memahami objek secara individual, maka peneitian ilmiah selalu bersifat kesimpulan umum.

Lalu bagaimana seorang peneliti atau penulis menjaga netralitas dan kecendrungan pribadi yang di latar belakangi oleh nilai politis dan etis yang dimiliki penulis? Untuk menjaga nilai objektif dari data yang dikumpulkan maka dalam setiap kegiatan penelitian harus berpedoman pada metode ilmiah yang ketentuan-ketentuannya mencakup hal-hal sebagai berikut:

  1. Prosedur pengkajian/penelitian harus terbuka untuk umum dan dapat diperiksa oleh peneliti lainnya;
  2. Definisi-definisi yang dibuat dan digunakan adalah tepat dan berdasarkan atas konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada

 

  1. Pengumpulan data dilakukan secara objektif;
  2. Penemuan-penemuannya akan ditemukan ulang oleh peneliti lain; yaitu untuk sasaran atau masalah penelitian yang sama dan dengan menggunakan pendekatan dan prosedur penelitian yang sama;
  3. Di luar bidang sains, tujuan kegiatan pengkajian/penelitian adalah untuk pembuatan teori-teori penjelasan, interpretasi, mengenai gejala- gejala yang dikaji.

Beberapa hal untuk mendapatkan objektivitas dalam arti ilmu sosial di atas terus diusahakan untuk mendapatkan kriteria tersebut. Namun perlu juga diperhatikan bahwa walaupun Ilmu Sejarah di masukkan juga pada rumpun Ilmu Sosial, terdapat perbedaan di dalamnya. Dalam hal yang sama memang ilmu soial menjadikan manusia sebagai objek kajiannya, akan tetapi yang membedakannya adalah ruang lingkup dari aspek hidup manusia. Adapun ilmu sejarah selalu terikat oleh ruang dan waktu manusia masa lampaunya.

Kuntowijoyo (2008) mengibaratkan ilmu sosial sebagai sebuah pohon. Jika ilmu sosial lain mengkaji peristiwa seperti penampang lintangnya, maka sejarah menjalaskan peristiwa manusia dalam penampang bujurnya. Ilmu sosial pada umumnya jika harus menjalaskan ranting, maka akan terpokus pada rantingnya. Hal ini berbeda dengan sejarah yang harus mengurai peristiwa dari bawah ke atas secara kronologis. Dengan kata lain ilmu sosial lain pada umumnya secara langsung dapat merasakan dengan pancaindranya pristiwa yang dikaji, sedangkan sejarah terpisah jarak kelampauan yang memanjang dan membujur dalam waktu. Objek dalam ilmu sejarah tidak mungkin hadir seperi peristiwa yang sebenarnya, peristiwa sejarah objektif hanya sekali terjadi dan tidak mungkin terulang lagi, dan yang tersisa adalah bagian dari peristiwa tersebut.

Peninggalan sejarah yang objektif inilah yang tersebar melalui subjek (manusia) yang menyebabkan pula peristiwa tersebut menjadi subjektif (tidak selengkap peristiwa yang sebenarnya). Sebagai pelengkap pembahasan ini perlu kita renungkan bahwa bukan karena adanya subjektivitas sejarah sehingga tidak bisa di katakan memiliki kebenaran, justru karena adanya subjektifitas tersebut yang akan menghadirkan objektivitas. Dalam hal ini apa yang di katakana Garraghan sangat perlu untuk kita pahami. Garraghan (Zaki, 2007) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan objektivitas sejarah adalah:


a.       Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas sepenuhnya dari kecurigaan-kecurigaan awal yang bersifat sosial, politis, agama, atau lainnya.

  1. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan mendekati tugasnya terlepas dari semua perinsip, teori dan falsafah hidupnya.
  2. Obyektifitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas dari simpati terhadap obyeknya.
  3. Objektivitas tidak berarti menuntut agar pembaca mengekang diri dari penilaian atau penarikan konklusi.
  4. Objektivitas sejarawan tidak berarti bahwa semua situasi yang menimbulkan peristiwa historis dicatat sesuai dengan kejadiannya.

2.   Subjektivitas dalam penulisan Sejarah

Subjektivitas dalam penulisan sejarah merupakan penulisan sejarah yang kesaksian atau tafsirannya memihak pada pendapat pribadi atau golongan, dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang melingkupinya. Di dalam sejarah, subjektivtitas seringkali terdapat pada proses interpretasi Sejarah sebagai biang dari subjektivitas. Subjektivitas dalam penulisan sejarah pada intinya sering dipengaruhi oleh individu masing-masing, sehingga apa yang dituliskan dalam penulisan sejarah tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.

Adapun dalam penyusunan historiografi mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh kelemahan dalam penulisan sejarah (historiografi) yaitu:

1)      Sikap pemihakan sejarawan kepada mazhab-mazhab tertentu.

2)      Sejarawan terlalu percaya kepada penukil berita sejarah.

3)      Sejarawan gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas dasar persangkaan keliru.

4)      Sejarawan memberikan asumsi yang tak beralasan terhadap sumber berita.

5)      Ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya.

6)      Kecenderungan sejarawan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang berpengaruh.

7)      Sejarawan tidak mngetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban


 

Sejalan dengan itu, subjektivitas dalam penulisan sejarah selalu hadir, karena penulis sejarah (sejarawan) tidak akan mampu mengungkapkan peristiwa sejarah yang begitu komleks yang pernah terjadi pada masa lampau, hanyalah bagian kecil dari peristiwa yang dilakukan oleh manusia tersebut dapat teridentifikasi oleh penulisan sejarah. Walaupun pada dasarnya perasangka dalam arti subjektif individu tidak pernah lepas namun yang tidak diinginkan adalah adalanya perasangka yang ekstrim, dalam artian perasaan suka-tidak suka, senang-tidak senang harus di hindari, kesimpulan atau penjelasan ilmiah harus mengacu hanya pada fakta yang ada, sehingga setiap orang dapat melihatnya secara sama pula tanpa melibatkan perasaan peribadi yang ada pada saat itu (Uhar Suharsaputra, 2004: 49).

Adanya subjektivitas sejarawan bisa di katakana sudah bermula ketika seorang sejarawan dihadapkan dalam pemilihan topik penulisan sejarah, mereka harus mengadakan seleksi. Seleksi-seleksi tersebut tidak didasarkan atas prasangka atau pemihakan mengenai informasi isi sumber, seleksi ini memiliki 2 pengertian :

1.      Meskipun perhatian sejarawan sangat luas, namun mereka harus menseleksi topik tertentu daru masa lalu yang menarik perhatiannya untuk diteliti.

2.      Tidak seorangpun sejarawan dapat menceritakan kejadian dari masa lalu dengan lengkap dalam ruang lingkup yang dipilihnya. Ia harus menseleksi fakta-fakta karena tekanan penting dan relevansinya dengan pokok atau masalah kajiannya dan oleh karena itu ia terpaksa mengabaikan fakta-fakta lain yang dianggap tidak penting. Bagaimanapun juga para sejarawan yang baik sepakat untuk menulis karya-karya sejarah dengan tidak memihak dan tidak bersifat pribadi.

Sejalan dengan itu, jika berbicara tentang sikap atau pendangan suatu bangsa sudah barang tentu hal itu dihubungkan dengan konteks kebudayaan masyarakatnya, yaitu ikatan kulturalnya. Umum mengetahui bahwa individu dijadikan anggota masyarakat lewat proses sosialisasi atau enkulturasi, suatu proses yang membudidayakan pada diri individu serta membentuk seluruh pikiran. Perasaan, dan kemauannya dengan menolaknya menurut struktur ideasional, estetis, dan etis yang berlaku dalam masyarakat. Kesemuanya perlu melembaga dalam diri individu, sehingga tidak berlebihan apabila dia ada dalam keterikatan pada kebudayaannya.


akibatnya ialah bahwa ada padanya subjektivitas kultural yang sangat mempengaruhi pandangannya terhadap sejarah (Kartodirdjo, 1992: 63-64).

Subjektivitas kultural telah mencakup subjektivitas waktu atau zaman oleh karena kebudayaan bereksistensi dalam waktu tertentu. Dalam banyak karya sejarah subjektivitas zaman disebut tersendiri, bahkan sering dipakai pula istilah jiwa zaman atau Zeitgeist. Pengertian yang sangat abstrak ini menunjuk pada suasana atau iklim mentral yang dominan pada suatu waktu dan berpengaruh pada segala macam manifestasi gaya hidup masyarakat, antara lain materialistis atau idealistis, tredisionalistis atau moderinistis, religious atau sekuler, dan lain sebagainya (Sartono Kartodirdjo, 1992: 64).

Subjektivitas waktu akan terasa amat sulit untuk diatasi, terutama dalam usaha menggarap sejarah kontemporer (masa kini). Jarak waktu yang amat dekat membuat perspektif sejarah kurang jelas dan kabur, terutama karena orang belum dapat membuat distansi dengan peristiwa yang hendak ditulis. Keterlibatan penulis sendiri secara langsung masih besar. Masih banyak pelaku yang masih hidup atau sanak saudaranya, dan lain sebagainya. Lagi pula, banyhak dokumen belum terbuka untuk di teliti. Penafsiran mudah tercampur dengan pandangan partisan yang mengakibatkan kesepihakan. Sering pula pandangan serta interpretasi bertentangan dengan versi pihak yang sedang berkuasa (establishment). Secara mudah subjektivitas memasuki penulisan sejarah (Kartodirdjo, 1992: 64-65). Bukan hanya itu, ada juga kesalahan sejarawan yang menganggap pendapat pribadi sebagai fakta. Sejarawan yang melihat pendapat dan kesenangan pribadi berlaku umum dan sebagai fakta sejarah. Misalnya pada tahun 1910-an di Surakarta ada wanita yang pandai memainkan musik barat, prestasi pribadi semacam itu tidaklah dapat dianggap sebagai bukti bahwa pada zaman itu sudah pandai memainkan musik. Inilah contoh Subjektivitas pembenaran oleh pandangan pribadi (Kuntowijoyo, 2005: 172-173). Adanya etnosentrisme misalnya sebagai bentuk subjektifitas yang sangat tinggi (memihak) dalam penulisan sejarah dapat dilihat juga pada salah satu perkembangan penting dalam penulisan sejarah di Indonesia yang mengarah pada bentuk historiografi yang modern adalah penulisan sejarah yang ditulis oleh orang Belanda. Dimana sebuah tim yang terdiri dari para sarjana ahli sejarah yang di ketuai Dr, FW. Stapel, dengan buku yang berjudul Geschidenis van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda) (Agus Mulyana & Darmiasti, 2009: 3). Buku yang ditulis oleh Stapel tersebut lebih banyak menceritakan peran penjajah Belanda di Indonesia. penjajah


belanda merupakan subjek atau pemeran utama dalam cerita sejarah. Sedangkan bangsa Indonesia hanyalah merupakan pelengkap dari cerita sejarah. Bangsa Belanda merupakan pemilik daerah jajahan, orang yang harus di petuan, sedangkan bangsa Indonesia hanya merupakan “abdi” bangsa belanda. Tindakan-tindakan bangsa Indonesia yang bertentangan dengan penjajah Belanda dianggap sebagai pemberontak (Agus Mulyana, 2009: 3).

Keberadaan sejarah yang sangat subjektif di atas, memang tidak lepas dari unsur komunikasi antara fakta dan manusia sebagai subjek yang terus semakin berkembang. Karenanya dapatlah dikatakan bahwa sejarah atau fakta yang dikomunikasikan akan menjadi intersubjektif. Komunikasi secara lebih luas membuat fakta semakin intersubjektif, artinya semakin dimiliki oleh banyak subjek. Akhirnya pada suatu waktu fakta menjadi intersubjektivitas di kalangan yang sangat luas, menjadi umum sekali atau dengan istilah tepat menjadi fakta keras (Sartono Kartodirdjo, 1992: 65). Karena inilah yang membuat sejarah kadang-kadang dimasukkan juga ke dalam ilmu-ilmu sosial dan merupakan kontroversi yang berkepanjangan apakah sejarah itu ilmu ataukan humaniora.

Namun kalau kita lihat bagaimana cara seorang sejarawan mendapatkan data mungkin penafsiran orang akan berubah karena dalam sejarah terdapat kritik terhada data (hal ini akan dibicarakan dalam pembahasan yang berbeda). Salah satu cara untuk menghindari subjektivitas ekstrim dan untuk menghindari kesepihakan atau pendangan deterministis perlu dipergunakan pendekatan multidimensional, yaitu melihat berbagai segi, atau aspeknya. Dengan demikian, dapat diungkapkan pelbagai dimensi suatu peristiwa, ialah segi ekonomis, sosial, politik, dan kultural. Multidimensional itu inheren pada gejala sejarah yang kompleks. Pendekatan ini juga selaras dengan konsep sistem. Kait-mengkaitnya aspek-aspek itu baru dapat di ungkapkan apabila konsep sistem dipergunakan dalam pengkajiannya (Kartodirdjo, 1992: 66). Namun bagaimana pun perlu di pertegas bahwa subjektivitas dalam historiografi sesungguhnya justru merupakan dasar bagi obyektivitas sejarah. Meskipun demikian ilmu sejarah, harus tetap mengikuti prosedur-prosedur ilmuah yang dapat membedakannya dari hikayat maupun dongeng. Hal ini di lakukan agar sejarawan tidak jatuh ke dalam apa yang disebut historian’s fallacies, atau Thoma S. Khun menyebutnya sebagai “ kekeliruan atau Tahayyul” (Zaki, 2007:7-8). Oleh karena itu karena dalam sejarah menggunakan metode ilmiah dalam penulisannya maka yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita menggunakan metode tersebut


dalam menulis sejarah. Kapabilitas dan kredibilitas dari seorang sejarawan sangat di butuhkan supaya tidak terjadi apa yang di sebut anakronisme ataupun historians fallacies seperti yang di sebut di atas.

Untuk meminimalisasi timbulnya subjektivitas dalam penulisan sejarah, sejarawan haruslah mampu melakukan distansiasi (penjarakan) terhadap objek yang ditulisnya. Untuk dapat mendekati seoptimal mungkin objektivitas sejarah, ilmu sejarah memiliki metodologi yang di dalamnya memberi ruang bagi digunakannya konsep, teori, dan pendekatan dari ilmu-ilmu lainnya. Untuk itu, rekonstruksi sejarah bisa didekati dari sosial, politik, ekonomi, budaya, seni rupa dan desain, teknologi informasi, dan sebagainya. Pendekatan tersebut bisa bersifat monodisiplin atau multidisiplin. Selain peninggalan benda dan situs-situs sejarah, kadang-kadang faktor sejarah di peroleh dari kesaksian yang sering bermakna subjektif.

Untuk dapat dipelajari secara objektif dalam arti tidak memihak dan bebas dari reaksi pribadi harus punya eksistensi yang merdeka di luar pikiran manusia. Akan tetapi, kenangan (memori) semata tidak mempunyai keberadaan di luar pikiran manusia, sedangkan banyak sejarah didasarkan kenangan yakni kesaksian tertulis atau lisan. Dengan kata lain, pengayaan subjektivitas dilakukan demi semakin meminimalkan subjektivisme dalam mengonstruksi dan merekon-struksi karya historiografi. Pengayaan subjektivitas terutama oleh para penyusun historiografi teramat penting sebagai landasan untuk menghasilkan produk yang mendekati sisi objektivitas dari penulisan sejarah itu sendiri. Hal yang tak kalah pentingnya juga adalah karya historigorafi tak bisa diberangus. Ia hanya bisa dilengkapi, dikritisi, dan diperbaiki lewat produk historiografi lainnya.

Poespoprodjo (1987:39) mengungkapkan ada tiga hal yang dapat mempengaruhi subjektivitas peneliti sejarah yang akan membantu menuju objektivitas yakni :

a.       Peranan Human Richness

            Keberhasilan sebuah karya sejarah sangat bergantung pada seluruh disposisi intelektual sejarawan atau peneliti sejarah tersebut. Oleh karena itu merupakan sebuah syarat bahwa seorang peneliti sejarah atau sejarawan mempunyai suatu filsafat manusia yang sehat, terbuka terhadap nilai kemanusiaan, dan terbuka terhadap segala koreksi


(Poespoprodjo, 1987:40).


Seorang sejarawan atau peneliti sejarah dalam penelitiannya tidak hanya bertemu dengan beribu fakta, a matter of indicative, tetapi juga beribu nilai, imperatif. Untuk dapat menangkapnya dengan tepat, seorang peneliti sejarah harus mampu mendalami permasalahan, masalah nilai, sehingga dapat diperoleh skala yang tepat mengenai nilai-nilai moral, budaya, politik, religius, teknik, artistik, dan sebagainya (Pospoprodjo, 1987:41).

Jika seorang peneliti sejarah tidak peka terhadap beragam hal yang berasal dari beragam bidang dan sektor kehidupan, maka bukan tidak mungkin ia tidak akan bisa menangkap peristiwa sejarah tersebut sebagaimana mestinya, maka objektivitas pun akan sulit dicapai. Maka, benarlah apa yang dikatakan oleh  Jaques Maritain bahwa semuanya berpulang pada kekayaan intelektual yang dimiliki oleh individu peneliti sejarah atau sejarawan.

b.      Titik Berdiri

            Cara seseorang untuk memandang sebuah objek akan berbeda satu sama lain akibat titik berdiri yang berbeda. Masing-masing akan melihat dan memberikan persepsi terhadap objek sesuai dengan apa yang ia lihat dari titik di mana ia berdiri. Dalam hal ini, masing-masing persepsi tentunya akan berbeda dan tidak akan ada yang salah dan yang benar. Dengan mengidentifikasi titik di mana kita beridri, kita juga akan bisa mengidentifikasi sikap dalam keadaan titik berdiri tertentu itu. Adalah diri kita sendiri yang tahu tentang argumentasi kita mengapa akhirnya kita bersikap seperti itu dalam titik bediri tertentu.

Hubungan ilustrasi di atas dengan kegiatan penelitian sejarah bahwa kegiata interpretasi bukan kegiatan yang dilakukan atas kesewenangan subjek. Ketajaman dan kecermatan subjek dalam melakukan interpretasi harus terpenuhi agar dapat mencapai objektivitas. Menurut Gordon Leff dalam History and Social Theory (1969:126) yang dikutip dalam Poespoprodjo (1987:48), interpretasi yang dapat diterima dan memenuhi obejktivitas harus memenuhi tiga syarat.

c.       Mengenal Sumber Distorsi

            Seorang peneliti sejarah atau sejarawan seharusnya mengenali sumber-sumber distorsi yang dapat mengganggu subjektivitas dirinya. Sumber distorsi yang berasal dari dalam diri sendiri dapat diketahui dengan mempertanyakan kedalaman subjektivitas diri. Dengan mengenal diri sendiri, maka niscaya tersadarilah bahwasanya subjektivitas merupakan simpang jalan dunia subjek dan dunia objek. Ini merupakan kesadaran utama.


Jika kita tatap lebih lanjut, maka kita akan memasuki kedalaman subjektivitas, yakni kedalaman kemerdekaan (untuk mengakui atau menolak, apakah saya merdeka betul tidak


diikat oleh sesuatu sehingga bisa mengatakan sesuatu sebagaimana mestinya dan sebagainya), kedalaman kritik diri (apakah saya tidak membohong, memutarbalikkan kenyataan yang ada, apakah tahu betul apa yang dihadapi, apakah reserve tidak perlu dibuat dan sebagainya), penyesuaian pada tuntutan-tuntutan objek (objek tertentu hhanya dapat dijumpai dengan semestinya bila menggunakan metode tertentu, objek yang eenmalig contingent, lain dengan objek yang dapat direproduksi sewaktu-waktu, dan sebagainya) (Poespoprodjo, 1987:56).

 

C.      Jenis-jenis historiografi

Untuk jenis-jenis historiografi ini terdapat beberapa pembagian dimana jika didasarkan atas pembagian waktu historiografi ini terbagi atas empat bagian yaitu Historiografi Tradisional, Historiografi Kolonial, Historiografi nasional dan historiografi Modern. Berikut penjelasan mengenai empat jenis historiografi yaitu:

1.    Historiografi tradisional

Historiografi tradisional adalah penulisan sejarah yang dimulai dari zaman Hindu-Budha sampai masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Dan historiografi tradisional ini memiliki arti penulisan sejarah yang hanya dilakukan oleh sastrawan yang berasal dari keratin atau berasal dari bangsawan kerajaan-kerajaan tertentu. Penulisan sejarah di zaman Hindu-Budha pada umumnya ditulis di prasasti, naskah-naskah kuno yang bertujuan supaya generasi penerus dapat mengetahui peristiwa di masa lalu terutama di zaman kerajaan saat seorang raja memerintah suatu kerajaan.

Naskah kuno tersebut dapat berbentuk seperti hikayat dan babad yang usia dari naskah tersebut sudah lebih dari 50 tahun. Hikayat lebih dikenal di Melayu, sedangkan babad dikenal di Mataram. Babad merupakan nama yang digunakan di buku cerita sejarah atau kronik dalam tradisi penulisan sejarah suku bangsa. Biasanya penulis babad merupakan seorang pujangga-pujangga keraton.Babad berisi unsur irasional, cerita bercampur mitos yang kadang-kadang dipenuhi dengan kiasan dan Isyarat. Naskah tersebut lebih cenderung banyak menceritakan peran orang-orang besar atau tokoh yang terkenal, yang memiliki peranan penting dalam masanya.


Sedangkan hikayat merupakan kesusastraan Melayu yang keseluruhan ceritanya didominasi oleh karya-karya yang bernuansa Islam. Hikayat memiliki dua arti dalam


sastra Indonesia hikayat berarti cerita rekaan yang berbentuk prosa cerita yang panjang. Sedangkan dalam sastra melayu hikayat berarti sifat dari sastra lama yang sebagian besar mengisahkan mengenai kehebatan serta kepahlawanan tokoh-tokoh besar.

Tidak hanya hikayat dan babad saja yang ada di historiografi tradisional, namun mitos pun juga ada pada historiografi tradisional. Seperti yang di katakan Raymond William yaitu “the myth of concern”. Mitos (myth) merupakan suatu cerita atau sejenisnya yang bersumber seperti halnya sejarah tetapi lebih menonjol pada khayalan. Mitos juga selalu memuat kehidupan manusia dan biasanya mengambil manusia super sebagai tokohnya. Mitospun dalam kehidupan manusia memiliki manfaat. Mitos membuat masa lampau menjadi bermakna, karena dengan memusatkan pada bagian-bagian masa lampau yang mempunyai sifat tetap dan berlaku secara umum. Mitos tidak seperti sejarah yang memiliki babakan waktu, dalam mitos babakan waktupun tidak ada bahkan tidak ada awal maupun akhir.

Pada dasarnya yang ada di historiografi tradisional fakta tidak begitu penting, karena para penulisnya lebih sering membahas tentang mitos dan sedikit yang membahas tentang fakta yang ada. Dalam historiografi tradisional terdapat unsur mitos di sebabkan oleh unsur mistik atau kepercayaan yang telah dipercayai baik penulis maupun masyarakat, sehingga penulis tidak memperdulikan adanya fakta. Mitos lebih mengedepankan subyektifitas dari pada obyektifitas. Obyektifitas tidak cocok dengan mitos, karena obyektifitas bertanggung jawab pada kebenaran obyek yang berwujud dalam bentuk dokumen. Selain mitos dalam historiografi tradisional juga ada genealogis, genealogis merupakan gambaran mengenai pertautan antara individu dengan yang lain atau suatu generasi dengan generasi berikutnya. Silsilah sangat penting untuk melegitimasikan kedudukan mereka.

Dalam historiografi tradisional memiliki corak penulisan yang berbeda dengan historiografi lainnya. Untuk mengetahui bagaimana penulisan dalam historiografi tradisional maka adapula ciri-cirinya yaitu:

a.    Region–sentries atau kedaerahan, biasanya di pengaruhi oleh ciri budaya masyarakat didaerahnya. Seperti halnya cerita-cerita ghaib yang ada dilingkungan sekitar.

b.    Cenderung mengabaikan unsur fakta karena dipengaruhi dari sistem kepercayaan yang dimiliki masyarakat atau dari alam pikiran penulis saat menulis suatu naskah. Penulis naskahpun tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata.


c.    Adanya kepercayaan tentang kekuatan sakti dan unsur magis yang menjadi pangkal dari berbagai peristiwa alam, termasuk kehidupan manusia.

d.    Percaya magis atau sihir yang dilakukan tokoh-tokoh tertentu. Seperti kesaktian yang dimiliki para raja, dan masyarakat menganggap bahwasannya raja merupakan utusan dari sang dewa sehingga apa yang dikatakan dan diperbuat oleh sang raja semuanya dianggap benar.

e.    Religio sentris gambaran dari tokoh-tokoh yang ditonjolkan dalam cerita naskah. Segala sesuatu dipusatkan pada raja atau keluarga raja (keluarga istana), maka sering juga disebut istana sentries.

Salah satu mitos yang berkembang di Indonesia dan terkenal di masyarakat sekitar adalah Mitos Nyi Roro Kidul Dalam Kehidupan Masyarakat Cianjur Selatan. Masyarakat Cianjur melaksanakan upacara-upacara atau ritual rutin sebagai penghormatan masyarakat kepada Nyi Roro Kidul dan juga sebagai ucapan terima kasih karena telah memberi keselamatan ketika masyarakat melaut. Bentuk dari upacaranya biasanya masyarakat


menyebut dengan upacara nyalewena, berasal dari salawe yang memiliki arti dua puluh lima.

Upacara nyalawena biasanya dilaksanakan setiap tanggal 25 bulan Islam di tahun Hijriyah. Pelaksanaan upacara ini pun berkaitan dengan mata pencaharian penduduk sekitar yang berada di wilayah pesisir pantai. Upacara ini diadakan disebabkan adanya kepercayaan masyarakat yang berkaitan dengan keadaan laut. Masyarakat mempercayai bahwasanya Nyi Roro Kidul berada di laut selatan, jika sesuatu terjadi di laut seperti ombak yang besar, angin yang kencang dan suara gemuruh di laut maka itu sebagai pertanda nyi roro kidul marah. Masyarakat pun segera mengadakan upacara nyalawena, dan membuat sesaji untuknya. Sesaji tersebut berisi kepala kerbau, kepala sapi jantan, perlengkapan lengkap wanita mulai dari sanggul, alat rias, pakaian dalam, bubur merah, bubur putih dan rujak. Kemudian sesaji tersebut dilarung di laut, jika keadaan tidak memungkinkan sesaji untuk dilarung karena suatu sebab seperti ombak besar dan angin kencang maka sesaji tersebut hanya ditaruh di bibir pantai. Masyarakat melakukan ritual upcara itu sebagai balas jasa masyarkat terhadap Nyi Roro Kidul terhadap kemurahan hati penguasa laut selatan itu.

Tak selamanya Indonesia menggunakan historiografi tradisional dalam menulis sejarah. Karena historiografi tradisional telah berakhir pada tahun 1913 dengan adanya


kehadiran buku karya dari Hosein Djajadiningrat yang berjudul Cristische Beschouwing Van Sadjarah Van Banten. Penulisan sejarah di Indonesia semakin berkembang tidak hanya berhenti pada historiografi tradisional. Akan tetapi dilanjutkan dengan historiografi kolonial yang mana penulisan sejarahnya identik dengan penulisan bangsa-bangsa asing yang pernah menjajah Indonesia.

2.    Historiografi Kolonial

Historiografi Kolonial ini memiliki makna yakni tulisan sejarah yang dibentuk atau dibuat pada masa colonial dan historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah bangsa-bangsa asing di Indonesia. Historiografi ini juga memiliki beberapa ciri diantaranya:

a.    Mempunyai sifat yang diskriminatif

b.    Berasal dari luar dan mengabaikan karya yang berasal dari sumber local.

c.    Selain diskriminatif historiolgi ini juga memiliki sifat mitologis dan juga subjektif.

d.    Didalam tulisan sejarahnya terdapat pembahasan yang berkaitan dengan sejarah-sejarah orang yang terpandang atau orang-orang besar.

Bangsa-bangsa asing tentunya yang pernah menjajah Indonesia, seperti Portugis, Inggris, Jepang bahkan Belanda. Historiografi kolonial biasa dikenal dengan Europa Centrisme atau Belanda Centrisme. Dikatakan Europa Centrisme atau Belanda Centrisme dikarenakan yang diuraikan atau dibentangkan secara panjang lebar adalah aktivitas bangsa Eropa atau Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. Memiliki sifat Europa Centrisme dikarenakan sifat ini memusatkan perhatiannya kepada sejarah bangsa Belanda dalam perantauannya, baik dalam pelayarannya maupun pemukimannya di benua lain. Jadi yang primer ialah riwayat perantauan atau kolonisasi bangsa Belanda, sedangkan peristiwa-peristiwa sekitar bangsa Indonesia sendiri menjadi sekunder.

Belanda merupakan negara yang menjajah Indonesia yang sangat lama, tiga setengah abad Indonesia telah dijajah Belanda. Hingga banyak arsip-arsip nasional pun menggunakan bahasa Belanda. Meskipun berbahasa Belanda penulisan sejarah dalam bentuk arsip tersebut memiliki peranan penting dalam sejarah Indonesia. Karena didalamnya menggambarkan hubungan politik antar daerah, diplomasi bahkan perdagangan. Arsip Nasional yang berbahasa Belanda pun tidak hanya berada di Indonesia, akan tetapi juga berada di negara Belanda, disimpan dalam Arsip negara Den


Haag sebanyak 12.050 jilid arsip Indonesia berada disana. Begitu juga sebaliknya arsip Belanda juga berada di Indonesia.

Dalam historiografi kolonial memiliki beberapa karakteristik yang membedakan dengan historiografi yang lainnya. Historiografi kolonial ditulis oleh sejarawan atau orang-orang pemerintah kolonial yang intinya bahwa yang membuat adalah orang barat. Pembuatan historiografi ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai bahan laporan pada pemerintah kerajaan Belanda, sebagai bahan evaluasi menentukan kebijakan pada daerah kolonial.

Oleh karena motivasinya adalah sebagai bahan laporan, maka yang ditulisnya pun adalah sejarah dan perkembangan orang-orang asing di daerah kolonial khususnya Indonesia. Sangat sedikit hasil historiografi kolonial yang menceritakan tentang kondisi rakyat jajahan, atau bahkan mungkin tidak ada. Walaupun tercatat, orang pribumi itu sangat dekat hubungannya dengan orang asing dan yang telah berjasa pada pemerintah kolonial.

3.    Historiografi Nasional

Historiografi Nasional dimulai saat dinyatakannya Indonesia telah merdeka dari penjajahan, yaitu pada tahun 1945. Sejak itu sejarawan mulai menulis sejarah Indonesia. Peristiwa-peristiwa penting yang dialami Indonesia setelah merdeka pun juga ditulis. Seperti proklamasi kemerdekaan Indonesia dan pembentukan pemerintahan Republik Indonesia. Kejadian-kejadian sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia yang meliputi sebab-sebab serta akibatnya bagi bangsa ini merupakan sorotan utama para penulis sejarah.

Historiografi Nasional sama halnya dengan historiografi kolonial jika historiografi tersebut kental dengan Europa Centrisme maka di historiografi nasional pun lebih dominan Indonesia sentries. Indonesia sentries merupakan penulisan sejarah yang mengutamakan atau mempunyai sudut pandang dari Indonesia sendiri. Pada masa kemerdekaan penulisan sejarah telah dilakukan oleh bangsa sendiri yang mengenal baik akan keadaan negara ini, jadi dapat dipastikan bahwa isi dari penulisan tersebut dapat dipercaya. Penulisan sejarah yang Indonesia sentris memang sudah dimulai jauh pada masa kerajaan-kerajaan, tetapi kemudian ketika bangsa Barat masuk ke Indonesia maka era penulisan sejarah yang Indonesia sentris mulai meredup dan digantikan oleh historiografi kolonial.


 

Dalam historiografi nasional seorang sejarawan harus memenuhi syarat-syarat penyusunan jika ingin menulis sejarah nasional. Ada empat persyaratan untuk menulisnya yaitu:

a.         Keyakinan nasional, seorang sejarawan dalam menulis sejarah harus memiliki rasa nasionalisme yang besar, sehingga ada rasa bangga terhadap negara sendiri. Saat sejarawan melakukan tahapan penafsiran terhadap kejadian sejarah, maka harus sesuai dengan peristiwa yang erjadi di Indonesia pada saat negri ini telah merdeka. Penafsiran pun harus bersifat netral dan tidak terikat oleh apapun.

b.        Babakan waktu, menunjukkan perkembangan jiwa kebangsaan yang memuncak dalam perjuangan mewujudkan cita-cita kehidupan kebangsaan yang bebas, adil dan makmur.

c.         Norma-norma penguji fakta, fakta-fakta yang di gunakan dalam menulis sejarah harus sesuai dengan perkembangan ke arah sifat keindonesiaan dan tidak semata-mata menggambarkan sifat kedaerahan.

d.        Cara penyusunan dan penafsiran fakta, dalam menyusun menafsirkan fakta, seorang sejarawan memperhatikan obyek lebih detail supaya tidak ada penafsiran yang salah.

Historiografi nasional juga memiliki karekteristik untuk membedakan dengan historiografi yang lainnya. Historiografi nasional ditulis oleh orang-orang Indonesia yang memahami dan menjiwai negri ini. Penulisannya bersifat Indonesia sentries. Dengan adanya syarat dan karakteristik dari historiografi nasional, maka lebih memudahkan penulis dan pembaca sejarah untuk memahami sejarah nasional. Adapun sejarawan yang menulis sejarah nasional antara lain, editor Sarotono Kartodirjo dengan judul Sejarah Perlawanan-Perlawanan terhadap Kolonialisme dan Imperealisme, Sejarah Nasional Jilid I sampai VI. Kuntowijoyo dengan judul Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940. R. Moh Ali dengan judul Peranan Bangsa Indonesia Dalam Sejarah Asia Tenggara.A.H Nasution juga menulis sejarah nasionaldengan judul Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid I sampai XI. Dengan melihat banyaknya sejarawan yang menulis mengenai sejarah nasional maka karya-karya yang ditulisnya dapat memberi pengetahuan masyarakat dan semakin mencintai negeri sendiri.

4.    Historiografi Modern


Historiografi modern muncul akibat tuntutan ketepatan teknik untuk mendapatkan fakta-fakta sejarah. Fakta sejarah didapat melalui penetapan metode penelitian, memakai ilmu-ilmu bantu, adanya teknik pengarsipan, dan rekonstruksi melalui sejarah lisan. Masa ini dimulai dengan munculnya studi sejarah kritis, yang menggunakan prinsip-prinsip metode penelitian sejarah. 

Historiografi modern tentunya berkembang sesuai dengan zaman. Historiografi masa kini sudah semakin objektif dan kritis terhadap satu peristiwa sejarah. Adapun ciri-cirinya adalah:

a.    Bersifat metodologis: sejarawan diwajibkan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah.

b.    Bersifat kritis historis: artinya dalam penelitian sejarah menggunakan pendekatan multidimensional.

c.    Sebagai kritik terhadap historiografi nasional: lahir sebagai kritik terhadap historiografi nasional yang dianggap memiliki kecenderungan menghilangkan unsur asing dalam proses pembentukan keindonesiaan.

d.    Munculnya peran-peran rakyat kecil.

Historiografi modern ada setelah historiografi nasional, sekitar tahun 1957 yang dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Diresmikannya pada waktu terselenggaranya Seminar Sejarah Nasional Indonesia yang pertama di Yogyakarta. Kemudian diadakannya lagi seminar Sejarah Nasional ke dua tahun 1970 juga di Yogyakarta. Dalam seminar pertama tersebut membahas mengenai fisafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah. Itu semua dianggap sangat penting dalam sejarah. Dalam periodesasi sejarah menginginkan para penulis sejarah mengenai Indonesia berpindah aliran dari Europa centrisme berpindah ke sejarah Asia sentries. Dengan adanya keinginan seperti itu maka para sejarawan berusaha untuk menghilangkan aliran Europa centrisme dari bentuk tulisannya. Tidak hanya itu, terhadap penulisan sejarah pemerintah pun mengusahakan untuk penerbitan arsip yang dikerjakan oleh arsip nasional. Setelah terselenggaranya seminar pertama, maka diadakannya seminar ke dua tahun 1970 di Yogyakarta. Banyak perubahan yang terjadi pada tahun-tahun setelah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi sejarah. Menurut Kuntowijoyo historiografi baru (Modern) penting dalam penulisan sejarah di Indonesia. Karena Sejak Indonesia merdeka pemikiran kesejarahan lebih didominasi oleh pemikiran dekolonisasi dan ilmu-ilmu sosial.


Bagi Kuntowijoyo, menulis dan merekonstruksi masa lalu digunakan untuk menjelaskan masa kini dan merancang masa depan. Dalam historiografi modern, lebih mengedepankan metode dan teori sejarah. Jika metode dan teori sejarah tidak dipergunakan maka akan menjadi seperti historiografi tradisional. Metode dan teori masih belum dipergunakan dengan baik. Unsur mitos pun di tiadakan karena lebih menonjolkan pada fakta yang ada. Fakta memiliki peranan penting untuk mengungkap suatu peristiwa. Penerbitan arsip nasional yang pun juga cukup membantu untuk menulis sejarah.

D. Fungsi Historiografi

1.      Fungsi Genetis

Fungsi Genetis untuk mengungkapkan bagaimana asal usul dari sebuah peristiwa. Fungsi ini terlihat pada sejumlah penulisan sejarah seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu, dan Prasasti Kutai.

2.      Fungsi Didaktis

Fungsi Didaktis merupakan fungsi yang mendidik artinya dalam karya-karya sejarah banyak memuatpelajaran, hikmah dan suri teladan yang penting bagi para pembacanya.

3.      Fungsi Pragmatis

Fungsi yang berkaitan dengan upaya untuk melegitimasi suatu kekuasaan agar terlihat kuat dan berwibawa.

 

 

 

 


BAB III

PENUTUP

A.  KESIMPULAN

Historiografi adalah proses penyusunan fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam bentuk penulisan sejarah. Setelah melakukan penafsiran terhadap data – data yang ada, sejarawan harus mempertimbangkan struktur dan gaya bahasa penulisannya. Sejarawan harus menyadari dan berusaha agar orang lain dapat memahami pokok – pokok pemikiran yang diajukan. Historiografi merupakan tahap terakhir dalam penyusunan sejarah. Disini diperlukan kemahiran mengarang oleh seorang sejarawan

Adapun dalam penyusunan historiografi mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh kelemahan dalam penulisan sejarah (historiografi) yaitu: (1). Sikap pemihakan sejarawan kepada mazhab-mazhab tertentu. (2). Sejarawan terlalu percaya kepada penukil berita sejarah. (3). Sejarawan gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas dasar persangkaan keliru.(4). Sejarawan memberikan asumsi yang tak beralasan terhadap sumber berita (5). Ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya.

Untuk jenis-jenis historiografi ini terdapat beberapa pembagian dimana jika didasarkan atas pembagian waktu historiografi ini terbagi atas empat bagian yaitu Historiografi Tradisional, Historiografi Kolonial, Historiografi nasional dan historiografi Modern. Serta Fungsi Historiografi sebagai berikut Fungsi Genetis untuk mengungkapkan bagaimana asal usul dari sebuah peristiwa.

 

B.  SARAN

Terkait dengan hal tersebut, kami menyarankan bahwa Historiografi Sejarah dipandang perlu tertentu agar mampu mengenal dan mempelajari sejarah. Supaya Historiografi Sejarah berjalan dengan lancar. Dengan begitu Historiografi Sejarah akan membantu para Penulis sejarah dalam mengembangkan sejarah yang lebih baik.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Sjamsuddin, H. (2012). Metodologi Penelitian. Ombak.

Kuntowijoyo, Metodologi Penelitian Sejarah

Sulasman. (2029 ). Metodologi Penelitian Sejarah. Pustaka Setia

https://blog.ruangguru.com/memahami-3-jenis-historiografi-sejarah

http://rizkymyname.blogspot.com/2017/02/makalah-tentang-historiografi-sejarah.html

 

 

 

Aksi nyata modul 1.2

Berikut adalah link aksi nyata modul 1.2 program guru penggerak angkatan 9 Link aksi nyata modul 2.1